Pegawai Di Rumah Kontrakan

1545 Words
Di halaman sebuah rumah, perempuan dengan rambut diikat rendah itu menunduk, tangan kirinya memegang koper berisi baju-baju yang tidak ditata rapi. Meski dia sudah yakin akan pergi, dalam hatinya masih bertanya-tanya soal sesuatu, seolah apa yang dia pikirkan bukanlah kebenarannya. Perlahan dia melepaskan koper, membiarkannya berdiri di tengah-tengah halaman, lalu berbalik badan dan kembali ke rumah putih tersebut untuk memastikan sesuatu. "Katakan, selama ini kau anggap siapa aku?" tanyanya dengan suara serak, menahan gejolak yang membuat tenggorokannya terasa sakit. Pria berambut panjang di hadapannya bergeming, merasa jika pertanyaan itu tidak harus dijawab lantaran dia sendiri tahu jika perempuan di depannya sudah memiliki jawaban. "Katakan!" bentaknya. Dia memukul dada pria itu. "Dasar jahat." Air matanya lolos, perempuan itu mengusapnya. "Tolong jangan bermain-main lagi denganku. Aku cuma punya satu otak, jadi tolong berhenti memberiku kenangan yang pahit." Perempuan itu kembali keluar, membawa rasa sakit yang teramat dalam dan menyiksa. Tangannya menyambar koper, menariknya dengan emosi yang tidak stabil. Matanya merah dan masih menangis, terkadang dia menggigit bibir untuk membuatnya diam. Sudah hampir dua tahun dia mengenal pria itu, dan hampir satu tahun lamanya dia dibuat berbunga-bunga atas semua perilaku dan ucapannya. Perempuan itu, Risa Ayudia menaruh rasa kepada pemilik rumah besar yang sudah dia tinggali selama tiga tahun. Bukan hanya perasaan sepihak, lelaki bernama Danu Atmawijaya itu pun memberi tanda-tanda yang positif, jika dia membalas perasaan Risa. Namun, tiba-tiba saja terdapat kenyataan mengejutkan di antara indahnya kisah cinta mereka berdua. Tiba-tiba saja roda kopernya copot. Risa mendesah berat di sela-sela tangisannya, kemudian mendorong koper tersebut hingga jatuh dengan perasaan jengkel. Di saat seperti ini, koper miliknya bahkan tidak peduli padanya. "Bagaimana ini bisa terjadi padaku?" Padahal dulu hidupnya baik-baik saja walau hanya berdua dengan Rendi, sang adik, di sebuah rumah kontrakan dengan biaya enam ratus ribu rupiah perbulan. Dia juga memiliki pekerjaan tetap sebagai wartawan, bukan seorang pembantu yang jatuh cinta kepada majikannya. "Semua ini karena wasiat sialan itu!" Tiga tahun yang lalu, Tujuh tahun setelah orang tuanya meninggal, Risa Ayudia mati-matian menggantungkan hidupnya pada pekerjaan yang gajinya tidak lebih dari empat juta rupiah perbulan untuk memenuhi kehidupannya yang biasa. Membayar sewa rumah bulanan, biaya makan berdua dengan sang adik, Rendi Fahrizal, serta kebutuhan lainnya yang suatu waktu muncul tanpa bisa ditunda. Menjadi wartawan di sebuah majalah bukanlah sesuatu yang bisa Risa banggakan, kecuali gajinya naik atau mendapat bonus yang bisa dia simpan untuk masa depan. Namun, wanita berambut hitam sepunggung itu tidak berani mengeluh, kecuali saat dirinya benar-benar butuh uang. Jemarinya bergerak mengumpulkan rambutnya yang lurus, menyatukan mereka menjadi satu ikatan di belakang kepala menyerupai ekor kuda, gaya rambut andalannya. Risa seorang wartawan, jam kerjanya sering dia habiskan di luar kantor bersama fotografer perusahaan, maka dari itu dia memilih berpenampilan yang simpel dan fleksibel. "Ca, kamu bawa lipstik nggak?" tanya Risa. Dia memandang wajahnya di kaca dan mendapati bibirnya terlihat sangat buruk, pucat dan tidak segar. "Sebentar," sahutnya sembari memoles bibir dengan lipstik berwarna peach. Perempuan berambut pendek itu lantas menyerahkan lipstiknya kepada Risa. "Thanks." tangannya memutar lipstik, kemudian melukisnya di permukaan bibir. "Coba lihat," pinta Monica, perempuan dengan potongan rambut bob Itu. Tanpa berbalik badan, Risa menunjukkan bibirnya melalui kaca sehingga Monica tetap bisa melihatnya. "Bagaimana?" "Lumayan, nggak buruk-buruk amat." "Terus, cocok nggak? Responmu mencurigakan." Risa lantas mengembalikan lipstik itu, kemudian mengambil tas di mejanya. "Sebenarnya nggak cocok, tapi daripada gundul, 'kan. Nanti setelah pulang kerja, kita ke mall, ya. Beli lipstik." "Aku punya lipstik, Ca ... cuma nggak biasa pakai, jadi lupa." "Pasti sudah berjamur gara-gara nggak pernah disentuh.'' Risa hanya mendengkus dengan kening berkerut. Dia tidak terima dengan apa yang dilontarkan Monica, tetapi dirinya tidak bisa mengelak sebab begitu adanya. "Bareng Bayu lagi?" tanya Monica dan diberi anggukan oleh Risa. "Mau ikut?" Monica mengangguk mantap, lalu berseru, "kan memang aku mau ikut!" Penginapan bergaya homestay itu adalah tujuan lapangan Risa dan Bayu. Mereka sudah membuat janji untuk datang wawancara dan akan menjadikannya sebagai salah satu topik di majalah. Tempat itu bukan tempat umum, harga sewanya pun terbilang mahal. Penginapan berjenis rumah itu dipatok mulai dari enam ratus ribu rupiah permalam. Namun, fasilitas yang ditawarkan bukan main-main. Risa membuka pintu salah satu kamar di penginapan itu, di dalamnya terdapat dua tempat tidur dan satu lemari yang terbuat dari kayu jati. "Wah!" Risa berseru setelah masuk ke dalam. "Ris, kayaknya aku nggak mau pulang deh," lontar Monica setelah melempar tubuhnya ke atas tempat tidur yang empuk. Kedua kaki dan tangannya bergerak seolah dirinya tengah berada di pasir pantai. "Nggak papa kalau nggak mau pulang. Yang penting kamu kuat." Monica tertawa lebar dan ragu. Enam ratus ribu rupiah permalam akan membuatnya miskin dalam sekejap. "Kayaknya kasur kost lebih nyaman, deh!" "Iya kan?" Di saat seperti itu, ketika mereka merasakan kenyamanan tanpa memikirkan pengeluaran, ingin rasanya mereka menjadi anak-anak kaya yang tidak merasa masalah mengeluarkan banyak uang. Salah satu kenyamanan yang membuat mereka seperti orang kaya adalah wawancara di luar yuridiksi. Di luar biaya makan dan belanja akan dibebankan kepada perusahaan. "Penginapan berdaya homestay ini sangat cocok untuk liburan keluarga, mereka bisa berkumpul seolah mereka sedang berada di rumah sendiri. Namun, dengan suasana dan lingkungan yang berbeda dan lebih indah," kata Diana Kusuma, pemilik penginapan dengan jumlah sebanyak dua puluh rumah. Selain yang dijelaskan oleh Diana, penyewa juga diperbolehkan untuk membawa peliharaan. Di sana juga area bebas merokok. Bayu, sang fotografer memotret sosok Diana dengan kemampuannya, dia juga memotret keadaan di dalam maupun di luar penginapan yang terasa nyaman untuk disinggahi. "Wah, ini dari rotan?" tanya Bayu sembari membidikkan kameranya ke sebuah kursi. "Betul. Kami memang memfokuskan bahan furnitur dari rotan dan kayu yang jati yang bersifat tahan lama," ujar Diana. "Ada wifi juga," bisik Monica. Diana cuma melempar senyum menanggapi bisikan Monica yang terdengar olehnya. Penginapan yang ada di kecamatan Krui Selatan tersebut memang dibuat sengaja kayaknya hunian sendiri, yang mana akan menciptakan sebuah kenyamanan bagi orang-orang yang datang berlibur atau merelaksasi pikiran yang lelah. Poin tambah yang membuat penginapan tersebut banyak diburu meski memiliki harga tinggi adalah, di sana mempunyai akses ke pantai. Sungguh fasilitas yang sangat berharga. Setelah selesai melakukan wawancara dengan pemilik homestay, Risa meninggalkan Monica yang telah jatuh ke dalam mimpi. Perempuan itu bilang akan mengajaknya jalan-jalan, tetapi justru pingsan duluan. Risa melangkahkan kakinya di halaman rumah, menikmati langit malam yang dihiasi banyak bintang. Lampu-lampu di halaman rumah dibuat temaram dan tidak mencolok, sehingga pemandangan malamnya begitu nyata. "Indah banget. Seperti di desa dulu." Risa memeluk tubuhnya, mengingat masa-masa saat dirinya masih tinggal di desa bersama orangtuanya. Selimut yang melindungi tubuhnya dari rasa dingin Risa eratkan, lantas melangkah menapaki jalan aspal yang lebarnya hanya satu meter dan pinggirannya ditumbuhi bunga krokot mawar. "Bagaimana kabarmu?" sapa seseorang yang datang tiba-tiba. Pria itu berjalan di samping Risa. Sedikit terkejut, Risa membuat jarak dari pria itu. "Anda siapa?" Risa masih memperhatikan wajah pria itu dari samping. Namun, karena lampu-lampu penginapan yang romantis, dia tidak bisa melihat wajah pria itu dengan jelas. Risa hanya bisa melihat siluetnya, hidung mancung serta garis bibir dan dagu yang tajam. Mulut pria itu perlahan terbuka, lalu terlihat mengukir senyum setelah mendengar pertanyaan Risa. Pria itu mendongak seolah mencari alasan, "aku juga tidak tahu siapa dirimu," katanya. Risa bertanya hambar sembari menggaruk pipinya. "Jadi ini yang dinamakan sok kenal, ya." "Kau mirip dengan seseorang yang aku kenal," lontar pria itu tiba-tiba. "Begitu kah? Siapa? Teman anda? Atau kekasih anda?" "Hm ...," lagi-lagi pria itu mendongak, "mantan pacar?" lanjutnya diikuti tawa renyah. Risa mendengkus pelan sembari melirik pria itu. Seperti laki-laki kebanyakan saat bertemu seorang wanita, pria itu juga berbasa-basi dengan cara yang sama, berkata seolah mereka pernah bertemu sebelumnya atau menganggap orang itu tidak asing, mirip dengan seseorang yang mereka kenal. Caranya basi, pikirnya. "Anda menginap di sini juga? Rumah nomor berapa?" tanya Risa sedikit ngotot. Dia mendadak malas meladeni orang-orang seperti itu, bersikap sok akrab. Apalagi cara bicara pria itu terkesan santai, seolah mereka sudah berteman lama. Padahal aku masih berbicara dengan bahasa yang sopan, tetapi dia tidak. Pria itu mengambil satu langkah lebar, kemudian berhenti di hadapan Risa. Dengan tangan di belakang tubuh, pria berbulu mata lebat itu membungkukkan badannya lumayan dalam, menyeimbangkan dengan tinggi Risa yang hanya sebatas dadanya saja. "Kenapa? Kau mau bertamu?" Meski agak gelap, Risa bisa melihat mata pria itu yang terkesan tegas. Dilihat dari bentuk matanya yang memiliki lengkungan rendah dan tajam di bagian ekornya. Jika tidak salah, pria itu adalah pria paling tampan yang pernah Risa temui hingga membuat pikirannya kosong. Bahkan ketika lelaki berambut gondrong itu memundurkan tubuhnya, Risa masih dalam posisi yang sama. Pria itu berbalik, menunjukkan punggung lebarnya dengan ikatan rambut simpul yang sedikit acak-acakan. Bertemu dengan sosok perempuan di dunia ini dengan wajah berbeda rupanya tidak serta-merta menumbuhkan debaran-debaran di dada. Wanita bernama Risa Ayudia itu hanyalah orang asing, bukan sosok perempuan yang dicintainya. Setelah menghilang dari pandangan Risa, pria itu, Danu Atmawijaya lantas kembali ke penginapan yang sudah dipesan dua hari yang lalu setelah dirinya yang lain memberinya pesan perihal pekerjaan Risa di luar kantor. "Rupanya aku terlalu berharap," kata Danu kecewa. Selama ini, yang diharapkan olehnya adalah kelahiran kedua perempuan dengan wajah sama persis seperti dulu, berbinar-binar dengan mata tersenyum ramah. Bukan wajah Risa yang sangat asing baginya. Selama enam ratus tahun menunggu, dia menjalani hidup dengan harapan seperti itu. Namun, kenyataannya Dewa belum juga menunjukkan belas kasihnya untuk bersatu dengan perempuan itu pada saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD