18

792 Words
Gadis itu menghela napas panjang. Keluar dari ruang teater lalu mengedarkan pandangannya. Ia mengernyit. Memandang semua orang yang barada disana  yang tampak antusias menunnggu sambil berlatih. Senyuman tercetak jelas dibibir para gadis itu membuat Vanna seketika mendelik. Setelah bosan mengamati wajah cerah para gadis yang sedang menunggu nomor antriannya, Vanna melangkah pergi. Niatnya ingin ke kelas untuk mengambil tasnya yang masih berada disana. Mengingat kedua sahabatnya itu refleks membuat Vanna kembali mendelik. Seharusnya ia sudah menduga jika dua sahabatnya itu mencurigakan. Bagaimana tidak. Kemarin katanya mereka akan sama-sama mengikuti casting. Tapi nyatanya hanya dirinya sendiri yang ikut. Dengan alasan yang berbeda, keduanya berkilah pergi dari ruang teater meninggalkannya sendiri. Dan yang lebih wow untuk Vanna. Pemeran utama yang dipakai adalah Raffa. Ya, Raffa Farellino yang belakangan ini sangat dekat dengannya. Jadi dugaan Vanna kali ini sangat kuat mengenai ini. Jika kedua sahabatnya sudah bekerja sama dengan Raffa untuk mengikut sertakannya dalam kegiatan ini. Vanna mendengus. Garis wajahnya perlahan berubah menjadi datar. Dalam hatinya terus melontarkan umpatan entah buat siapa. Yang pasti untuk tiga orang penyebab semua ini. Dalang dari semua ini. Sesampainya didalam kelas, ia mengambil tasnya lalu bergegas pergi dari sana. Melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, Vanna menuruni tangga untuk sampai di koridor utama. Moodnya sangat jelek sekarang. Bahkan dia sama sekali tidak melirik kanan-kiri seperti biasanya. Seharusnya Vanna mengabaikan saja permintaan Nadya dan Lena. Seharusnya ia tidak luluh begitu saja ketika mereka membujuknya. Ah, apakah Vanna seharusnya menyalahkan dirinya sendiri? Memang jarang sekali Vanna mengikuti kegiatan sekolah yang baginya merepotkan. Ekskul saja ia jarang menghadirinya, apa lagi diminta untuk ikut serta dalam drama yang membuat Vanna muak seketika ketika mengetahui ceritanya. Tiba-tiba Vanna merem langkahnya. Ia berdecak, wajahnya perlahan berubah sedikit cerah. Vanna berbalik. Berjalan cepat menaiki tangga kembali menuju ruang teater. Bibirnya mencetak senyuman miring. Ia membuka pintu ruang teater. Menyembulkan kepalanya kedalam. Melihat ada 3 orang yang berada disana. Ketua ekskul drama beserta dua anggota OSIS. Vanna mendekat. Menautkan kedua tangannya sambil mengubah ekspresi wajahnya menjadi kalem. Mendengar derap langkah yang mendekat, ketiga orang yang sedang berbicara itu kompak menoleh. "Vanna kan? Ada apa?" Tanya salah satu dari mereka yang memang mengenal gadis itu. Gadis itu mengangguk. Tersenyum tipis lalu berdiri tepat didepan ketiga orang tersebut. Vanna membasahi bibir bawahnya sambil merapikan anak rambutnya kebelakang daun telinga. "Bisa diskualifikasi gue?" Ketiga orang dihadapan Vanna kompak melongo. Menatap Vanna tak percaya dengan apa yang barusan gadis itu lontarkan kepada mereka. Sedangkan Vanna tersenyum kikuk. Berusaha mempertahankan senyumannya agar tak mendelik melihat ekspresi ketiga orang itu. Vanna jadi mikir. Apanya sih yang perlu dikagetin? Toh kemungkinan besar ia tidak akan lolos. Vanna berdeham. Mengeratkan tautan kedua telapak tangannya sambil menatap bergantian tiga orang cewek itu. "Eumm.... bisa kan?" Salah satu dari mereka mengerjap beberap kali. "K-kenapa?" Cewek berkaca mata itu berdeham sambil memperbaiki kaca matanya, "Lo berubah pikiran?" "Gue baru inget kalo gue gak punya waktu buat ikut. Gue juga punya urusan lain sih yang ga bisa ditunda." Jelas Vanna membuat cewek itu mengangguk. "Beneran nih? Udah fix kan lo?" Vanna mengacungkan jempolnya sambil menyengir. "Udah kok." "Yaudah kalo gitu mau lo." Setelah sedikit berbasa basi, Vanna keluar dari sana. Menghembuskan napas lega lalu tersenyum lebar. Masalahnya kelar. Dengan gembira Vanna turun dari tangga. Sekarang berjalan di koridor utama yang menghubungkan dengan parkiran. Baru saja ia keluar dari koridor, matanya langsung menangkap sosok seseorang yang sedang bersandar di motor besar merahnya dengan tangan yang berada disaku celana dengan seragam sekolah yang sudah agak berantakan. Membuat Vanna kembali masuk sambil memegang dadanya. "Ngapain sih masih disini?" Gumam Vanna sambil mengintip orang yang masih anteng ditempatnya. "Siapa?" Hampir saja Vanna terjungkal ketika mendengar suara berat seseorang. Gadis itu refleks berbalik dengan tatapan horror lalu seketika berubah ketika melihat siapa pemilik suara itu. "Oh? Arka kan?" Cowok itu tersenyum. "Masih ingat ternyata." Vanna mengulum senyum. "Kok masih disini?" Arka bersandar pada tembok koridor disamping Vanna sambil menggerakan dagunya tanpa mengalihkan pandangannya dari Vanna. "Lagi ngurus OSIS." Mata Vanna melebar, "Lo OSIS?" Arka mengangguk. "Lo mau pulangkan? Mau bareng?" "Eung..." Vanna melirik keluar, memerhatikan Raffa yang masih sama posisinya yang kini menunduk. "Lo bawa motor?" Arka mengangguk. "Parkir dimana?" Tanya Vanna lagi membuat cowok itu menunjuk sebuah motor besar berwarna hitam yang jaraknya tak terlalu jauh dari sana. "O-ohh... kalo gitu boleh." Vanna mengekori Arka. Berjalan dibelakang cowok itu sambil bersembunyi, melirik Raffa yang berada diujung sana yang sekarang mengedarkan pandangannya membuat Vanna menutupi samping sisi wajahnya menggunakan rambut panjangnya. Bergegas menaiki motor Arka dan kembali menutupi wajah ketika motor besar Arka melewati Raffa yang masih senantiasa menunggu. Setelah menjauhi area sekolah, Vanna menurunkan tangannya yang digunakan untuk menutupi wajahnya. Perlahan air mukanya berubah. Berpikir mengenai cowok yang sekarang masih menunggu di parkiran sekolah. Gue jahat ga sih? Batinnya kembali bersuara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD