Eps. 15 Bolehkah Aku Bekerja Padamu?

1501 Words
Grisel membuka matanya perlahan. Cahaya lampu putih di langit-langit kamar menyilaukan matanya sesaat. Pandangannya berputar, mencoba mengenali ruangan yang kini menemaninya. Dindingnya berwarna putih bersih, aroma antiseptik tercium tajam, dan suara mesin monitor terdengar pelan di sebelahnya. Ia tersadar bila dirinya kini berada di kamar rumah sakit, bukan lagi di ruang konsultasi. “Kenapa aku ada di sini? Bukannya tadi aku masih di ruangan Dokter Ferrin?” gumamnya pelan, mencoba mengingat. Ia menarik napas panjang. Pikirannya berputar, bayangan terakhir yang ia ingat adalah wajah Ferrin yang panik, suaranya yang memanggil, lalu semuanya gelap. “Mungkin aku pingsan dan dibawa ke sini…,” desisnya. Ia menatap langit-langit sambil menggigit bibir, merasa malu sekaligus khawatir. “Semoga aku nggak mimpi buruk lagi nanti,” lanjutnya dengan suara lemah. Bayangan mimpi itu tentang seseorang yang berwajah mirip dengannya masih menghantui pikirannya. Tak lama, pintu kamar terbuka. Seorang perawat masuk sambil membawa clipboard. Langkahnya tenang tapi terburu-buru saat melihat Grisel sudah bangun. “Nona sudah sadar?” sapanya lembut sambil tersenyum lega. Grisel mengangguk pelan. “Ya, Sus. Tapi… kenapa aku di sini?” tanyanya heran. “Dokter Ferrin yang membawa Nona ke kamar ini,” jelas perawat sambil mulai memeriksa tekanan darah dan detak jantungnya. “Beliau khawatir karena Nona tiba-tiba pingsan, jadi memerintahkan kami untuk memantau kondisi Nona setiap jam.” Grisel menatap perawat itu tak percaya. “Serius? Dia sampai menyuruh begitu?” suaranya terdengar antara terkejut dan tidak percaya. Perawat tersenyum kecil. “Ya, Nona. Dokter Ferrin terlihat sangat cemas tadi.” Grisel merasakan sesuatu bergetar halus di dadanya. Entah kenapa, mendengar dokter itu begitu peduli membuatnya hangat tapi juga canggung. Ia segera berdeham, berusaha menutupi perasaannya. “Aku sudah merasa baik. Tidak perlu diperiksa lagi, kan?” tolaknya halus, sambil menepis lembut tangan perawat yang tengah memegang pergelangan tangannya. “Tapi, Nona…” Perawat tampak ragu. Grisel tersenyum sopan. “Aku benar-benar nggak apa-apa. Lagipula aku nggak ingin merepotkan siapa pun lagi.” Namun perawat menggeleng perlahan. “Maaf, Nona. Saya tidak berani membantah perintah Dokter Ferrin. Beliau bilang kondisi Nona harus terus dipantau sampai benar-benar pulih. Kalau saya mengabaikan itu, beliau pasti marah.” Grisel menatapnya sejenak, lalu menghela napas pasrah. “Baiklah… kalau begitu lakukan saja,” ucapnya akhirnya. Dalam hati, ia tak bisa menahan rasa hangat aneh yang muncul setiap kali nama Ferrin disebut. Selesai memeriksa Grisel, perawat itu menuliskan hasil pemeriksaan di papan catatan kecil yang dibawanya, lalu dengan langkah hati-hati meninggalkan kamar. Ia berjalan menuju ruang kerja Dokter Ferrin. Ketika tiba di sana, ia mengetuk pintu dua kali sebelum masuk. “Masuk.” Suara Ferrin terdengar tegas dari dalam. Perawat itu membuka pintu dan melangkah masuk, menundukkan kepala sedikit. “Dok, saya ingin melapor. Nona Grisel sudah sadar.” Ferrin yang tengah menatap layar monitornya langsung menoleh cepat. Matanya memancarkan sorot lega bercampur penasaran. “Benarkah? Dia sudah sadar? Bagaimana kondisinya sekarang?” tanyanya cepat, nada suaranya sedikit terburu-buru, menunjukkan rasa khawatir yang masih tersisa. “Kondisinya bagus, Dok. Sudah stabil. Tidak ada tanda-tanda bahaya,” jawab sang perawat. “Namun, Nona Grisel bilang tadi dia sudah merasa baik-baik saja dan menolak untuk diperiksa lebih lanjut.” Ferrin terdiam sejenak, menghela napas perlahan sambil menyandarkan punggung di kursinya. “Aku paham. Dia memang keras kepala,” gumamnya sambil menatap ke arah jendela, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Perawat itu menunggu arahan selanjutnya, sementara Ferrin tampak berpikir serius. Hening beberapa detik sebelum akhirnya ia berucap, “Kalau begitu, pantau saja seperti biasa. Tidak perlu setiap jam, tapi pastikan semua berjalan normal. Kalau ada perubahan atau sesuatu yang tidak beres, segera kabari aku. Jangan tunggu sampai parah.” “Baik, Dok,” jawab perawat dengan hormat. “Kalau begitu saya permisi.” Ferrin mengangguk tanpa menatapnya. “Terima kasih.” Begitu perawat keluar, ruangan itu kembali hening. Ferrin menatap tumpukan berkas di mejanya, tapi pikirannya tidak fokus. Ia justru memikirkan wajah Grisel, pada tatapannya yang penuh ketakutan tadi, tangan yang gemetar, dan igauannya yang meminta tolong. Ada sesuatu dalam mimpi gadis itu yang terasa lebih dalam dari sekadar trauma biasa. Ferrin menyandarkan tubuhnya, menatap langit-langit sambil menarik napas panjang. “Apa yang sebenarnya kamu alami, Grisel? Siapa orang yang kamu lihat di mimpimu itu?” gumamnya lirih. Ia mengusap wajahnya pelan, mencoba menenangkan diri. Di antara rasa lega karena Grisel sudah sadar, ada pula kebingungan yang tak bisa ia singkirkan. Ia dokter, seharusnya hanya peduli pada pasiennya sebatas profesional. Tapi entah kenapa, setiap kali menyebut nama Grisel, ada sesuatu di dadanya yang terasa hangat dan berat sekaligus. Ferrin akhirnya menutup matanya sejenak, lalu tersenyum samar. “Setidaknya kamu sudah sadar… itu sudah cukup untuk sekarang.” Sore hari, ketika matahari mulai merunduk dan langit memerah lembut di balik jendela rumah sakit, Ferrin baru saja menyelesaikan praktiknya. Sebelum pulang, langkahnya terhenti di depan kamar pasien yang sejak tadi memenuhi pikirannya. Grisel. Ia menarik napas perlahan, lalu mengetuk pintu dan masuk. “Grisel, kamu baik-baik saja sekarang?” tanyanya lembut sambil berjalan mendekat. Grisel, yang tengah duduk di ranjang dengan selimut setengah melingkari tubuhnya, tampak terkejut. Di tangannya ada buku psikologi milik Ferrin yang entah sejak kapan ia pinjam. Ia buru-buru menutup buku itu dan meletakkannya di samping bantal. “Oh, Dokter Ferrin,” ucapnya gugup, tersenyum kecil. “Aku sementara ini baik-baik saja, Dok. Jujur, aku merasa sangat ngantuk, tapi aku berusaha untuk tetap terjaga. Aku takut kalau tidur nanti mimpi buruk itu datang lagi.” Ferrin mengangkat satu alis, memandangnya dengan tatapan campuran prihatin dan kagum. “Kamu memerlukan tidur yang cukup untuk pemulihan, Grisel. Kalau kamu takut tidur dan terus memaksakan diri bergadang, bagaimana tubuhmu bisa cepat pulih?” katanya lembut tapi tegas. Grisel menunduk, menggenggam ujung selimutnya. “Aku tahu, Dok. Tapi setiap kali aku menutup mata, mimpi itu datang. Aku melihat diriku sendiri… atau seseorang yang mirip denganku. Dia mengejarku. Aku nggak tahu siapa dia, tapi aku selalu ketakutan setiap kali terbangun,” ujarnya lirih, suaranya bergetar halus. Ferrin terdiam sejenak. Ia bisa merasakan ketulusan dalam setiap kata Grisel. Dalam hati, ia kembali memikirkan teori yang sempat ia tulis di catatan pribadinya, anak kembar dan trauma ingatan ganda. Ada kemungkinan besar mimpi itu bukan sekadar bunga tidur. Namun sebelum sempat ia berkata sesuatu, Grisel menatapnya dengan ragu. “Dokter Ferrin, boleh aku tanya sesuatu?” “Tentu. Apa itu?” “Dokter di rumah punya asisten?” Pertanyaan itu membuat Ferrin sedikit bingung. Ia menggeleng perlahan. “Nggak, aku nggak punya. Kenapa?” Grisel mengerjap, lalu memberanikan diri. “Kalau begitu, bolehkah aku bekerja di rumah Dokter sebagai asisten setelah aku sembuh… atau bahkan mungkin setelah aku keluar dari rumah sakit nanti?” Mata Ferrin langsung membelalak. “Grisel, kamu belum sembuh. Bagaimana kamu bisa berpikir untuk bekerja sekarang?” suaranya meninggi sedikit, bukan karena marah, tapi karena terkejut. Grisel menunduk lebih dalam, suaranya hampir tak terdengar. “Aku hanya… nggak ingin kembali sendirian, Dok. Aku takut jika kembali ke kamar ini tanpa ada siapa pun. Aku merasa di sini lebih aman bila asa temannya. Bersama dokter, aku merasa sedikit tenang.” Ucapan itu membuat da-da Ferrin terasa hangat sekaligus berat. Ia menatap wajah Grisel yang tampak rapuh, namun di balik matanya, ada permintaan tulus yang sulit diabaikan. “Grisel,” katanya pelan, mencoba menimbang-nimbang kata. “Kita bicarakan nanti, setelah kamu benar-benar pulih. Sekarang yang paling penting adalah kesembuhanmu.” Grisel mengangguk pelan, menatap lantai. “Baik, Dok.” Ferrin menatapnya sejenak, lalu tersenyum lembut. “Istirahatlah. Aku akan pastikan kamu tidur nyenyak malam ini tanpa mimpi buruk,” ucapnya sebelum beranjak keluar. Namun dalam hatinya, ia tahu, mulai malam itu, Grisel bukan lagi sekadar pasien baginya. Tiba-tiba saja Ferrin teringat dengan bukunya yang belum dia temukan. “Grisel kamu melihat buku ku? Aku nggak menemukannya di ruanganku.” Grisel langsung mengambil buku yang ditaruh dekat bantal. “Mungkin masuk dokter ini?” Ferrin menerima buku itu dengan senyum tipis. “Terima kasih, Grisel. Untung kamu menemukannya, aku sempat berpikir bukuku hilang,” ujarnya sambil menepuk-nepuk sampul buku yang sudah sedikit kusut di ujungnya. Grisel tersenyum malu. “Maaf ya, Dok. Aku tak sengaja membacanya terlalu lama. Buku itu menarik, dan entah kenapa membuatku sedikit lebih tenang.” Ferrin menatapnya sejenak, lalu mengangguk pelan. “Nggak apa-apa. Kalau itu bisa membuatmu lebih tenang, aku senang.” Grisel menatap ke arah buku di tangan Ferrin, lalu dengan suara pelan dan penuh harap berkata, “Dok, bila boleh... aku ingin membaca buku lain lagi. Buku apa saja, asalkan bisa menenangkan pikiranku. Mungkin yang ringan atau yang membuatku bisa melupakan mimpi buruk itu.” Ferrin sedikit tersenyum, rasa iba kembali muncul dalam dadanya. “Baiklah, Grisel. Besok aku bawakan beberapa buku dari rumahku. Pilih saja yang kamu suka,” katanya lembut seperti janji yang tak bisa diingkari. Wajah Grisel langsung berubah cerah, senyumnya tulus. “Terima kasih, Dokter Ferrin. Aku benar-benar berterima kasih.” Ferrin menatapnya sesaat sebelum beranjak pergi. “Istirahatlah malam ini, Grisel. Besok aku pastikan kamu nggak bosan lagi,” ujarnya, lalu meninggalkan kamar dengan perasaan yang entah mengapa terasa hangat dan tenang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD