Selama jeda waktu hingga dua jam, Risa baru menyadari jika Monica telah menghubunginya sebanyak lima kali, yang terakhir adalah tujuh menit yang lalu. Buru-buru dia menghubungi Monica sebelum perempuan pemarah itu tidak mau berbicara dengannya hingga beberapa hari kemudian.
Jendela dibuka, lalu mengikat tirai supaya tidak beterbangan dan mengganggu dirinya. Sembari menunggu Monica menerima panggilan, Risa merapikan rambut dan juga pakaiannya. Dia harus tampil rapi di hadapan Monica atau kalau tidak, bisa-bisa Monica datang dan banyak mengoceh.
"Monica sayang ... aku kangen banget!"
"Dasar pembual," Monica mencibir dengan bibir tipisnya, lalu membuang muka.
"Sumpah ...."
"Terus kenapa kamu nggak ngabarin aku?" Monica bertanya masih dengan memandang ke arah lain.
"Kemarin aku ketiduran, dan tadi aku lagi sibuk, jadi ponselku ditinggal di kamar," suaranya dibuat manja, berharap Monica bisa memaklumi alasan tersebut. Dan benar saja, temannya itu menyudahi acara merajuk yang buang-buang waktu.
"Ngomong-ngomong, gimana Tuanmu? Baik nggak? Ganteng nggak?" Monica mendadak penasaran, melupakan sikapnya yang sok-sokan cemberut.
Risa mendesah. "Jangankan tahu dia ganteng atau enggak. Liat batang hidungnya aja belum pernah."
"Seriusan kamu?" suara Monica terdengar ragu.
"Iya. Dia lebih mencurigakan daripada Rendi," bisik Risa pelan.
Mereka berdua saling melempar pertanyaan dan memberi jawaban, tentang kondisi tempat tinggal Risa yang baru, hingga Monica menceritakan soal perusahaan yang ketar-ketir ditinggal sang editor. Meski mereka mempunyai editor baru yang sebelumnya menjadi asisten Risa, kinerjanya masih belum bisa diandalkan.
Mendengar hal itu membuat Risa ingin kembali ke kota, datang bekerja dari pukul sembilan pagi hingga pukul lima sore, lalu mampir ke warung Mbak Manis membeli sepaket lauk berupa tahu, tempe, lele dan ayam, atau mengunjungi kedai soto Bu Harti yang buka sampai malam.
Memikirkan soto milik Bu Harti membuat Risa mengingat sesuatu yang ingin dia pastikan dengan bantuan Monica. "Oh iya, kamu udah tanya Bu Harti soal pria itu?"
"Oh iya, hampir lupa. Bu Harti bersikeras bilang nggak pernah punya pegawai selain dirinya sendiri. Kamu yakin nggak ditipu, Ris?"
Risa bertanya-tanya setelah mendengar informasi dari Monica. Dia sangat yakin jika malam itu dirinya dilayani oleh seorang pria yang mengaku sebagai pegawai baru. Bahkan pria itu memakai celemek yang sama dengan Bu Harti, jadi mustahil jika dia hanya pembeli yang menyamar.
"Mungkin aku emang ditipu ya, Ca?"
"Risa ...!"
Rendi berteriak dari luar. Lelaki itu tengah berada di lahan kosong tepat di sebelah kamar Risa, yang ditumbuhi banyak jenis rerumputan dan tumpukan batu-batu berlumut.
Risa menekan ikon kamera belakang. "Liat tuh, anak itu bahagia banget."
Monica menggelengkan kepala sembari berdecak ketika melihat kelakuan Rendi yang tepat perkiraan, hidup dengan baik meski di tempat baru.
"Sabar banget kamu, Ris, punya adik macam dia," Monica menyindir dengan nada frustrasi, "udah dulu ya, nggak tahan liat Rendi."
Monica menutup telepon, sementara Risa bergegas keluar setelah meletakkan ponselnya di atas meja, menghampiri Rendi yang entah hendak melakukan apa. Yang pasti, lelaki itu tampak lebih menikmati hidup.
Ada sebuah cangkul di dekat Rendi, dan sebuah sekop berada di tangannya. Lelaki itu melempar tatapannya ke arah cangkul, bermaksud menyuruh Risa memegang kendali atas benda tersebut.
"Apalagi kali ini?" tanya Risa dengan perasaan tidak enak saat Rendi terus menerus menyeringai.
"Mas Danu bilang kita boleh menanam sesuatu di sini, atau membuat kolam ikan mas dan lainnya." Rendi mulai memindahkan satu persatu batu seukuran kepala orang dewasa itu.
"Terus, aku kebagian nyangkul, gitu? Nggak kebalik?"
"Kalau nggak mau nyangkul, pindahin batu-batu ini ke sebelah sana," sahut Rendi dengan suara terbata-bata, mengangkat sebongkah batu besar yang beratnya lebih dari sepuluh kilogram.
"Kamu yakin pemilik rumah ini nggak keberatan?" Risa masih agak ragu, sebab pria bernama Danu yang hingga saat ini belum pernah Risa lihat tidak menunjukkan gerak-gerik layaknya orang baik, mengijinkan mereka mengubah bentuk tanah untuk dijadikan palawija.
"Kalau nggak mau bantu, pergi aja sana!" Rendi mengibaskan tangannya dengan napas tersengal-sengal. Keringat bercucuran sementara dia baru saja memulai pekerjaan yang satu itu.
Mau tak mau Risa turun tangan, mengangkat satu demi satu bebatuan yang bertumpuk di satu tempat, memindahkannya untuk nanti dijadikan pagar kolam ikan.
"Tapi, Ren ... apa selama ini dia hidup sendirian di sini?" Risa tiba-tiba menjadi penasaran lantaran sejak pagi tadi dia tidak menemukan orang lain selain dirinya dan Rendi. Bahkan sosok seorang Danu pun belum pernah Risa temui.
"Enggaklah. Ada orang-orang yang datang beberapa hari sekali buat ngurus rumah ini, termasuk perkebunan di bawah sana." Rendi menunjuk kaki Bukit Awan, tepatnya di bagian lereng yang ditanami cabe rawit.
"Kamu tahu darimana?"
Rendi sedikit terkesiap, matanya bergetar mencari jawaban. "Kan kemarin aku ikut mobil sayuran, bapak-bapak yang menyupir cerita banyak soal tempat ini."
Perempuan itu mengangguk, mengambil kesimpulan bahwa mobil sayuran yang dimaksud Rendi sudah pasti ditujukan ke tempat ini. Itu artinya, di dalam rumah besar tersebut terdapat ruang pendingin yang amat luas, hingga mempunyai stok sayuran yang diantar menggunakan mobil satu minggu sekali.
Risa berdiri dengan posisi kaki sedikit terbuka, terik matahari bertabrakan dengan semilir angin yang menerpa tubuhnya, hingga membuat rambut lurusnya berantakan.
"Di lantai dua ... mungkinkah di sana tempatnya?"
•••
Meninggalkan Rendi sendirian mengerjakan tugas di luar rumah, Risa memberanikan diri naik ke lantai atas meski dirinya baru kemarin dia datang. Pikirnya akan membantu segala sesuatunya di masa depan seperti, mengetahui letak-letak barang atau lainnya.
Akan tetapi saat Risa berada di lantai atas, hanya ada lorong selebar dua meter dan terdapat satu pintu di ujungnya.
"Tidak mungkin ...." Risa berbisik dan menutup mulut. "..., ini pintu kamarnya?"
Risa buru-buru kembali turun sebelum seseorang di dalamnya keluar dan memergoki dirinya dan salah paham. Bisa saja pria itu mengira jika Risa sedang mengintip, atau mungkin dia berpikir Risa adalah perempuan yang tidak sopan.
"Wah ... berarti balkon di atas cuma bisa diakses oleh orang itu aja?" ujarnya diikuti gelengan kepala.
Selama menuruni satu demi satu anak tangga, Risa menolehkan kepala, berharap si pemilik kamar tetap berada di dalamnya bahkan setelah Risa kembali ke tempat Rendi berada. Namun, karena kecerobohannya itu membuat kakinya salah melangkah.
"Aduh!" teriak Risa. Satu anak tangga rupanya dia lompati , dan membuatnya hampir terjerembab jika seseorang tidak menangkapnya dengan gesit.
Dengan debaran jantung tak beraturan, Risa menghela napas lega dan berkata, "untung ... masih selamat aku!"
Tangannya bergerak mengelus d**a, merasa bersyukur dirinya tak jadi celaka, bahkan sampai tidak memerhatikan siapa yang menyelamatkannya hingga pria itu, Danu, membuat Risa berdiri dengan benar dan naik ke atas tanpa menimbulkan suara.
Baru beberapa saat kemudian Risa penasaran siapa yang menangkapnya. Dari aroma tubuh yang menguar, jelas bukan parfum Rendi yang seharga puluhan ribu. Lantas jika bukan Rendi, pastilah majikannya, Danu Atmawijaya.
Risa menganga, menarik napas dalam-dalam karena tidak percaya.
"Masa iya ...."
•••
Baru beberapa hari Risa pergi, Monica sudah menderita rasa rindu yang teramat dalam. Dia bahkan menunggu pesan atau telepon dari wanita itu setiap waktu, tetapi berakhir mendapat kekecewaan lantaran apa yang ditunggu-tunggu tak juga datang.
Kantor rasanya sangat sepi dan muram, banyak pekerjaan yang selesai beberapa menit sebelum tenggat waktu. Mereka orang-orang yang kompeten, tetapi kehilangan Risa sang editor cukup membuat semuanya kacau.
Apalagi Pak Agus, belakangan ini pria itu banyak menahan emosi, penampilannya kacau karena pusing. Dia bahkan meminta Monica untuk merayu Risa supaya kembali ke kantor, diiming-imingi gaji yang lebih besar.
"Sabar ya, Ran. Pak Agus memang gitu orangnya. Jangan diambil hati. Nanti ada giliran beliau memuji-muji kamu," ucap Monica sembari menepuk punggung Kiran, editor baru pengganti Risa.
Dia sudah menjadi asisten Risa selama dua tahun, tetapi pengunduran diri atasannya yang tiba-tiba membuat Kiran gugup dan banyak mengacaukan pekerjaan yang sebetulnya sudah bisa dia kendalikan. Ditambah lagi temperamen Pak Agus yang naik-turun.
"Iya, Mbak. Aku udah hapal sama karakter Pak Agus, tapi tetap aja ... aku jadi nggak pede." Kiran mendesah berat.
"Udah biarin. Kamu bisa menunjukkan kemampuanmu di edisi bulan depan," sahut Bayu menyemangati.
"Iya, Mas Bayu."
Monica dan Rendi sebenarnya agak jengkel, tetapi sikap Pak Agus tidak bisa disalahkan lantaran semua ini demi kesuksesan majalah bulanan yang mereka produksi. Jika Pak Agus tidak tegas, entah apa yang akan terjadi. Namun, di sisi lain mereka berdua merasa kasihan kepada Kiran. Perempuan itu juga mengingatkan mereka terhadap Risa saat ditugaskan menjadi editor utama sementara saat atasan Risa mengambil cuti.
"Ngomong-ngomong, gimana kabar Risa, Ca?" tanya Bayu ragu. Sebenarnya dia sudah sangat ingin tahu bagaimana keadaan Risa di sana, tetapi dia tidak berani bertanya, apalagi kepada Monica yang menyimpan rasa kepadanya.
"Baik, kok. Kemarin dia menelponku, bilang semuanya baik-baik aja."
"Dia nggak mau balik ke sini?"
Monica menggeleng. "Dia bilang nggak mau."
Monica terpaksa berbohong. Dia tidak ingin Risa kembali meski sesungguhnya dia berharap Risa duduk di sebelahnya dan bekerja seperti beberapa waktu lalu. Namun, jika perempuan itu kembali, maka rasa penasarannya terhadap majikan temannya tidak akan terjawab.
Monica ingin tahu, apakah majikan Risa adalah seseorang yang dia kenal?