Eps. 13 Biarkan Aku Tidur Di Sini

1310 Words
“Sepasang mata mengerikan? Apa kamu bisa menjelaskan lebih detail padaku, Grisel?” tanya Ferrin serius, matanya menatap penuh konsentrasi. Ia meraih buku catatan kecil dari saku jasnya dan menyiapkan pena untuk mencatat setiap kata yang keluar dari bibir pasiennya itu. Grisel menegang sejenak, sorot matanya masih penuh ketakutan. “Mata itu… bulat, tajam, dan begitu mengerikan, Dok. Aku tidak tahu, apakah itu mata seorang wanita atau lelaki, semuanya kabur. Tapi yang jelas… hanya matanya saja yang terus muncul, seolah menempel di mana pun aku berada. Rasanya seperti aku akan dimangsa hidup-hidup. Tatapan itu… tatapan yang berniat membunuhku.” Ia menggigil hebat, tangannya meremas kain baju pasien yang dikenakannya. “Dok… aku takut. Sebenarnya aku ini siapa? Apa ada seseorang di luar sana yang membenciku… yang menginginkan aku mati?” Ferrin mengangkat wajahnya dari catatan, menatap Grisel yang kini pucat pasi. Ia bisa merasakan kecemasan itu begitu nyata, bukan hanya sekadar mimpi biasa. Tangannya bergerak, mencatat cepat detail mimpi itu. Melihat Grisel gemetar hebat, Ferrin akhirnya menutup catatan kecilnya. Ia mencondongkan tubuh, berbicara dengan suara rendah yang menenangkan. “Grisel, aku juga belum tahu siapa kamu sebenarnya. Tapi mari kita berpikir positif dulu, ya? Kamu adalah orang baik. Mungkin… mimpi itu hanya simbol bahwa ada hal dari masa lalumu yang belum terungkap. Bisa jadi memang ada seseorang di luar sana yang tidak menyukaimu, atau bisa juga hanya bayangan dari ketakutanmu sendiri. Tapi yang jelas selama kamu di sini, kamu aman.” Grisel menunduk, mencoba menelan rasa takutnya. “Iya, Dok… terima kasih,” ucapnya lirih. Bibirnya melengkung membentuk senyum tipis, meski sorot matanya masih menyimpan ketakutan yang tidak bisa ia sembunyikan. Ferrin terdiam sejenak, lalu perlahan meletakkan tangannya di bahu Grisel. Sentuhannya mantap, lembut, tapi penuh ketegasan. Ia meremas bahu itu, memberi kekuatan. “Grisel, dengarkan aku baik-baik. Selama kamu menjadi pasienku di sini, kamu adalah tanggung jawabku. Aku akan menjagamu sampai ingatanmu kembali. Kamu nggak sendirian.” Entah kenapa, dalam hatinya sendiri, Ferrin merasa ada sesuatu yang berbeda. Wanita ini begitu rapuh, begitu hancur, tapi justru itulah yang membuatnya ingin melindunginya tanpa syarat. Sebuah dorongan yang tumbuh begitu alami, seakan-akan menjaga Grisel adalah hal yang sudah seharusnya ia lakukan. Ferrin menutup catatannya sejenak, lalu menatap Grisel dengan penuh perhatian. “Sebelumnya kamu sempat berkata ada sesuatu tentang anak kembar yang menarik perhatianmu. Apa itu benar?” tanyanya tiba-tiba, teringat kembali pada kejadian di taman beberapa waktu lalu. Grisel sontak tersentak, wajahnya tegang. “Iya, Dok… aku sendiri juga nggak tahu kenapa. Tiba-tiba saja aku merasa tertarik pada mereka. Rasanya seperti ada sesuatu yang kuat mengikatku dengan kedua anak itu. Aku ingin mencari tahu lebih jauh. Kenapa mereka begitu… menarik sekali perhatianku?” Ferrin kembali menunduk, mencatat cepat setiap detail. Ia tahu, hal sekecil apa pun bisa menjadi petunjuk berharga nanti jika catatannya lengkap. “Baik,” ucapnya tenang, “Aku sudah menuliskannya. Mungkin suatu hari nanti kita bisa lakukan tes untuk menghubungkan semua ini.” Ia menutup buku catatan, lalu beranjak. “Grisel, sekarang aku harus memeriksa pasien lain. Kamu bisa beristirahat dulu di kamarmu.” Namun Grisel langsung menggeleng keras, wajahnya panik. “Nggak, Dok! Aku nggak mau kembali ke kamar. Aku takut kalau ketiduran, aku akan bermimpi buruk lagi… aku nggak sanggup.” Ferrin menatapnya serius. “Kalau begitu, kamu mau istirahat di mana?” Grisel terlihat canggung, bibirnya bergetar. “Maaf, Dok… mungkin ini lancang. Tapi… bagaimana kalau aku beristirahat di sini saja? Di ruanganmu… hanya sebentar, sampai aku merasa tenang dan berani masuk kamar lagi.” Ucapannya lirih, namun matanya menatap penuh harap, seakan menggantungkan seluruh rasa aman pada dirinya. Ferrin terdiam beberapa detik. Hatinya berkata untuk menolak, aturan profesional jelas tidak membenarkan hal ini. Namun di balik sorot mata Grisel, ia melihat seorang gadis yang malang, rapuh, dan ketakutan. Ia menarik napas panjang. “Baiklah. Kamu boleh beristirahat di sini. Kursi panjang itu bisa kamu gunakan, meskipun keras dan tidak senyaman kasur.” Ia menunjuk kursi di sudut ruangan. Grisel tersenyum tipis penuh lega. “Nggak apa-apa, Dok. Aku nggak masalah, asal aku nggak kembali ke kamar dulu.” Ferrin hanya mengangguk, tak bisa lagi menolak. Ia membiarkan Grisel tetap berada di ruangannya, lalu dengan tenang melangkah keluar untuk memeriksa pasien lain, meski pikirannya masih tertinggal bersama bayangan wajah cemas wanita itu. Setelah Ferrin pergi, keheningan segera menyelimuti ruangan itu. Grisel duduk sendiri di kursi panjang, kedua tangannya bertaut di pangkuan. Pandangannya menyapu seisi ruangan, memperhatikan meja kerja rapi milik Ferrin, rak buku yang penuh dengan literatur medis, hingga jas dokter yang tergantung rapi di sisi lemari. Semuanya terasa asing, tapi entah mengapa memberi sedikit rasa aman. Sesekali ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang masih berdebar setelah percakapan tadi. Namun, tubuhnya yang lelah tak mampu lagi menahan rasa kantuk. Sebuah helaan kecil keluar dari bibirnya, lalu sebuah uap panjang menyusul. “Aku nggak boleh tidur… aku bisa mimpi buruk lagi,” bisiknya pada diri sendiri, berusaha melawan rasa kantuk yang kian berat. Namun detik demi detik berlalu, matanya semakin sulit terbuka. Ia bergeser sedikit, mencari posisi yang lebih nyaman di kursi itu. Kepalanya akhirnya bersandar pada sandaran, tubuhnya miring dengan tangan yang terlipat sebagai penyangga. Perlahan, kelopak matanya menutup sepenuhnya. Dalam keheningan ruang itu, Grisel akhirnya terlelap. Wajahnya masih tampak tegang, seolah mimpi buruk bisa saja datang kapan saja. Namun untuk sesaat, tubuhnya menyerah pada rasa lelah, tenggelam dalam tidur yang rapuh dan penuh bayangan samar. Beberapa jam kemudian, Ferrin akhirnya kembali ke ruangannya setelah memeriksa beberapa pasien di kliniknya. Tubuhnya terasa sedikit lelah, namun pikirannya masih terikat pada pasien bernama Grisel yang sebelumnya ia tinggalkan. Ia sempat mengira gadis itu mungkin sudah kembali ke kamarnya, karena ruangan terasa begitu hening tanpa suara. “Ke mana dia? Apa dia sudah kembali ke kamarnya?” gumamnya pelan, seraya mendorong pintu dan masuk ke dalam. Tatapannya menyapu sekeliling ruangan, hingga pandangannya terhenti pada sosok yang terbaring di kursi kayu panjang. Grisel terlihat tertidur pulas, tubuhnya meringkuk dalam posisi yang jelas tidak nyaman. Rambutnya sedikit berantakan, wajahnya pucat namun damai, seolah kelelahan berat akhirnya memaksa tubuhnya menyerah pada tidur. “Astaga… dia pasti benar-benar tidak tidur semalaman,” ucap Ferrin lirih, matanya melembut. “Sampai bisa ketiduran di sini.” Ada nada iba di suaranya, sebuah rasa yang sulit ia sembunyikan. Ia lalu duduk di kursinya, berusaha kembali fokus pada pekerjaan. Namun entah mengapa, matanya terus saja kembali melirik ke arah Grisel. Ada sesuatu dari gadis itu yang membuatnya sulit berpaling. Ferrin kemudian membuka catatan yang tadi sempat ia tulis. Dua kata kunci tertulis jelas, sepasang mata mengerikan dan anak kembar. Ia termenung sejenak, jari-jarinya mengetuk pelan meja. “Anak kembar, ya? Apa itu ada hubungannya dengan Grisel?” bisiknya pelan. Sebuah kemungkinan melintas di pikirannya. “Apa mungkin… dia sendiri seorang anak kembar?” lirihnya, mencoba menyusun benang merah meski keraguannya masih begitu besar. Grisel tampak semakin meringkuk di kursi panjang itu, tubuhnya bergetar halus seolah kedinginan menusuk sampai tulang. Ferrin yang memperhatikan dari kursinya merasa tak tega. Dengan cepat ia bangkit, menoleh ke sekeliling mencari sesuatu untuk menghangatkan gadis itu. Tidak ada selimut di ruangannya, hanya jas dokter yang tergantung di dinding. Tanpa pikir panjang, ia mengambil jas putih itu dan perlahan menyelimutkannya ke tubuh Grisel. Saat kain itu menutupi bahunya, raut gelisah di wajah gadis itu sedikit mereda. Napasnya yang semula berat mulai terdengar lebih teratur. Ferrin terdiam, menatap sosok rapuh itu dengan sorot mata penuh iba. “Grisel… aku sangat penasaran dengan masa lalu kamu,” gumamnya lirih, hampir seperti bisikan yang hanya ia sendiri yang dengar. Ada dorongan kuat dalam dirinya untuk melindungi gadis itu, meski ia tahu batasannya sebagai seorang dokter. Tiba-tiba, tangan Grisel yang gelisah terjulur tanpa sadar, meraih tangan Ferrin yang ada di dekatnya. Genggamannya erat, seolah takut kehilangan pegangan. Dalam igauannya, bibir Grisel bergetar, mengucap kata yang membuat da-da Ferrin mengeras. “Tolong aku… jangan kejar aku…,” bisik Grisel lirih, membuat Ferrin tercekat di tempatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD