13. Pengirim Makanan Misterius

1886 Words
"Siapa yang datang, Gibran?" pandangan Kai masih tertuju pada titik dimana Gibran berada. "Ini Tuan. Tuan dan nyonya besar yang datang." Gibran menyingkir, memberikan jalan pada dua orang yang muncul dengan sisa-sisa kepenatan yang tergambar jelas pada wajahnya itu untuk masuk. "Mami, Papi ...." sorak Kai girang. "Anak ini, sudah berapa kali Mami bilang untuk jangan mengabaikan medical check up rutinanmu. Kali ini hanya sakit punggung biasa, bagaimana kalau sesuatu yang lebih menakutkan terjadi padamu," omel wanita tua itu seraya memeluk putranya. "Aku tidak sepenuhnya sakit, Mi," bantah Kai. "Mana ada orang sehat yang tidur di rumah sakit?" sanggah Rima, wanita cantik Ibunda dari Kai. "Apa kau terlalu sibuk dengan pekerjaanmu sampai-sampai kau mengabaikan kesehatanmu." Kali ini gantian Anjas, tuan besar dari keluarga Wijaya yang mengambil alih tugas sang istri dalam memberikan ceramah pada putra tampan semata wayangnya. Rasa lelah yang mendera dua orang berusia setengah abad itu tak menyurutkan semangatnya untuk dapat secepatnya bersua dengan Kai. Anjas yang notabene keturunan konglomerat itu tak mendapat kendala ketika dirinya dan Rima ingin kembali ke tanah air. Mereka bisa pulang kapan saja mereka ingin. Ada segudang fasilitas mewah yang menunjang setiap kebutuhan mereka. Kehidupan orang kaya bak negeri dongeng yang seringkali disajikan dalam sebuah novel, mereka bisa merasakannya secara nyata. Jet pribadi, kapal pesiar mewah, koleksi mobil mewah, barang antik. Hotel, rumah sakit dan pusat perbelanjaan, bisnis properti, masih belum seberapa jika ditotal dari seluruh jumlah kekayaan orang yang masuk kategori dalam daftar sepuluh orang kaya se Asia itu. Selama ini pasangan suami istri itu sibuk mengurusi usahanya di luar negeri. Kehidupan santai seorang pengusaha hanya omong kosong belaka, nyatanya dua orang beda generasi itu terus saja disibukkan dengan pekerjaan yang seolah tak pernah ada habisnya. Like father like son, Kai dan ayahnya tidak jauh berbeda. Sama-sama gila kerja. Rima bisa melihat dengan jelas gambaran suaminya sewaktu muda dalam diri putranya. "Mami sama Papi kan baru saja sampai, kenapa tidak istirahat terlebih dulu? Kalian bisa kemari besok," ujar Kai yang melihat raut wajah kelelahan dari dua orang yang amat disayanginya. "Mami begitu merindukanmu, Nak." "Kai juga, Mi." Kai larut dalam perasaannya yang mendalam ketika ditatapnya wajah Rima yang mulai berkaca-kaca. Ia bahkan lupa kapan terakhir kali keduanya bertemu. Orang tuanya selama ini lebih banyak menghabiskan waktu di negeri orang. "Kau sudah makan?" wanita itu kembali menginterogasi putranya. "Sudah, Mi," cicit Kai. Dia sempat menatap tajam asistennya, memperingatkan pria itu agar memberikan jawaban yang sama dengannya jika sampai Ibunya bertanya padanya. "Gibran," panggil Rima meminta kejelasan. 'Sudah kuduga. Kenapa Tuan selalu saja menyudutkan aku? Dia selalu saja menjebakku dalam situasi yang sulit.' Gibran membatin. "Iya Nyonya." "Apa kalian sudah makan?" ulang Rima. "Sudah, Nyonya," balas Gibran. Pria itu bergidik ngeri saat mengetahui Kai menatapnya dengan sorot mata membunuh. Berulangkali ia mengusap dadanya yang bergemuruh untuk sekedar menenangkan diri. Berhadapan dengan Kai saja sudah membuatnya susah setengah mati, bagaimana jadinya jika ditambah dengan ibu sekaligus ayah dari tuannya itu? "Kau bisa pulang sekarang, istirahatlah!" titah Anjas. "Apa Tuan? Anda memecat saya Tuan besar?" Gibran kesulitan menelan salivanya. "Memang perkataanku yang mana yang mengatakan jika saya memecatmu?" Anjas terkekeh. "Tuan besar menyuruh saya pulang." Gibran semakin menunduk. "Astaga, jika saya berkata demikian itu artinya adalah pulang ke rumah yang sebenarnya. Apa terlalu lama mengikuti Kai membuatmu jadi memiliki pemikiran yang sama juga dengan Kai?" pria tua itu menyentuh bahu Gibran. "Tuan muda sering berkata demikian jika saya membuat sedikit kesalahan," ucap Gibran dan hal itu membuat tawa Anjas meledak. "Kenapa kau jadi bawa-bawa namaku?" cetus Kai tak terima. "Sudah ... sudah. Sudah malam, kau pasti lelah beberapa hari ini. Saya tahu betul apa yang akan dilakukan anak nakal ini jika sedang sakit, dia pasti sangat merepotkan dirimu," sela Rima. "Tidak juga Nyonya. Saya tulus melakukan semuanya untuk Tuan karena saya menganggap tuan muda lebih dari sekedar atasan saya." Kai mengerucutkan bibirnya, meledek Gibran yang telah berkata seperti itu di depan orang tuanya. "Dasar anak nakal! Kau tidak lihat wajahnya sampai memerah seperti itu?" Rima menabok lengan Kai. Ruangan itu mendadak riuh dengan tawa. "Kami menyuruhmu untuk pulang agar kau bisa beristirahat. Kau harus mengumpulkan banyak tenaga untuk bisa mengimbangi kegiatan Kai. Saya yakin sekalipun anak nakal ini dirawat, dia pasti tetap membawa pekerjaannya dan membebanimu juga kan?" telisik Rima. "Karena kami telah pulang, jadi biarkan kami merawat putra kami sendiri." Jujur, ada sebersit kecemburuan yang sempat menghinggapi Gibran. Kai, selain hidup bergelimangan harta, dia juga banyak dilimpahi kasih sayang. Hal yang jarang di dapat pada kehidupan keluarga kaya pada umumnya. Dia seringkali menonton sinetron ataupun membaca novel yang menceritakan tentang kehidupan seorang pengusaha muda yang terjerat gaya hidup bebas karena kurangnya didikan dan kasih sayang orang tua yang sama-sama sibuk di dunia bisnis. Banyak juga kisah CEO arogan yang seringkali menjerat wanita dan dengan mudahnya bergonta-ganti pasangan ranjang. Tapi apa yang tersaji di depan matanya sungguh jauh berbeda dengan novel maupun sinetron yang terkadang di tontonnya saat mencuri waktu di tengah-tengah kesibukannya. Dia sendiri yang terlahir dari keluarga sederhana saja, tidak sebegitunya diperlakukan penuh cinta dari orang tuanya. Padahal kedua orang tuanya jelas memiliki banyak waktu untuknya. Jiwa iri dalam diri pria itu terus meronta. "Baik Nyonya. Kalau begitu saya pamit undur diri dulu." Gibran meraih barang pribadinya sebelum pria itu meninggalkan ruangan tersebut. "Tunggu!" Gibran yang sempat memutar gagang pintu pun mengurungkan niatnya. Pria itu kemudian berbalik badan. "Iya, Nyonya." Dilihatnya Rima berjalan menuju sofa yang berada tak jauh dari bed rumah sakit Kai. Wanita itu mencari-cari sesuatu, lalu berjalan mendekati Gibran begitu melihat benda yang dicarinya. "Untukmu, terimakasih sudah menjaga Kai dengan baik," ucap Rima tulus seraya mengulurkan paper bag berwarna cokelat. "Ah, tidak perlu repot-repot Nyonya. Sudah menjadi kewajiban saya untuk selalu berada di samping tuan muda dan ...," "Tidak perlu sungkan begitu, cepat ambil atau saya akan marah," ancam Rima. "Terimakasih Nyonya." Tidak ingin berada di situasi yang sulit lebih lama lagi membuat Gibran mengalah. . . Duduk di kursi malas yang berada di sisi pagar pembatas balkon. Nadira membiarkan angin nakal membelai lengannya yang telanjang. Dihirupnya dalam-dalam udara yang terasa sejuk, berharap hal itu juga berpengaruh sama dengan hatinya yang sejak siang terasa gersang. Ia masih memejamkan mata, membiarkan rambutnya terus berkibar terkena terpaan angin. "Masuklah, udara malam tidak baik untuk kesehatan." Gadis itu spontan membuka matanya, menoleh ke arah sumber suara, dilihatnya Bobby sedang bersandar di daun pintu. "Mana kucing garang kesayanganmu itu," sahutnya, berjalan mendekati temannya. "Aku memintanya membuatkan teh jahe." Keduanya berjalan beriringan menuju ruang tengah dan ketika mereka sampai, ternyata Moza telah meletakkan tiga buah cangkir yang masih mengepulkan asap panas. "Habiskan teh nya dan kita bisa kembali ke rumah sakit secepatnya," ujar Moza. "Kau mengusirku?" tanya Nadira sakrastik. Moza mendesah panjang disusul usapan lembut di bahunya yang dilakukan Bobby seraya mengulum senyum. "Dia hanya sedang sensitif," bisik Bobby menenangkan Moza. "Mamahmu pasti membutuhkan teman untuk menghadapi situasi sulit ini. Karena kau teman kami, kami juga harus selalu ada untukmu." "Aku bisa ke rumah sakit sendiri. Kalian istirahat saja di sini." Nadira menyahuti Moza. "Berapa kali aku bilang ...," "Aku hanya tidak ingin kalian terbebani," ucap Nadira memotong perkataan temannya. "Dan kami tidak peduli, Ra." Bobby menyela. "Kita sudah bersama dalam waktu cukup lama, tidak ada rasa tidak enak dalam keluarga. Kita bisa menghadapi semua masalah bersama. Tidak perlu merasa sungkan begitu." Senyap. Suasana di sana kembali didominasi oleh detak jarum jam yang terus bergulir. Ketiganya larut dalam pemikirannya masing-masing hingga tanpa sadar, teh yang semula mengeluarkan uap panas telah berkurang suhunya. "Semuanya sudah berlalu, keadaan Oom Arif juga sudah mulai stabil. Aku tahu beliau adalah orang yang kuat," ucap Bobby yang seolah mengerti dengan apa yang sedang dipikirkan oleh temannya. Pria itu meletakkan cangkirnya yang telah kosong di atas meja. "Ini untuk pertama kalinya Papah mengalami serangan jantung. Aku takut, aku ...." "Tidak ada yang perlu kamu takutkan, jangan berpikiran macam-macam," potong Bobby. "Kau juga seorang dokter. Kau dokter spesialis jantung dan kau pasti lebih paham masalah itu dibandingkan aku. Papah mungkin akan mengalami banyak gangguan setelahnya." gadis itu menunduk begitu usai mengatakan hal tersebut. Lagi-lagi ketiganya terdiam. Bobby baru akan membuka mulutnya ketika Moza menggeleng pelan, mengkodenya agar pria itu tak lagi angkat bicara. Tidak ada gunanya berbicara dengan orang yang sedang kacau begitu. . . Mentari masih malu-malu menampakkan diri pagi itu. Semburat warna jingga yang anggun belum tergelar sempurna saat Nadira membuka mata. Ia menggeliatkan tubuhnya, akibat dari tidur pada sofa kecil membuatnya meringis. Tulang-tulang nya terasa lunglai dengan tubuh kaku. Nadira merasakan sakit di sekujur tubuhnya, dan masih harus ditambah dengan sakit kepala juga. "Morning, Mah." Bersikap layaknya anak kecil, Nadira bergelayut pada bahu Mutia setelah mendaratkan kecupan singkat pembuka hari pada wanita itu. "Pagi juga cantik. Tubuhmu pasti sakit semua, tidurmu juga tidak nyaman," balas wanita paruh baya itu lalu menutup majalah yang tengah dibaca olehnya. "Mamah sudah mandi sepagi ini?" tanyanya ketika mengendus wangi jeruk dari tubuh sang ibu. "Mamah ingin ketika Papahmu bangun nanti dia melihat Mamah dalam keadaan cantik. Kau juga harus mandi sekarang!" titahnya. "Baiklah." Nadira mengakhiri sesi manja-manjanya pagi itu dan bergegas untuk membersihkan diri. Gadis itu keluar dari kamar mandi selang dua puluh menit kemudian. Dengan handuk kecil yang ia gunakan untuk mengeringkan rambutnya, dia berjalan mendekati bed ayahnya. "Hai cantik," sapa Arif pada putrinya. Hubungan keduanya memang sangatlah dekat. "Hai tampan," balasnya. "Papah mau sarapan? Makanan darimana?" imbuhnya lagi ketika melihat pria itu tengah menyendok mangkuk yang ada di atas meja lipatnya. Nadira merasa tidak memesan makanan, dan jatah makan pasien juga belum akan diberikan sepagi ini. Ia lalu mengedarkan pandangannya dan matanya tertumbuk pada sebagian bungkusan yang ada di atas nakas. Wangi gurih nasi tim menguar ketika tangannya berhasil menyingkap bungkusan tersebut. "Nasi tim dari mana, Mah?" "Itu ... Mamah juga nggak tahu, Sayang," sahut Mutia. "Heh?" Nadira menatap Mutia, meminta penjelasan. "Seorang kurir datang mengantarkan lima buah bowl nasi tim. Sepertinya itu dipesan khusus dari restoran Chinese food," jelas Mutia. Nadira masih berusaha mencerna setiap ucapan Ibunya. Kurir? Nasi tim yang berjumlah lima porsi? Sepertinya si pengirim tahu betul posisi mereka saat ini, tiga bowl untuk Nadira sekeluarga sementara sisanya untuk Bobby dan Moza. "Tunggu, Pah!" Nadira merebut sendok dalam genggaman ayahnya. Arif pun begitu terkejut mendapati kelakuan putrinya hingga membuat tubuhnya menegang. "Mah, kenapa membiarkan Papah makan makanan nggak jelas? Kita tidak tahu siapa orang yang telah mengirimkannya. Bagaimana kalau orang itu menaruh sesuatu di dalamnya?" oceh gadis itu pada ibunya. Mutia terkekeh. "Anak ini, ada-ada saja." "Mah ...." "Ya ... maaf. Logikanya, kalau si pengirim memang berniat jahat pada keluarga kita, dia tidak mungkin memberikan nasi tim juga untuk kedua temanmu. Memang orang jahat mana yang mau mencelakai Papahmu, Nak. Sekalipun pengirimnya adalah orang jahat, apakah mungkin dia juga akan mencelakakan kedua temanmu?" celoteh Mutia panjang lebar. "Tetap saja, Mah." Mengerti akan kecemasan putrinya, Mutia kembali membuka mulut. "Tadi Mamah sudah sempat bertanya pada kurirnya. Dia memang nggak mengatakan siapa yang telah mengirim makanan ini, dia hanya bilang kalau si pengirim hanya ingin kita semua tidak terlambat untuk sarapan." Nadira masih terus berdiri di samping bed ayahnya. Perlahan dicicipinya seujung sendok nasi lembek dengan aneka topping daging dan sayur diatasnya. Perpaduan nasi yang lembut dan gurih dengan potongan daging berbumbu serta sayuran segar bisa ia rasakan. Gadis itu menganggukan kepalanya kemudian meraih sendok bersih dan menyerahkannya pada Arif, begitu memastikan tidak ada sesuatu yang aneh dengan makanan tersebut. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD