3 | Tanpa Cela

1077 Words
Lebih cepat lebih baik. Lebih cepat dilakukan lebih cepat juga punya keturunan. Lebih cepat punya keturunan maka lebih cepat untuk bisa diakhiri. Jagat rebah telentang, kemudian menyamping memunggungi Seruni, tetapi kembali telentang lagi. Pikiran Jagat berkecamuk. Batinnya berperang. Tapi kalau masalah keturunan, artinya Jagat harus menyentuh Seruni—wanita yang tak dirinya kasihi, sedangkan di luar sana ada hati yang begitu ingin Jagat lindungi. Bagaimana ini? Bila terang-terangan bilang bahwa hatinya sudah ada nama wanita lain, sudah memiliki kekasih jauh di sebelum dikenalkan dengan Seruni, itu akan berbahaya bagi kekasihnya. Jagat tak bisa. Pacarnya harus baik-baik saja. Yang jadi masalah, Seruni mungkin tidak akan macam-macam, perjodohan ini juga bisa dibatalkan sejak awal, tetapi tidak sesimpel itu karena Jagat merupakan bagian dari keluarga Atmaja. Sudah pasti nanti yang membuat perjodohan ini batal akan dicari tahu sampai ke akar, lalu setelah itu ... kekasih Jagat diincar. Takutnya dibuat hancur. Tidak, tidak. Tidak boleh. Hati Jagat gundah tak menentu. Mungkin karena itu, Seruni sampai memanggil di kala sudah sama-sama memutuskan untuk terlelap. "Mas ...." Sebab Jagat tidak bisa diam. "Hm?" Ada keheningan untuk sepersekian detik sampai akhirnya suara Seruni kembali terdengar. "Boleh, kok, kalau Mas mau." Jagat tergeming. "Aku nggak capek." Pelan vokal itu mengalun, membelai gendang telinga Jagat dan menghantarkan dentum mengerikan di dadaa. Detakannya menggila. "Aku juga udah siap, Mas." Oh, tidak. Jagat menelan saliva. Bukan karena tergoda oleh lirihan suara Seruni yang merdu, tetapi karena ingat kekasihnya. Apa jadinya bila Jagat melakukan itu. You know itu? Kelopak mata Jagat terbuka, menatap langit-langit kamar. Sementara, bola mata Seruni memindai wajah suaminya dari bagian sisi. Ini pukul sepuluh malam. Kala Jagat menoleh, percayalah ... jantung Seruni mendapati detakan yang baru. Asing. Baru Seruni rasakan malam ini, lebih intens dan tidak terstruktur. Jagat diam saja. Bibirnya mengatup rapat. Namun, mata Jagat lekat di wajah Seruni. Ada rasa hangat yang melipir di dinding hati, Seruni ulaskan senyuman. Dia rida kalau malam ini Jagat meminta haknya. Toh, pada umumnya pernikahan memang begitu, ya, kan? Kini saling berhadapan. Di atas ranjang. Sedangkan di diri Jagat, ada rumus rumit dalam benaknya. Jika x sama dengan y, maka a sama dengan apa. Rumit, kan? Di mana variabel x adalah 'melakukan hubungan badan dengan Seruni malam ini', maka y adalah 'mengkhianati sang kekasih dengan lebih kejam daripada sekadar menerima perjodohan', maka a merupakan 'kebebasan yang tertunda' ... jikalau Jagat tidak segera melakukannya. Jadi .... Jagat berdebar. Bukan. Bukan karena Seruni, melainkan karena apa yang akan dirinya lakukan ini bisa menghadirkan goresan di hati wanita yang Jagat beri tiket liburan ke Paris. Oh ... tangan Jagat telah menjulur, menyentuh sisi wajah putri Galaksi. Pipi mulus itu Jagat elus-elus. Namun, apalah arti mulus kalau bukan pipi kekasihnya? Yang Jagat dekati perlahan, lalu menempatkan bibir di atas bibir perempuan di mana bagian pipinya masih Jagat tangkup. Yeah ... bibir Seruni. *** Dipejamkannya mata, Seruni meremas udara, menahan debar kencang di dadaa kala bibirnya disapa oleh jenis material yang sama. Ciuman pertama. Seruni geming, kaku sewajarnya sosok amatir, tak tahu harus apa di saat ada kejadian macam ini. Pertemuan bibir ke bibir. Bilapun harus bergerak, bagaimana geraknya? Mengikuti gerakan Jagat? Yang mulai terasa ada lumatan. Seruni makin berdebar. Makin tegang. Oh, sekarang tubuhnya telentang. Jubah tidur Seruni tersingkap, membuat bagian dalam yang serupa lingerie itu terpampang, bahkan area bahu sudah terekspos. Seruni gelisah. Cumbuan Jagat menurun, menelusuri rahang hingga ke leher, membuatnya meremang sampai melirihkan desahan. Bukannya apa, tetapi leher adalah area sensitifnya. Ada sprei yang Seruni cengkeram, menyalurkan debaran dalam dadaa yang terlalu kebut-kebutan. Seruni khawatir Jagat dapat mendengarnya, itu membuat dia malu. Ini yang pertama. Seruni menggigit bibir bagian dalam, menahan keresahan. Resah yang menyenangkan, tetapi malu kalau sampai diekspresikan. Seruni cemas ekspresinya berlebihan, lalu membuatnya jadi tidak cantik di mata Jagat. Eh? Tunggu, tunggu! Seruni tersadar dirinya mulai centil pada lelaki yang sedang mengungkung tubuhnya malam ini. Centil dalam arti ingin selalu terlihat cantik. Tapi wajar, tidak? Karena sudah suka? Atau ... sudah jatuh cinta? Sebetulnya sejak kapan perasaan macam itu bertakhta? Sejak masih menempuh pendidikan di Amerika? Atau tepat saat selesai akad? Tidak tahu. Seruni melirihkan nama laki-laki itu. Jagat. Dengan embel-embel mas. Oh, God! Seruni tak bisa menjabarkannya dengan lebih terperinci. Satu hal yang pasti, kini baik dirinya dan Jagat sudah sama-sama tidak berbusana lagi. Malam itu Seruni memberikan seluruhnya, tak hanya tubuh, tetapi juga hati. Mungkin benar cinta itu sudah tumbuh sejak Seruni masih di luar negeri bersama Jagat, tetapi dulu masih begitu samar, sedangkan sekarang terasa jelas. It hurts—but, so good. Sejelas rasa dari yang tubuhnya terima atas kunjungan pria. Suaminya. Damn. Seruni tak tahan untuk tidak melirihkan pekikan. Sakit. Astaga. "Mas!" Mata Seruni sampai berembun. It hurts. Serius. Sedangkan, Jagat menahan napas. Menelan saliva. Menekan debar yang amat giras di dadaa ... detik di mana dirinya sukses membuat Seruni merasa terbelah. Argh! Lalu tubuh itu bereaksi atas silaturahmi intimnya, membuat Jagat tak keruan dirasa. Tak dapat dia definisikan dengan pasti, tetapi ... ada getaran yang nyata, bahkan di saat baru terbenam seluruhnya. Belum lama. But .... Jagat mengetatkan geraham. Tanpa cela, malam itu berlangsung menyempurnakan ibadah mereka. Seruni memeluk pria yang beberapa saat lalu aktif di atasnya, yang baru saja membuatnya merasa hangat tak hanya di dalam hati. Napas keduanya saling berembus berantakan, dadaa pun sama-sama kembang-kempis dengan kentara. Tanda bahwa mereka telah sampai di tujuan. Hening tercipta, padahal tadi riuh sekali sekadar dari desah napas mereka. Dinding menjadi saksi betapa Jagat dan Seruni sudah saling menandai. Detik demi detiknya. Jagat lalu berguling, Seruni meringis. Sejenak, Jagat duduk di tepi ranjang, sementara Seruni tarik selimut sampai batas leher. Pipi merah padam, apalagi saat Jagat menoleh menatapnya. Sudah, ya? Betulan terjadi, huh, yang tadi? Jagat mencerna tiap detail keadaan setelah beberapa menit lalu ... begitu dan begini. Sementara, Seruni melirikkan mata pada jam dinding, pukul sebelas malam lebih sekian menit. Lebih dari satu jam, ya, yang barusan? "Mau ke mana, Mas?" Kala Jagat memunguti pakaian, lalu mengenakannya, dan hendak melenggang. "Kamar mandi." Oh .... Seruni diam, tetapi tak lama. "Kok, bawa hape?" Memang. Jagat meraih benda itu yang sejak tadi teronggok di nakas. "Iya, kan, sambil pup main hape." Masuk akal. "Nggak boleh?" imbuh Jagat. Seruni geleng-geleng. Maksudnya ... "Boleh, kok." Dan Jagat melenggang. Well ... habis begituan langsung mulas, ya? Seruni menatap isi di dalam selimut, melihat tubuh telanjangnya. Betapa pipi kian memanas, pun diremasnya selimut, Seruni telah sepenuhnya Jagat miliki, juga sebaliknya. Ternyata ... dijodohkan tidak buruk juga, selagi prianya seperti Danapati Jagat Atmaja. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD