Arion berjalan santai menuju tempat tidur. “Kesalahanmu ada dua, Zara. Pertama, kamu nggak menyiapkan handuk ukuran besar, hanya ada handuk seukuran ini saja di rak. Kedua, kamu masuk seenaknya kesini padahal aku sedang mandi.” Juga dengan santainya Arion memakai baju di sana.
“Ish! Yang nomor dua bukan kesalahanku, ya! Kan sudah kubilang tadi akan taruh baju di atas tempat tidur. Seharusnya Om jangan keluar kamar mandi dulu dong kalau bajunya belum ada di sini!” Zara masih menutup wajahnya dengan telapak tangan.
“Ck ck sudah salah nggak mau mengaku lagi, tipikal Gen Z.”
“Hei, om-om tua! Jangan salahkan gen, dong! Sudah salah sendiri, malah salahin orang lain! Dasar gen millennial!”
“Sudah, buka saja tanganmu. Aku sudah selesai ganti baju.”
Zara perlahan membuka tangannya. Dia memindai Arion di hadapannya. Lalu tersenyum miring. Bagaimana tidak? Kaos tangan panjang yang dipakai Arion berwarna kuning cerah, padahal pembawaan Arion begitu berwibawa. Lalu celana panjang training yang dipakai Arion menggantung sampai di atas mata kaki. Jelas saja, Arion lebih tinggi daripada Faris.
“Terserah kamu mau tertawakan aku pakai baju ini. Yang jelas, kamu harus mendapat hukuman atas dua kesalahan.”
“Apa?! Umm gimana gimana?” Zara siaga. Dia tahu persis pria tinggi di hadapannya ini punya otak yang licik.
“Kesalahanmu tadi dua. Jadi hukumanmu juga dua. Pertama, buatkan aku kopi hangat, latte, jangan yang lain. Kedua, temani aku berjalan-jalan di taman samping.”
Zara langsung melotot. “Tapi ini kan sudah malam! Untuk apa jalan-jalan di taman segala! Ada-ada saja deh, ah!”
“Tadi aku sempat lihat dari jendela kamar, pemandangan taman rumahmu ini bagus sekali malam hari. Banyak lampu taman dan juga cukup luas. Jadi, apa salahnya menikmati kopi di taman malam-malam. Iya, kan?”
Zara menghela napas dalam. Pikirnya, percuma juga membantah orang ini, yang ada justru semakin menindas. “Ya udah deh iya! Aku bikin kopinya dulu.” Zara menghentakkan kaki lalu membalik badan, berjalan keluar kamar.
“Aku tunggu di taman!”
Zara malas menjawab. Dia beranjak dari sana untuk membuat kopi. Saat Arion telah keluar rumah dan akan menuju taman, Faris berjalan cepat di belakangnya.
“Arion! Sstt! Tunggu!”
Arion menghentikan langkah dan membalik badan. Keningnya mengernyit. “Hem? Kenapa?”
“Mau kemana?” tanya Faris ketika sudah berdiri di dekat Arion.
“Ke taman.”
“Sebentar lagi jam makan malam. Lebih baik lo makan di sini saja. Nanti, tolong lo bermain drama di meja makan. Seolah lo akan membocorkan rahasia itu padahal tidak. Yahh pokoknya seolah bikin gue dan Astrid penasaran. Bisa, kan?”
Arion menaikkan kedua alis. “Yahh oke. Walaupun tadinya gue berencana mau langsung pulang sehabis minum kopi.”
“Duh! Jangan pulang dulu, lakukan dulu itu, oke?! Anak itu harus diberi pelajaran pokoknya! Dia itu gadis pembangkang luar biasa!”
“Hem? Benarkah?”
“Yahh lo kan baru mengenalnya beberapa hari saja, gue sudah bersama dia sejak kecil.” Faris berdecak kesal. “Dia itu selalu buat keributan di sekolah, si biang onar!”
Terdengar suara langkah kaki. Faris dan Arion menoleh bersamaan, terlihat dari arah pintu utama rumah Zara berjalan keluar dengan membawa segelas kopi di tangannya.
“Jangan lupa, Arion! Di meja makan!” bisik Faris dengan nada penuh penekanan. Dia segera berlari ke arah lain supaya tidak berpapasan dengan Zara.
Sial bagi Faris, karena terburu-buru, kakinya justru tersandung akar sebuah pohon yang mneyembul ke permukaan tanah. Dia limbung dan jatuh berdebum. Arion yang sempat melihat langsung menepuk jidat.
“Suara apa itu?” Zara kaget. Dia berhenti untuk memindai sekitar. Jaraknya sudah tidak terlalu jauh dari Arion.
“Ohh, itu hanya ... hanya kucing yang lompat dari pagar,” jawab Arion asal saja. Satu tangannya memberi kode pada Faris supaya pergi dari sana.
Dengan tertatih karena satu kakinya terasa sakit, Faris berjalan mengendap dan menjauh.
Kening Zara mengernyit. “Hah? Kucing? Kok tumben ada kucing di sini?” Dia telah berjalan kembali menghampiri Arion.
Arion mengedikkan kedua bahu. “Entahlah, aku nggak sempat tanya pada kucingnya tadi, mau apa dia kesini.” Lalu dia mengambil gelas kopi dari tangan Zara.
“Ya sudah cepat habisin kopinya. Habis itu langsung pulang. Om Arion kan orang sibuk, besok pagi-pagi pasti sudah harus mengurus sekolah musiknya yang besar banget itu, kan. Jadi, jangan sampai pulang kemalaman dan kurang istirahat, oke?!” Zara sangat berharap harinya bersama Arion ini cepat usai. Dia ingin lepas dari pria merepotkan ini lalu berbaring santai di ranjang kamarnya yang empuk.
Arion menggeleng. “Nggak kok, besok aku nggak terlalu sibuk. Aku bisa datang lebih siang ke kantor. Jadi malam ini pulang agak terlambat nggak masalah. Aku akan makan malam dulu di sini.” Lalu dia berjalan perlahan sambil meneguk kopi yang masih hangat.
“Hah?!” Zara kaget, dia sampai melotot beberapa saat. Detik kemudian dia tersadar dan langsung mengejar, mensejajari langkah Arion. “Apa tadi Om bilang? Mau makan malam di sini? Memangnya ada yang nawarin Om untuk makan di sini?”
“Nggak sih, cuma inisiatif sendiri. Papamu pasti senang jika tahu seorang owner sekolah musik terbesar di Indonesia, makan malam di rumahnya. Itu adalah sebuah kehormatan bagi rumah ini berikut seluruh penghuninya.” Arion berdeham pelan lalu mulai berjalan perlahan. Terpaksa Zara mengikutinya lagi, meskipun sambil merutuk pria tinggi ini dalam hatinya.
Kepedean banget sih nih orang! Jangan-jangan asalnya bukan dari bumi lagi, tapi dari bulan, makanya omongannya setinggi langit. Huft!
Zara pasrah. Malam ini masih harus satu meja makan dengan Arion, yang duduk tepat di sampingnya. Faris dan Astrid yang duduk berhadapan dengan mereka berdua, sesekali tersenyum tanpa Zara sadari.
“Umm ... Pak Arion ini—“
“Panggil saja saya ‘mas’, atau langsung nama juga boleh. Saya belum setua itu untuk dipanggil pak.”
Zara langsung batuk-batuk mendengat ucapan Arion.
Faris mengangguk seraya tersenyum. “Ohh baiklah, Mas Arion, ya. Umm Mas Arion ini, apa sebelumnya sudah kenal dengan Zara? Sebab terlihat begitu akrab, tadi saja olahraga bareng, kan?” Faris menaikkan kedua alis.
Zara langsung mendelik tajam pada Arion. Sangat berharap dalam hatinya, jangan sampai Arion menyinggung soal malam itu.
Arion justri tersenyum santai. “Ehm yaa ... memang sebelumnya saya sudah pernah ketemu dengan Zara. Waktu itu di—“
“Nawasena! Ya, sebelum Om Arion datang kesini untuk menggantikan Kak Irene, waktu itu aku sudah ketemu dengan Om Arion di Nawasena. Hanya saja ... nggak sempat ngobrol karena kan memang Om Arion sangat sibuk.” Zara menoleh pada Arion. “Iya kan, Om?” Kaki kirinya menendang kaki kanan Arion di kolong meja.