Jihan tahu dia salah, pulang terlalu malam. Tapi ini bukan salahnya. Keadaan di restoran yang membuatnya harus menunggu makan malam kembali diulang. Harus antri demi sebuah meja. Walau gak sebagus yang semula mereka pesan.
Belum lagi di jalan ketika pulang, ia dan Arga terkena macet. Lengkap sudah!
"Maaf Tante, Jihan kali ini pulang larut malam. Tadi-"
"Jihan." Rianti menyela ucapan keponakan dari suaminya ini.
Memandang wajah gadis yang menurutnya cantik, mirip Sofia kakak iparnya. Kedua alis Rianti menukik tajam.
"Tante harap kamu gak lupa posisi kamu di rumah ini."
Ucapan Rianti bak alarm untuk Jihan. Gadis cantik itu menelan salivanya dengan susah payah.
Ia tahu selama ini ia hanya menumpang di rumah ini. Semua atas kebaikan sang Paman.
"Iya Tante, Jihan mengerti. Jihan tinggal di sini karena kebaikan Om dan Tante. Seperti yang sering Jihan bilang, Jihan gak akan membuat Tante dan Om kecewa."
Mungkin Tantenya ini lupa, jika Jihan selalu berusaha membuat mereka bangga karena prestasinya di sekolah. Ia tahu diri dengan tidak mengenyam bangku kuliah, karena sadar ia hanya keponakan. Beda dengan Elina yang memiliki gelar sarjana di samping namanya.
Rianti tersenyum.
"Bagus kalau kamu sadar."
Masih dengan posisi melipat tangan di depan d**a, Rianti kembali bicara.
"Tante ingin kamu tahu kami berdua menyayangimu layaknya anak kandung kami sendiri. Kami tak pernah membedakan antara kamu dan Elina. Tapi suatu hari nanti, Tante ingin kamu sekali saja mengabulkan keinginan Tante."
Jihan mengernyit bingung.
"Anggap itu sebagai balasan atas kebaikan kami selama ini padamu."
Jihan tahu, suatu hari ia harus membalas kebaikan mereka, tak perlu diingatkan berkali-kali. Telinganya sudah hapal sekali.
"Keinginan Tante? Boleh Jihan tahu sekarang, apa itu?" Jantung Jihan berdebar. Semoga ia bisa mengabulkannya.
Jihan sadar keadaannya di sini. Pamannya yang biasa ia panggil dengan sebutan Om Yudis memang menyayanginya dengan tulus. Berbeda dengan istrinya ini. Sekalipun terlihat manis, tapi Jihan melihat ada sedikit tak rela ketika ia tinggal di sini.
Bukan, ini bukan keinginannya, tapi ketika sang bunda tiada, ia otomatis menjadi tanggung jawab pamannya.
Ayahnya? Sampai diusia yang sudah lewat dua puluh tahun, Jihan tak pernah mengenal sang ayah. Tapi mendiang ibunya mengatakan ia memiliki ayah, tapi entah di mana. Namanya saja ia tak pernah tahu. Apalagi tempat tinggalnya. Yang Jihan tahu, ia hanya tinggal berdua dengan sang ibu. Dan ketika sang ibu sakit lalu meninggal, ia ikut sang paman ke kota ini. Tinggal satu rumah dengan keluarga sang Paman. Beruntung sepupunya Elina baik dan bisa dianggap kakak yang baik. Selalu membela ketika ia dimarahi sang Tante hanya karena soal sepele. Mereka mirip kakak adik, dibanding sepupu.
"Nanti, suatu hari nanti," bisik Rianti tegas.
"Tante akan beritahu apa yang Tante mau. Tapi ini hanya untuk kita berdua. Gak usah yang lain tahu, termasuk Om kamu dan Elina."
Rahasia? Sepertinya penting sekali buat Tante.
"Tante gak bisa kasih tahu aku kira-kira apa yang Tante minta? Biar aku siapkan dari sejak dini."
Barangkali barang yang diminta harganya mahal. Aku harus siapkan jauh-jauh hari bukan?
Rianti tersenyum. Ia yakin rencananya berhasil. Jihan masih bisa ia kendalikan.
"Nanti, jika saatnya tiba. Kamu akan tahu apa yang Tante minta. Sekarang sebaiknya kamu tidur."
Jihan mengangguk.
"Baik Tante, kalau begitu aku tidur dulu."
Membawa tungkai kakinya ke arah kamar, Jihan melirik pintu sampingnya yang merupakan kamar Elina.
Sepertinya mbak Elin sudah tidur. Padahal aku mau cerita kalau aku dilamar Mas Arga.
Besok saja aku cerita kalau begitu.
Jihan membuka pintu dan masuk ke dalam. Sementara Rianti tersenyum sebelum masuk ke dalam kamarnya.
Jelas ia melihat sedikit kilau di jari manis Jihan.
Rianti mengenal Arga. Sahabat sang putri sejak mereka sama-sama satu sekolah.
Rianti tahu putrinya menyukai Arga. Elina dekat dengan Arga, dan Rianti yakin ada rasa special ketika Elina kerap bercerita tentang kedekatannya dengan Arga.
Tapi semua berubah ketika Arga justru memilih Jihan. Ia sering mendapati Elina menatap dalam kesedihan ketika Jihan pergi dengan Arga.
Elina bisa menyembunyikan kesedihannya, tapi tidak dari dirinya. Tidak ada seorang ibu yang mau melihat putrinya sedih, begitupun dengannya. Jadi, terpaksa ia memilih cara ini.
Jihan merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
Ia mendengar ponselnya berbunyi.
"Dari Mas Arga." Senyum Jihan mengembang.
"Kamu sudah tidur?" Suara Arga terdengar ketika gadis cantik itu menggulir tombol hijau.
"Baru rebahan Mas." Jihan menatap cincin di jari manisnya.
"Cincinnya bagus Mas."
Bahkan gadis itu kini mengecup cincin yang diberikan Arga.
"Kamu suka?"
"Hmmm."
Jihan sudah membayangkan ia akan menjadi istri Arga.
"Hari senin, aku antar kerja ya."
"Mas sempat?"
Kekehan terdengar dari seberang sana.
"Sempat dong. Sekarang tidur ya, supaya besok gak kesiangan. Selamat malam Jihan. Mimpi yang indah ya."
"Selamat malam Mas Arga."
Sambungan terputus.
Ah, sepertinya malam ini ia akan mimpi indah.
***
Ivan membanting pintu mobilnya dengan kencang. Sialan! b******k!
Ia menghembuskan napas. Menghapus sudut bibirnya sesaat, lalu masuk ke dalam sebuah rumah yang cukup besar, dan sayangnya terkunci.
Kembali Ivan menatap langit.
Buat apa coba aku ke rumah Suci. Mereka pasti sudah pada tidur.
Seharusnya Ivan tahu, jam segini keluarga Suci sudah pada tidur, tapi ia tak mempedulikan. Justru meraih ponsel.
"Hallo Suci, aku di depan gerbang rumahmu."
Tak lama, kira-kira lima menit pintu utama terbuka. Suci dengan piyama tidur keluar. Wajahnya seperti biasa, tampak tak suka dengan kedatangan Ivan. Mungkin lelaki ini mengganggu malam romantisnya dengan sang suami, Gavin Sanjaya.
"Kamu gak punya jam? Ini bahkan sudah malam-astaga!" Suci menjerit ketika sadar ada yang berbeda dari wajah tampan adik iparnya ini.
"Kamu kenapa?" Wanita itu lekas membuka gerbang rumahnya. Rasa khawatir menyergapnya.
"Kamu dirampok? Ada yang hilang gak?"
Ketika tidak mendapatkan jawaban, Suci memutari tubuh Ivan.
"Aku berkelahi, gak dirampok." Ivan menjawab dengan raut malas.
Mendengar itu Suci bertolak pinggang.
Rambut yang diikat seadanya, tubuh yang agak subur karena melahirkan. Bagi Ivan, Suci tidak berubah tetap cantik. Hanya satu yang berubah. Lebih cerewet. Menurut suaminya, lelaki yang sangat beruntung karena mendapatkan hati wanita ini, Suci berubah karena memiliki David, putra mereka.
Yah, bocah kecil yang tengah lucu-lucunya karena aktif dan gesit membuat sang ibu sering berteriak histeris ketika David merusak barang-barang di rumah. Bukan karena mahalnya barang yang hancur akibat tendangan bola yang David lakukan. Tapi Suci khawatir pecahannya membuat David terluka.
Lihatkan? Bagaimana Ivan tidak semakin iri pada pasangan ini. Satu lagi pasangan Arkhan dan Nadya, juga Prayoga dan calon istrinya Ayu. See? Semua sudah memiliki pasangan masing-masing. Dan dirinya? Mengenaskan sekali!
Sudah tunangan beberapa waktu yang lalu, tapi kini ditinggalkan. Tragisnya diselingkuhi dan pasti semua berita menyebar bak jaringan internet di negeri ini.
"Kamu apa? Berkelahi? Astaga, kamu gak berubah ya. Masih saja berbuat semaunya. Sesuka hati kamu. Masuk!"
Ivan memutar bola matanya dengan malas. Walau marah, tapi Suci tetap baik hati menyuruhnya masuk ke dalam rumah.
Ia mengikuti langkah Suci, bak seorang anak yang mendapat titah dari sang ibu.
Rumah besar dengan dua lantai itu tampak sepi ketika Ivan memasuki ruang tamu.
"Mauren sudah tidur?" tanya Ivan sambil menyandarkan tubuh ke sofa. Ia memejamkan mata sesaat. Melepaskan penat di kepala.
"Ini sudah jam sebelas Ivan." Suci bergerak cepat ke arah kotak obat dan membawanya ke hadapan Ivan.
Ia meletakkan ke atas meja dan membukanya.
Meraih kapas dan meneteskan obat luka.
"Tahan ya."
Suci menekan sudut bibir Ivan.
"Argh. Pelan-pelan."
"Aku justru ingin menekannya keras-keras."
"Please," bisik Ivan.
Hubungan Suci dan Ivan kini membaik, demi Mauren. Suci tidak melarang Ivan menemui keponakannya, apalagi tahu lelaki ini sudah bertunangan. Tepatnya setelah memacari lima wanita, Ivan akhirnya menjatuhkan pilihan pada Gladys, gadis cantik dengan tubuh tinggi semampai bak peragawati.
"Sekarang kamu cerita sama aku, kamu berkelahi dengan siapa?"
"Gladys selingkuh."
"Apa?" Suci nyaris teriak.
Pintu kamar terbuka.
"Siapa tamunya sayang?" Gavin dengan muka bantal keluar dengan membawa si kecil David.
Begitu melihat siapa tamunya, David meminta turun dari sang Ayah dan berlari ke arah Ivan.
"Uncle!"
Ivan langsung menangkap putra Suci itu. Dan menciumnya gemas. Tak lama, karena ia meringis kesakitan. Lupa jika sudut bibirnya berdarah.
"Wow keponakan Uncle kok belum tidur."
"Hampir tidur, kalau kamu gak bel tadi." Suci melirik suaminya dengan pandangan meminta maaf..
Sepertinya agenda mereka malam ini terganggu. Malam minggu, waktunya mereka menghabiskan malam, tapi David rewel. Belum juga tidur, datang tamu tak diundang. Jadilah mereka berdua menghela napas.
"Sorry, aku ganggu waktu kalian ya?" Ivan meringis.
"Kamu menginap saja." Gavin duduk di samping istrinya.
"Kenapa dia?" tanyanya pada Suci.
Suci tersadar.
"Van, kamu bilang Gladys selingkuh?"
Ivan yang sedang memangku David menoleh.
"Ya. Aku menemukannya tengah makan malam dengan lelaki lain, dan aku memaksanya pulang tapi dia lebih memilih lelaki itu. Jadilah kami berkelahi dan dia pergi setelah memutuskan pertunangan kami."
Suci menganga.
"Van, jujur sama aku. Kamu itu serius gak sih cari istri?"
Ivan berdecak. Mengeluarkan sebuah cincin yang tadi bisa-bisanya jatuh di sepasang kaki seorang wanita yang menatapnya kasihan.
Ya, kasihan. Sial! Ivan benci dikasihani.
"Ini buktinya. Pesta pertunangan besar-besaran. Cincin berlian yang harganya lumayan."
Mata Suci menyipit.
"Gak mungkin seorang wanita berpaling dari kamu, kalau kamu gak bermasalah."
Suci melipat tangan di depan d**a.
"Jangan bilang kamu masih membandingkan Gladys sama aku."
Ivan mengerjap.
"Juan Ivander Collins, kamu masih cinta sama aku?"
Kini tatapan tajam Ivan terima dari Suci dan suaminya, Gavin.
Brengsek! Ivan mengumpat dalam hati.