Jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Tiga mobil sport mewah Eigthy Automotive dan empat mobil van berwarna hitam, baru saja memasuki pelataran parkir khusus pada bagian belakang gedung Elias Grup, dengan penjagaan ketat dan tersembunyi.
Setelah mobil-mobil itu terparkir dengan sempurna, seluruh anak buah Black Eagle, mulai keluar bersamaan dari dalam mobil van, diikuti Sean, Frans dan Arthur yang juga keluar dari mobil sport mereka masing-masing.
Pria dengan rahang tegas itu, membuka pintu sisi penumpang, dan mengecek keadaan gadis yang sedang bersandar dengan mata terpejam di kursinya. Sean cukup dibuat terkejut, saat melihat bulir-bulir keringat membasahi seluruh tubuh gadis itu.
“Sera, apa kau bisa mendengarku?” tanya Sean, khawatir.
Kerutan dahi gadis itu semakin dalam, dengan wajah yang terlihat memucat. Pria itu menaruh punggung tangannya di atas kening Sera, kemudian membelalakkan mata.
“Ya Tuhan, kau demam,” gumamnya.
Tanpa menunggu lama lagi, Sean segera melepas lock safety belt Sera, lalu bergegas menggendong gadis itu dan membawanya menuju pintu lift yang berada tak jauh dari tempat ia memarkirkan mobil.
Dalam lift tersebut, Arthur, Frans dan Ale sudah menunggu kedatangan Sean dan Sera. Ketiganya nampak terkejut, ketika melihat gadis dalam gendongan temannya itu, nampak tak sadarkan diri.
“Apa yang terjadi?” tanya Arthur dengan mata membulat sempurna.
“Demamnya cukup tinggi. Apa yang harus kita lakukan?” tanya Sean pada Frans tepat setelah pintu lift kembali tertutup, dan mulai bergerak turun menuju ruang bawah tanah.
“Sistem Imun dalam tubuh Sera serang berperang melawan virus. Kita harus mengambil sampel darah gadis ini, lalu melakukan pengujian di laboratorium untuk mencari tahu, jenis virus yang Axelo suntikkan padanya,” jawab Frans.
Bertepatan dengan itu, pintu lift pun akhirnya terbuka, bersamaan dengan pintu kaca yang dibuka dengan sensor sidik jari Arthur. Ketiga orang itu bergegas memasuki ruang pemulihan, sedangkan Ale berdiri di depan pintu masuk ruang tersebut, dalam sikap siaga.
Setelah gadis itu dibaringkan di atas brankar oleh Sean, kini giliran Frans memulai tugasnya. Pria itu mencuci tangannya terlebih dahulu, kemudian menyambar jas dokter miliknya, lalu memakainya. Frans pun mengambil seluruh peralatan kedokteran miliknya beserta satu labu infus, lalu memasangkannya melalui intravena di punggung tangan Sera.
Drrrtt … Drrrttt ….
Suara getar ponsel dari dalam saku jaket kulitnya, seketika mengalihkan perhatian Sean yang tengah melihat proses pengambilan sampel darah milik Sera. Pria itu merogoh benda pipih tersebut, kemudian menggeser tombol hijau ke sisi kanan.
“Apa kau begitu merindukanku, Rhys?” tanya Sean seraya melangkahkan kakinya menuju meja kerja Frans, dan duduk di kursi kebesaran milik temannya itu.
“Ha! Yang benar saja! Aku menghubungimu karena ada sesuatu yang ingin aku tanyakan!” jawab Rhys dari seberang telepon.
“Ini sudah pukul dua dini hari. Apa tidak bisa kau tanyakan besok?” tanya Sean.
“Hey, waktu California dan Roma berbeda sembilan jam. Di sini masih pukul lima petang,” sergah Rhys menjelaskan.
“Ah … kau benar. Aku lupa, jika kau sudah kembali ke California. Lalu, apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Sean.
“Apa kau mengetahui sesuatu tentang sebuah laboratorium bernama BrainLab?” tanya Rhys mulai serius.
“BrainLab milik Axelo? Dari mana kau mengetahuinya?” tanya Sean penasaran.
“Wah … sepertinya, aku menghubungi orang yang tepat. Kami menemukan delapan dus vaksin di dalam sebuah rumah sakit yang sudah belasan tahun tidak beroperasi di wilayah Seattle. Pada dus tersebut, terdapat sebuah logo bertulisan nama laboratorium pembuatnya. Miller mencoba meretas web milik laboratorium tersebut, dan menemukan sesuatu dalam sistem yang tertanam. Sedangkan Ethan, membawa salah satu sampel vaksin tersebut, untuk ia selidiki kandungan-kandungannya. Dan kau tahu apa yang kami temukan?” tanya Rhys.
Sean semakin menajamkan pendengarannya. “Apa yang kalian temukan?”
“Itu bukan vaksin untuk melindungi diri dari berbagai infeksi yang berbahaya. Vaksin tersebut dibuat justru untuk memperkuat berbagai infeksi dalam tubuh, terkhusus virus nipah,” jelas Rhys.
“Apa kau masih menyimpan sampel vaksin tersebut?” tanya Sean.
“Tentu saja. Aku mengambil beberapa botol sampel untuk aku jadikan senjata pertahanan, jika suatu saat nanti ada di antara kita membutuhkannya sebagai media untuk mengancam musuh,” jawab Rhys dengan percaya diri.
“Apa kau tidak ada rencana untuk datang mengunjungiku? Ada beberapa hal yang harus tim-ku dan tim-mu diskusikan bersama,” ujar Sean, dengan mata terus menatap pada Sera yang masih belum sadarkan diri. Sedangkan Frans, sudah keluar dari ruang tersebut beberapa menit yang lalu, dan masuk ke dalam laboratorium khusus.
“Berapa bayarannya kali ini?” tanya Rhys.
“Jika aku sebutkan sekarang, apa kau akan menemuiku besok?” Sean balik bertanya.
“Tentu saja. Jika bayarannya setimpal, aku akan datang menemuimu. Aku bahkan rela meninggalkan istri dan putriku, demi berkomplot dengan mafia gila sepertimu,” jawab Rhys.
“Hahahaha … Rhys, misi kita tidak akan semudah mengumpulkan tiga chip yang hilang. Bayaran yang dikeluarkan oleh para atasan sudah pasti setimpal dengan nyawa yang kita pertaruhkan. Kita akan menghadapi seorang pria berotak cerdas, yang sedang berusaha memutasi virus nipah menjadi sangat ganas. Bahkan pria itu hampir berhasil merubah masa inkubasi yang seharusnya terjadi antara lima sampai empat belas hari setelah terinfeksi, menjadi kurang lebih dua puluh empat jam. Kita di sini sedang mempertaruhkan nyawa, dan yang akan bertarung dengan kita bukan hanya manusianya saja, melainkan virus nipah itu sendiri,” jelas Sean.
“Aku sangat senang mendengar nominal yang tidak sedikit untuk misi seperti ini. Baiklah, besok … aku dan tim-ku akan melakukan penerbangan menuju Roma, Italia, dengan pesawat pribadi,” sahut Rhys dengan nada suara yang terdengar sangat bahagia.
Sean mengalihkan pandangannya, saat pintu utama ruang pemulihan kembali terbuka. Ia melihat Frans berjalan menghampiri Sera dengan raut wajah khawatir.
“Hubungi aku jika kau sudah tiba di landasan pribadi Black Eagle. Ada urusan yang harus aku selesaikan, aku tutup!” ujar Sean.
Setelah mendapat persetujuan dari Rhys, pria berwajah tegas itu akhirnya memutuskan panggilan mereka. Sean segera bangkit dari posisinya, dan berjalan menghampiri pria bersneli yang sedang berdiri di samping brankar Sera.
“Apa yang terjadi?” tanya Sean penasaran.
“Cairan yang disuntikkan oleh Axelo adalah larutan berisi partikel yang terdiri dari materi genetik DNA atau RNA virus nipah,” jelas Frans.
“Ya Tuhan, apa virus itu akan menular?” tanya Sean hati-hati.
“Jika virus tersebut berhasil menginfeksi tubuh Sera, dan imunitas dalam tubuh gadis itu kalah berperang, sudah bisa di pastikan, semua orang yang melakukan kontak langsung dengan Sera harus diisolasi dengan kurun waktu lima hingga empat belas hari,” jawab Frans.
“Apa kau sudah mendapatkan hasil laboratoriumnya?” tanya Sean lagi.
“Aku baru menemukan materi genetik dari virus nipahnya saja. Kita akan mengetahui hasilnya setelah pereaksi senyawa darah Sera selesai,” sahut Frans.
Sean kembali menatap pada gadis cantik dengan luka kecil di sudut bibir kirinya.
“Aku hanya berharap, golden blood yang mengalir dalam tubuh Sera, benar-benar bisa menjadi penetral virus nipah dalam tubuhnya. Aku yakin, kau pasti bisa bertahan dan menang melawan virus tersebut, Sera,” ujar Sean penuh harap.
***