Bab 8

1923 Words
Terdapat tiang besar menyangga balkon, butuh tiga orang untuk mengukur lingkaran tiang tersebut. Jendela kaca berbaris sepanjang lima meter ke arah samping kanan, sementara samping kiri terdapat kaca selebar dua meter yang tingginya menembus lantai dua. Terdapat kepulan asap di atas, Risa bertanya-tanya dari mana sumbernya. "Wow." Risa berdecak kagum. Memang tidak terlihat seperti istana, tetapi bangunan yang terletak di atas Bukit Awan tersebut adalah bangunan paling mencolok yang memiliki arsitektur sederhana, tetapi megah. Dia heran mengapa perusahaannya tidak meliput soal 'Mansion di Bukit Awan' ini. "Siapa sangka di tengah hutan begini ada bangunan sebagus ini? Namun, kaca-kaca itu tidak ramah lingkungan. Pantas saja bumi semakin panas, rupanya majikanku termasuk pelaku pemanasan global," ujar Risa enteng. Dia membantu menurunkan barang-barang dari mobil boks dengan perasaan biasa saja, tidak seperti saat dia masih berada di Bandar Lampung. Entah mengapa, Risa merasa dirinya sedang berada di tempat yang akrab dengannya. Udara jernih dan dedaunan hijau membuat matanya segar, kicau burung di pepohonan juga terdengar menenangkan pikiran. Namun, setelah diteliti, rumah itu sangat sepi, seperti tidak berpenghuni meski keadaannya terlalu bersih dan rapi. Risa baru menyadari sesuatu. Matanya bergerak mencari keberadaan Rendi yang entah di mana, dan tiba-tiba saja seseorang meneriakkan namanya dari atas. Risa mendongak, mendapati Rendi yang tertawa lebar di samping seseorang berambut panjang yang posisinya berlawanan dengan Rendi. Meski orang itu memiliki rambut panjang yang agak bergelombang, Risa yakin jika dia adalah pria, dilihat dari lebar punggung dan garis rahang yang masih bisa Risa perhatikan. "Turun," kata Risa dengan intonasi rendah. Rendi tidak akan bisa mendengar, tetapi dengan gerakkan tangan Risa, lelaki itu akhirnya turun tanpa membuat kakaknya marah. "Berani sekali kamu masuk-masuk rumah orang sembarangan," Risa mencibir. "Siapa yang sembarangan? Kan kamu lihat sendiri tadi aku sedang bersama Mas Danu," protesnya. "Mas—Danu ...," Risa memejamkan mata, kemudian berkacak pinggang. "Kamu udah dapat temen baru? Siapa? Tukang kebun di sini?" "Sembarangan kalau ngomong." Rendi menampar pelan mulut Risa beberapa kali. "Mas Danu itu pemilik rumah ini!" Risa melotot. "Terus kenapa kamu panggil dia Mas? Harusnya panggil Bapak, Tuan atau apa yang lebih sopan!" "Lho kenapa kamu yang repot! Dia aja nggak masalah! Lagipula, dia itu masih sangat muda. Memang sih, agak nyebelin, tapi lumayan lah, nggak kalah sama Bayu," pungkas Rendi dengan senyum licik. Sorot matanya memiliki keinginan lain. Risa tahu hal itu. "Jangan macam-macam! Kita di sini dijadikan pelayan! Pelayan!" teriak Risa sembari memukuli lengan Rendi dengan perasaan terhina, sebab mereka hanyalah seorang pelayan. "Terserah, ah! Kamu mau anggap kita sebagai pelayan atau apa, aku nggak peduli. Mas Danu nggak menganggap kita serendah itu, tau!" Rendi pergi setelah mendengkus keras, membawa barang-barangnya sendiri yang hanya berupa dua ransel berisi pakaian, dan satu koper berisi buku-buku. Risa mendesah tidak karuan. Rendi benar-benar menjadi adik yang sulit dan tidak bisa diatur. Laki-laki itu bahkan mengambil cuti kuliah tanpa persetujuan sang kakak yang mengira Rendi akan tinggal di asrama, tetapi pengakuan Rendi sontak membuat kepala Risa sakit.. Risa mengikuti Rendi masuk ke rumah besar tersebut. Saat berhasil melewati pintu utama, Risa disambut dengan perabotan berupa sofa berbingkai kayu yang diukir, di sampingnya terdapat sebuah meja terisi dengan telepon rumah yang cukup kuno. Lantai terbuat dari marmer, lampu gantung bertingkat-tingkat, juga hiasan dinding yang hanya beberapa saja seperti, lukisan dan patung kayu. "Seleranya bagus, tetapi berantakan. Tidak serasi satu sama lain," lontar Risa melihat barang-barang di ruang tamu. Ketika pandangannya bergerak ke arah tangga, Risa melihat sebuah perapian di sebelahnya. Dia kemudian mengangguk. "Rupanya dari situ asal asap tadi." Mereka cukup lama berdiri di situ, tetapi tidak ada seorangpun yang datang menyambut, termasuk si tuan rumah. Rendi bilang pemiliknya yang bernama Danu adalah orang yang baik, tetapi kenapa begini? Dia sama sekali tidak sopan santun. "Mari saya antar ke kamar Mbak Risa," kata Pak Hasan. Pria itu berjalan ke arah lorong di dekat tangga, melewati beberapa pintu hingga pada akhirnya sampai setelah berbelok dua kali. Gila, pikir Risa. "Rumah ini kelewat besar. Saya nggak yakin bisa bersih-bersih dalam satu hari." "Tenang saja, Mbak Risa. Mbak tidak perlu mengerjakan semuanya ...," Pak Hasan berbicara dengan kedua tangan bergerak mengikuti ucapannya. "Semampunya Mbak Risa saja." Setelah itu Pak Hasan pergi, membiarkan Risa membereskan barang-barang miliknya di kamar baru yang lebarnya tiga kali lipat dari kamar sebelumnya. Bahkan kamar di perumahan yang sempat dikunjungi olehnya dan juga Monica pun kalah. Terdapat sebuah ranjang ukuran nomor satu, sudah lengkap dengan dua bantal dan dua guling. Seprei dan selimut kotak-kotak terlihat serasi. Risa mendekat, lalu duduk di atasnya dan mengetes seberapa empuk ranjang yang disediakan sang majikan. "Empuk juga." Di samping kanan ranjang terdapat sebuah meja dan juga cermin, Risa pikir itu digunakan untuk meletakkan alat rias dan sebaginya. Sementara di sisi kiri ranjang, tersedia sebuah lemari dua pintu. Di sisi lainnya terdapat sebuah jendela lebar, terhubung langsung dengan halaman samping yang ditumbuhi rumput liar dan batu-batu berlumut. "Coba aja kalau dijadiin taman. Pasti bagus. Banyak bunga, kolam ikan dan gubuk kecil." Terlintas di pikirannya untuk menciptakan apa yang dia bayangkan, tetapi Risa masih menjadi orang baru untuk bisa melakukan apa yang dia inginkan. ••• Pukul delapan malam, Risa masih belum sadar dari tidurnya. Dia terlelap saat tengah menyusun buku-buku di meja, lalu berbaring saat tubuhnya merasa lelah hingga tertidur hampir tiga jam lamanya. Ketika bangun, Risa berada dalam kebingungan, apakah hari sudah pagi dan dia tidur semalaman tanpa tahu tempat? Akan tetapi, waktu di layar ponselnya masih menunjukkan pukul delapan lebih dua menit, di hari yang sama ketika dirinya tiba di Bukit Awan. "Aku benar-benar lelah sampai ketiduran begini. Mudah-mudahan orang itu ngertiin kondisiku." Risa turun dari ranjang dengan harapan, lalu pergi ke dapur melewati lorong yang terdapat lampu di bagian kanan dan kiri, masing-masing berjarak dua meter. Jumlahnya ada tujuh pasang lampu. "Ya ampun, boros banget. Padahal tiga atau empat lampu aja cukup," kepala Risa menggeleng ditengah-tengah ucapannya yang menyayangkan semua itu. "Yo! Kakakku sudah bangun rupanya!" Rendi berteriak saat mulutnya penuh dengan makanan. Lelaki itu makan seperti di rumah sendiri. "Kenapa nggak—" bunyi pintu tertutup membuat Risa menghentikan ucapannya, lalu menatap ke atas, sumber suara tersebut. "Sini makan, mumpung masih hangat." Ada banyak lauk di atas meja, ikan emas, tahu dan tempe goreng, serta sayur lodeh berupa jantung pisang. Makanan yang merakyat. Jantung pisang itu pasti dipetik dari pohon pisang yang berada di pinggir jalan yang sempat Risa lihat sebelumnya, sementara ikan mas tersebut pasti hasil dari memancing di sungai. "Kayaknya dia punya tukang masak sendiri, ya?" tanya Risa sembari mengambil nasi, lalu menyendok sayur jantung dan menambahkan tempe goreng di atasnya. "Emang kamu liat orang lain selain kita?" pertanyaan Rendi mendapatkan gelengan kepala. "Mas Danu sendiri yang masak." "Seriusan?" "Iyalah. Besok-besok kamu nggak boleh ketiduran gini lho. Bisa-bisa kita diusir!" "Nggak salah, tuh? Harusnya aku yang bilang gitu!" Risa meringis, merasa gemas dengan adik laki-lakinya. Saat suapan pertama masuk ke dalam mulut, Risa terperangah. Sayur berupa jantung pisang yang biasanya tidak cocok di lidahnya, kini terasa sangat menggiurkan. Rasa pedas manis yang sempurna membuat rasa khas jantung pisang sedikit memudar, tidak begitu bergetah. Perbandingan antara santan dan minyak sangat pas, hingga menciptakan rasa gurih yang membuat mulutnya tidak berhenti mengecap. "Enak banget, Ren." Risa menatap Rendi dengan mata berkaca-kaca. "Lebay banget. Besok kalau kamu yang masak, rasanya harus enak kayak gitu. Kalau enggak, masa iya majikan masak buat pelayannya?" "Diem, deh. Lama-lama kamu bikin aku kesel." Malam ini terlihat lebih berbintang dari biasanya, mungkin karena sekarang Risa berada di tempat yang tidak banyak listrik, sehingga kelap-kelip bintang bisa menang dari sinar lampu. Jendelanya dibuka lebar-lebar, angin malam masuk dan menerbangkan tirai jendela. Risa berdiri di tengah-tengahnya sembari menatap malam gelap pertamanya di Bukit itu. Mungkin karena ini malam pertama yang dia habiskan di tempat lain, perasaannya terasa amat kosong, membayangkan betapa lamanya waktu berjalan menuju esok pagi. Risa merindukan kamar kontrakan, dia merindukan kebisingan tetangga sebelah yang mempunyai dua anak, dia juga sudah merindukan Monica. "Aku lupa! Harusnya telpon Monica dulu!" ••• Ada perasaan lega ketika Risa datang ke rumahnya meski dengan cara kotor, memaksanya datang dengan segala paksaan. Namun, Danu merasa dia tidak bisa membuang waktu lebih lama lagi. Hanya Risa lah satu-satunya tujuannya kini. Di matanya, apa yang terjadi selama ini bagaikan kejadian-kejadian sama yang terus terulang tanpa ada jeda. Kemakmuran dan kemiskinan, kelahiran dan kematian, hingga perubahan alam yang terjadi, bukanlah sesuatu yang baru bagi Danu. Pria itu bagaikan bukti nyata akan semua yang terjadi. Sudah berapa kali dia menyaksikan ketidak abadian yang membuatnya merasa jenuh? Saat itu adalah malam ketiga bulan penyucian para dewa. Ritual yang dilakukan selama tujuh malam berturut-turut itu mengharuskan para laki-laki yang belum menikah mengurung diri di dalam rumah tunggal, sebuah bangunan yang khusus ditinggali satu pria selama bulan penyucian berlangsung. Berpuasa di siang hari dan mandi di bawah sinar rembulan tepat pukul dua belas malam, ketika orang-orang berada dalam kedamaian yang singkat. Pria yang tinggal di gubuk dekat hilir sungai itu masih terlelap dalam tidur, meski pemberitahuan pergantian hari sudah didengungkan oleh penjaga pos. Gemericik air sungai terdengar nyaring di antara malam yang sunyi. Seolah melakukan penyucian seperti para pria-pria lajang, serangga malam yang biasa bersuara kini bersembunyi tanpa seorangpun tahu. Danu Atmawijaya, salah satu pria lajang di Desa Bukit Awan tak juga bergeming ketika jari-jari lentik itu menari di atas perutnya. Berjalan mengitari perut berotot seperti kaki yang meninggalkan jejak, wanita di samping Danu semakin erat menempel di tubuhnya. Wanita itu tidak melakukan apa-apa selain menyentuh perut kotak-kotak milik Danu, kemudian mendengarkan detak jantung pria itu dengan menempelkan telinganya di d**a Danu. "Seperti apa hidupmu selama ini?" bisiknya pelan. Suaranya hampir tidak terdengar, seperti desis ular saat hendak memangsa. Wanita bertubuh kencang itu menjauhkan diri, perlahan melepas gelungan rambut hingga terurai sepanjang punggungnya. Sebelum kembali berbaring menjadikan lengan Danu sebagai bantal, terlebih dulu dia membuka baju luar dan melemparkannya ke pojok ruangan. Hanya dengan memakai kain yang melilit dari batas d**a hingga lutut, wanita cantik itu berbaring dan memeluk Danu yang tak juga bergerak. Dia mendongakkan kepala, memandang wajah damai milik pria berhidung mancung tersebut dengan tatapan sia-sia. "Harusnya kau hidup dengan sedikit lebih licik." Tangannya bergerak membelai wajah Danu, lalu bermain-main dengan bibir pria itu. ••• Pagi-pagi sekitar pukul lima, beberapa orang penting desa datang ke gubuk dekat sungai. Mereka berlima mendengar aduan jika salah satu pria lajang melakukan tindakan kotor di saat dirinya berada dalam masa penyucian. Laporan tersebut tidak memiliki sumber, hanya secarik kertas bertuliskan nama dan letak gubuk beserta pesan penting yang membuat mereka buru-buru pergi untuk memeriksa. "Saya yakin itu cuma kelakuan seseorang yang mau mencoreng nama baik Atmawijaya!" seru seorang pria tua dengan jenggot beruban. "Betul. Saya juga berpikir begitu. Seorang Bangsawan tidak mungkin melakukan perbuatan tercela seperti itu. Apalagi di saat seperti ini!" Memang, Bangsawan Atmawijaya yang mereka kenal baik adalah bangsawan yang menjaga martabat keluarga. Mereka juga berkepribadian baik di luar maupun dalam. Dengan adanya laporan seperti itu, tidak serta-merta membuat pria-pria tua itu percaya. "Sudah, kalian semua harus diam. Jangan sampai laporan tidak jelas ini menyebar ke seluruh desa sebelum terbukti kebenarannya!" tegas pria berusia hampir enam puluh tahun itu. Keningnya berkerut, tanda ketika dia sedang cemas. Pria yang kumisnya sudah hampir memutih semua itu takut jika laporan tak jelas asal-usulnya justru memberi dampak negatif terhadap Bangsawan Atmawijaya. Alangkah terkejutnya, ketika mereka hampir sampai ke gubuk Danu menginap, tempat itu sudah lebih dulu didatangi orang-orang. Obor yang mereka bawa menjadikan tempat itu sangat terang, hingga wajah Danu yang berlutut di atas rerumputan berembun di sana terlihat begitu jelas. "Bagaimana mungkin ini terjadi?" Kelima pria itu berlari hingga nyala api obornya tidak terkendali dikarenakan oleh dorongan yang melawan angin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD