“Kau kembali yang menyelamatkanku, Tuan,” ujar Sera sembari menyandarkan tubuhnya pada bantalan di belakangnya.
“Aku sudah pernah katakan padamu sebelumnya, jika kita pasti akan bertemu kembali,” sahut Sean.
Pria yang tengah duduk di tepi brankar itu, tersenyum menyeringai sembari memainkan sebuah kunci mobil sport di tangannya.
“Ya, dan hari ini kita bertemu kembali. Apa anda sudah memikirkannya, Tuan?” tanya Sera dengan wajah meringis, ketika luka jahit di pelipisnya kembali berdenyut.
Sean tak henti-hentinya menatap wajah gadis di hadapannya itu. Entah apa yang sedang dipikirkan pria tampan itu. Ia hanya memandang, dengan seulas senyum penuh arti di wajahnya, tanpa menjawab pertanyaan yang Sera ajukan padanya.
“Tuan, bisa kau berhenti menatap wajahku seperti itu?” tanya Sera, ketika menyadari pria di hadapannya sedang menatap dirinya.
Frans yang baru saja kembali masuk ke dalam ruang pemulihan dengan membawa satu kantong kertas berisi obat, berjalan menghampiri Sera, lalu memberikan obat-obatan tersebut pada gadis itu.
“Dia terlalu menggila karena pesonamu, Seravhina,” sahut Frans dengan sengaja.
“Apa?” tanya Sera lagi, ia benar-benar tidak mengerti, apa yang pria bersneli itu maksud.
“GPS dalam super mini microchip sudah aktif,” ujar Arthur dari seberang jaringan pribadi.
Sean dan Frans saling melempar tatap, lalu tersenyum. “Baiklah, aku akan mengantarmu pulang, Sera.” Pria itu segera turun dari atas brankar, lalu berdiri sembari mengulurkan tangannya pada Sera.
“Tuan, boleh aku bertanya sesuatu?” tanya Sera tiba-tiba.
Sean menganggukkan kepalanya.
“Siapa namamu? Ini kali kedua kau menyelamatkanku, tapi hingga detik ini, aku tidak pernah mengetahui namamu,” tanya Sera.
“Namaku, Sean Elias,” jawab Sean. Pria itu melirik sesaat pada Frans yang sedang memainkan dua ponsel di tangannya, lalu pria dingin itu pun mengulas senyum yang sangat tipis di wajahnya.
“Apa kau sudah memikirkan, dengan apa aku harus mengganti uang yang kau berikan pada Jeremy saat itu?” tanya Sera.
“Dengan memiliki dirimu, bagaimana?”
Jawaban dari Sean membuat Sera seketika terdiam dengan mata membelalak. Gadis itu menyilangkan kedua tangannya di atas d**a, lalu bergeser ke sisi kanan.
“Dokter, apa ruang ini memiliki kamera cctv?” tanya Sera pada Frans, tepat setelah pria itu menaruh kembali salah satu ponsel yang ia pegang, pada tempatnya semula.
Frans menganggukkan kepalanya.
Sera kembali menatap pada Sean, dengan tatapan tajam. “Aku akan membayarmu dengan uang, asal tidak dengan tubuhku!” sahut Sera.
Mendengar perkataan gadis di hadapannya itu, membuat Sean seketika tergelak sangat keras, lalu mengacak puncak kepala Sera.
“Kau benar-benar sangat menggemaskan, Sera. Aku sangat menyukaimu,” ucap Sean.
Sera segera turun dari atas brankar, mengambil kantong kertas berisi obat beserta ponsel miliknya, lalu berjalan keluar dari ruang pemulihan, sedangkan Sean dan Frans masih berdiri di tempatnya, sembari bersidekap, menunggu reaksi dari Sera.
Dan tepat saat pintu ruang tersebut terbuka secara otomatis, Sera seketika menghentikan langkahnya, dan mulai berjalan mundur, dengan mata membulat sempura.
“T-Tuan … T-Tuan Elias … aku … a-aku … mereka me-membawa senjata di tangannya,” ucap Sera terbata-bata.
“Sepertinya … ini kali pertama Sera melihat para pria bersenjata,” gumam Frans.
“Claudia benar-benar menyembunyikan segalanya dengan sangat baik,” sahut Sean berbisik.
Frans menganggukkan kepalanya. “Sebaiknya, kau …” Belum sempat pria bersneli itu melanjutkan perkataannya, Sera sudah lebih dulu berlari dan memeluk Sean sangat erat, dengan tubuhnya yang bergetar dan napas terengah-engah.
Bayangan seorang pria membawa senapan laras panjang, kembali menghantui pikirannya. Gadis itu menggelengkan kepalanya berulang kali, berusaha menolak mimpi mengerikan yang selalu menghantui setiap malamnya itu.
“Sera, ada apa?” tanya Sean khawatir.
“Apa dia memiliki trauma?” tanya Arthur dari seberang jaringan pribadi.
Frans menatap pada Sean, yang juga sedang menatap ke arahnya. “Sean, bisa kau bawa gadis itu kembali ke atas brankar?” tanya Frans.
Sean pun segera mengangguk, dan dengan mudahnya menggendong tubuh Sera yang terasa mulai melemas. Ia dudukkan gadis itu di atas brankar, lalu berdiri di sampingnya.
“Sera, apa yang kau pikirkan?” tanya Sean penasaran.
Gadis itu menundukkan kepala, memainkan jemari tangan, sembari menangis dalam diam.
“Kau menangis? Hey … mereka anak buahku, bukan penjahat. Kau tak perlu takut,” ujar Sean.
Melihat gelagat Sera yang cukup aneh, membuat Frans mencurigai sesuatu.
“Apa kau pernah bertemu dengan pria bersenjata seperti anak buah kami?” tanya Frans.
“Sebelum aku menjawab, bolehkan aku bertanya?” Sera pun akhirnya kembali berbicara dengan suara yang bergetar.
“Tanyakan apa yang ingin kau ketahui,” titah Sean.
“Siapa kalian sebenarnya? Tempat apa ini? Aku yakin, ini bukan rumah sakit!” tanya Sera mencecar. Sejak pertama kali tersadar, ia sama sekali tak menaruh curiga apapun pada Sean, Frans bahkan ruang yang sedang ia tempati.
Gadis itu menatap sekeliling ruang tersebut, hingga tatapannya berhenti pada dua pria bersetelan jas hitam, dengan sebuah senjata laras panjang di tangannya. Sera memejamkan matanya, lalu membuang muka ke sisi lain, berusaha menghindar kontak mata dengan para pria yang menurutnya sangat berbahaya, di balik dinding kaca.
“Jika aku mengatakan, kami semua adalah seorang mafia yang akan melindungimu, apa kau akan mempercayainya?” tanya Sean dengan hati-hati.
Sera yang sangat terkejut, seketika membelalakkan mata. “Ma-mafia? Ya Tuhan,” gumamnya, sembari menutup mulut dengan kedua tangannya.
Sean menghela napas dalam-dalam, lalu mencoba duduk di samping Sera untuk memberinya pengertian.
“Kami bukan mafia biasa seperti yang kau pikirkan, Sera. Kami bahkan punya misi dengan sebuah tim pasukan khusus yang di bentuk pemerintah untuk menangkap para penjahat kelas kakap, dan buronan-buronan Interpol,” jelas Sean.
“A-apa kalian juga membunuh orang-orang tidak bersalah seperti … orang-orang itu?” tanya Sera tanpa sadar.
“Kami tidak membunuh sembarang orang. Kami akan menembak lawan, jika dalam keadaan mendesak dan sudah disetujui oleh ketua tim pasukan khusus,” jawab Frans ikut menjelaskan.
“Sebentar … orang-orang itu? Siapa yang kau maksud?” tanya Sean menyelidik.
“Orang-orang yang selalu menghantui tidurku,” jawab Sera.
“Romano D’Angelo, Ayah dari Seravhina, mati tertembak saat terlibat baku hantam dengan sekelompok orang yang berusaha masuk ke dalam rumah mereka, ketika gadis itu berusia sepuluh tahun. Menurut informasi yang ku dapat, Sera pernah mengalami sebuah trauma hingga ia melupakan kenangan masa kecilnya, pasca meninggalnya sang Ayah. Sean, sepertinya … Sera menyaksikan sendiri kematian Romano,” ujar Arthur dari seberang jaringan pribadi. Ternyata, di ruangannya, pria itu mencari informasi lebih lanjut mengenai keluarga Sera, beserta kejadian-kejadian yang terjadi pada gadis itu, setelah kematian sang ayah dan ibunya.
“Apa kau melihat sesuatu … dalam mimpimu?” tebak Sean.
Sera menunjuk dua pria bersenjata yang berdiri di balik kaca besar ruang perawatan, dengan jari telunjuknya yang bergetar.
“Pria bersenjata?” Kini giliran Frans yang menebak.
Dengan ragu, Sera menganggukkan kepalanya. “Aku selalu memimpikan hal yang sama selama sembilan belas tahun terakhir.”
“Apa kau ingat kenangan masa kecilmu, Sera?” tanya Sean semakin penasaran.
“Sepertinya, masa kecilku bukan urusanmu, Tuan Elias!” sahut Sera yang mulai tersadar, jika dirinya sudah terlalu banyak bercerita mengenai keluarga dan masalalunya.
‘Tak ada orang bisa kau percaya selain dirimu sendiri, Sera. Jangan pernah menceritakan kisahmu pada siapapun. Kita bahkan tak tahu, jika orang yang sangat dekat denganmu, bisa menjadi orang yang sangat membahayakan nyawamu.’
Kata-kata sang ibu terus berputar di pikirannya, hingga gadis itu memutuskan turun dari atas brankar, dan mencoba berjalan menuju pintu keluar, walaupun kakinya masih terasa sangat lemas.
“Apa kau akan pergi dalam keadaan selemah itu?” tanya Sean, berusaha menyusul Sera untuk menghentikan gadis itu.
Seakan tak peduli dengan keadaan dirinya, Sera tak menghiraukan pertanyaan Sean dan dengan perlahan-lahan terus melanjutkan langkahnya.
“Apa kau tidak mengingatku? Aku adalah Dokter yang merawat Ibumu saat koma selama tiga tahun, dan juga yang mengoperasi seluruh luka bakar pada tubuhnya, apa kau tidak ingat?” tanya Frans tiba-tiba. Pria bersneli itu sengaja mengajukan pertanyaan tersebut, untuk menahan Sera lebih lama lagi.
“Kenapa kau menahan gadis itu, Frans?” tanya Arthur dari seberang jaringan pribadi.
Frans mengambil ponselnya, lalu mencoba mengirim pesan melalui jaringan pribadi Black Eagle.
Dr. Frans : Jeremy mengirim pesan pada ponsel Sera beberapa menit yang lalu, jika Meiyer Marthin sudah menunggunya di bar The Rocksy. Aku yakin, Sera pasti akan menuju ke tempat tersebut, setelah membaca pesan itu.
“Dari mana kau mengetahuinya? Apa kau diam-diam meretas ponsel milik Sera?” tanya Arthur.
“Astaga, kau terlalu banyak bicara, Arthur!” gerutu Frans sangat pelan.
“Baiklah, aku akan mengirim anak buah Black Eagle sekarang, untuk mengawasi Sera,” ujar Arthur.
“Kau pemilik golden blood, benarkan?” tanya Frans lagi.
Sera yang kini menghentikan langkahnya, seketika berbalik lalu menatap pada Frans yang berada di tengah ruang tersebut.
Suara Arthur kembali terdengar pada mini earpiece di telinga Frans dan Sean. “Anak buah kita sudah menuju bar The Rockey.”
“Apa yang ingin kau katakan?” tanya Sera mulai kesal.
Pria bersneli itu melirik jam di tangannya, lalu tersenyum penuh arti. “Tidak ada. Aku hanya ingin mengatakan hal itu saja,” jawab Frans sembari berjalan menuju meja kerjanya.
Sedangkan Sean yang sejak tadi berdiri di samping gadis itu, kini menarik pergelangan tangan Sera, lalu membawanya keluar dari ruang tersebut.
“Suatu saat nanti, kau akan berterima kasih pada Frans, aku dan juga salah satu rekanku yang lain,” ujar Sean sembari mengangkat salah satu sudut bibirnya.
***