Kenapa rasanya masih perih, ya? Dan masih seperti ada yang mengganjal. Saat buang air kecil juga tidak senyaman sebelum titik terintimnya dikunjungi benda asing. Mau duduk pun masih terasa sisa-sisa percintaan malam pertama.
Oh, ya ampun.
Untungnya Jagat tidak minta lagi. Kebayang kalau suaminya itu ingin mengulangi persilahturahmian mesra macam di malam pertama, Seruni merinding sendiri memperkirakan rasa perihnya.
Ini serius.
Ya, sepertinya nanti bulan madu pun Seruni tak ingin ditumbuk erotis dulu. Duh, bagaimana bilangnya, ya? Sedangkan, hari H bulan madu yang direncanakan itu adalah besok.
Agaknya, Seruni gelisah.
Di malam pertama dia seyakin itu padahal untuk lepas segel, yakin sudah siap. Sebetulnya mau-mau saja, sih, karena ini juga merupakan kewajiban. Tapi sakitnya itu, lho! Seruni menatap Jagat yang terlelap, sementara dirinya rebah menyamping.
Benar, ini malam.
Seruni terbangun untuk buang air kecil tadi. Senut-senut pedas gurihnya terasa. Seruni pikir sakitnya tak akan sampai memakan waktu dua hari atau minimal sudah mulai memudar, tetapi ini masih ... begitulah.
Bulan madunya tidak ingin dibatalkan, hanya saja ... bagaimana kalau bulan madu tanpa persenggamaan? Ah, harusnya bulan madu itu dilakukan nanti setelah bagian intim beradaptasi dengan benda pusaka pasangan, ya? Isi kepala Seruni berisik sekali.
Oh, mata Jagat terbuka. Kening yang tertutupi sebagian kecil rambutnya itu mengernyit.
Ngomong-ngomong ... Seruni boleh, kan, melesak ke dalam pelukan Jagat?
Malam ini.
Hanya mau dipeluk.
Merasakan kedekatan untuk setelahnya Seruni bicarakan soal rasa sakit di kemaluan.
Ehm!
Maaf, ya.
Seruni mendekat. Jagat telentang—atau mau ubah posisi jadi hadap jendela dan memunggungi Seruni? Hanya saja, Seruni lebih dulu nemplok menjadikan lengan Jagat sebagai bantalnya, lalu melingkarkan tangan di perut lelaki dua puluh sembilan tahun itu.
Jagat diam.
Seruni memejam.
Sepersekian waktu, Jagat menoleh menatap kepala Seruni, lalu kembali memandang plafon. Tak lama, Jagat tempatkan lengan satunya menutupi mata.
Hatinya merasa berat.
Merasa bersalah.
Tentu, bukan kepada Seruni yang notabene adalah istri, melainkan kepada sang kekasih. Lagi-lagi Jagat kesulitan menjaga tubuhnya hanya untuk Sierra. Di sini, bersama Seruni ... Jagat merasa sedang berselingkuh.
"Mas."
Oh, Seruni bicara.
Jagat tanggapi dengan dehaman.
Seruni makin merapat, dia mencicit bilang, "Masih sakit."
Jagat menurunkan lengannya dari yang tadi menutupi mata.
"Bulan madunya ... nggak begituan dulu, gak pa-pa?" Dan detik itu Seruni mendongak, menatap Jagat.
"Tapi kalau udah agak mendingan, nanti aku bilang," imbuh Seruni, perlahan pipinya memerah. Ini pembicaraan soal ranjang, hal tabu. Wajar bila dia malu-malu, kan? Apalagi seketika terbayang semua aksi Jagat di atas tubuhnya malam itu.
Saat peluhnya berpantulan dengan cahaya lampu, lalu tiap gerakannya yang erotis membuat Seruni terdorong-dorong sensual, hingga desah napas yang—cukup. Makin merah nanti wajahnya.
Sementara, Jagat tak langsung menanggapi. Pikirnya, justru itu. Bagus. Toh, siapa juga yang mau mengulang kegiatan di malam setelah akad? Tapi lain cerita jika istrinya adalah Sierra.
Jagat ulas senyuman. "Iya. Nggak masalah."
Seruni mengulum bibir.
Jagat lanjutkan, "Kalaupun butuh waktu sebulan, dua bulan, atau setahun ... nggak pa-pa."
"Setahun lama banget." Seruni meletakkan kakinya di atas paha Jagat laksana memeluk guling. "Kayaknya seminggu juga udah baikan, deh, Mas. Mungkin bisa di malam terakhir bulan madu kita nanti."
Jagat terus memberikan senyuman. "Yang penting kamu nyaman dulu." Ke sananya akan Jagat pikirkan bagaimana cara supaya tak perlu mengulang hubungan intim.
Bilapun harus berhubungan, tunggu kabar baik dari penyatuan di malam pertama; akan lebih bagus lagi jika Seruni langsung mengandung hanya dengan sekali hubungan badan.
Seruni paham, kok. Di mana pemahaman Seruni berbeda dengan maksud Jagat. Makanya dia cukup tersanjung saat Jagat bilang setahun pun tidak apa-apa. Saking penuh perhatian dan pengertiannya terhadap kondisi tubuh istri, Jagat rela menahan nafsu biologisnya sebagai lelaki. Ini pemahaman Seruni.
Bicara-bicara, mami dan papi Seruni juga pasangan hasil perjodohan dan mereka rukun bin harmonis sampai sekarang, sepertinya Jagat juga pria seperti Papi Galaksi.
Well, Seruni pejamkan matanya lagi. Merasakan usapan lembut dari Jagat di pucuk kepala. Semakin yakin bahwa omongan orang tentang Danapati Jagat Atmaja itu banyak benarnya bahwa ....
"Jagat orangnya kalem, nggak suka neko-neko, bahkan pacaran aja nggak, sampai sedewasa itu. Daripada kembarannya yang—maaf—sampai ngehamilin perempuan, Jagat ini istilahnya laki-laki bersih."
Bersih dalam arti tak ada kejelekan fatal soal Jagat, entah dari bagaimana dia bergaul atau karakternya.
Seruni mendengar itu dari seseorang yang kenal Jagat.
Terus saat di luar negeri, Seruni juga mendengar isu bahwa Jagat ini pria yang paling susah didekati. Artinya? Tahu sendiri, kan? Poin plus buat Jagat di mata Seruni yang kala itu mengamati.
Dan lagi, Seruni kembali mendapatkan kebenaran soal omongan-omongan itu yang serasa jadi bukti. Kala bertahun-tahun Jagat dekat dengannya, di mana Seruni jauh dari orang tua dan dirinya dititipkan ke Jagat, lelaki itu menjaganya sungguh-sungguh, bahkan dari diri Jagat sendiri.
Sejujurnya, Seruni sempat khawatir Jagat menyimpang secara seksual. Naksir sesama jenis, misal? Namun, semakin lama kenal Jagat, kekhawatiran Seruni kabur. Sama sekali tak ada tanda-tanda lelaki ini bagian dari 'jeruk makan jeruk.'
Sudah begitu, Jagat sangat menghargai privasi. Ah, tetapi soal ini ... nanti Seruni mau menghapus batasan. Tak perlu lagi ada privasi. Kan, sudah jadi suami-istri. Tubuh satu sama lain saja sudah saling terlihat dan dilihat.
Nantilah, ya.
Satu-satu.
Seruni terlelap.
***
"Mau titip sesuatu? Mas mau ke minimarket dulu," ucap Jagat, memakai jam tangan.
Seruni sedang mengepak pakaian untuk dibawa ke Bali sore ini—hari H bulan madu. Well ... waktu masih menunjukkan pukul sebelas siang.
"Nggak, Mas." Seruni rasa kebutuhannya dan Jagat sudah lengkap di sini, tinggal dimasukkan ke koper.
Jagat menyemprotkan parfum sebagai sentuhan terakhir. "Oke."
"Hati-hati," balas Seruni, ramah. Dibalut pembawaannya yang tenang.
Jagat ulas senyuman.
Pergi dari sana. Pamit kepada mami dan papi mertua juga, izinnya sama-sama bilang mau ke minimarket. Dan Jagat tidak bohong, dia sungguhan ke minimarket. Membeli air mineral dan roti, lalu makanan ringan lainnya.
Mobil kembali dia lajukan.
Henti di lampu merah, Jagat menatap jam tangan. Sebentar lagi.
Oh, ponsel Jagat menunjukkan notif panggilan. Ada senyum lebih dari sekadar tulus yang terpatri di wajah, ini jenis senyum yang terulas karena Jagat betul-betul ingin tersenyum, bukan sekadar formalitas. Diangkatnya telepon yang masuk.
"Aku udah landing. Kamu jadi jemput, Yang?"
"Jadi. Ini sebentar lagi sampai."
Jangan tanya siapa gerangan. Dari sebutannya saja sudah jelas, kan?
"Oke, cek WA dulu kalo udah nyampe, ya? Posisi aku di sana."
Di sebuah foto yang Jagat lihat. Lekaslah dia mengemudikan mobil ke tempat kekasihnya berada. Lokasi tunggu yang Sierra pilih sangat bisa dilintasi mobil, jadi nanti wanita itu bisa langsung masuk begitu Jagat bukakan pintunya dari dalam.
Macam sekarang.
Sierra senyum.
Benar.
Itu dia.
Perempuan yang dengan begitu sabar berkasih asmara dengan Jagat, meski dari saat hubungan dimulai ... terpaksa harus dijalankan sembunyi-sembunyi. Setidaknya, sekali pun ada yang tahu, mereka tutup mulut.
Awalnya pernah hampir putus gara-gara ini, tetapi kemudian Sierra menyerah. Memilih lebih mengertikan posisi Jagat. Toh, sedang berusaha agar nanti bisa membawa Sierra secara terbuka ke hadapan orang tua dan keluarga besarnya.
Karena di balik semua alasan Jagat, alasan Sierra lebih kuat.
Cinta.
"Akhirnyaaa!" Sierra dapat menghidu aroma Jagat lagi setelah pergi liburan dengan tajuk me time dimodali pacar ke Paris. "Jujur, lebih seneng ada kamu."
Jagat terkekeh.
"Eh, apa, nih?" Saat mata Sierra menangkap kresek putih kenamaan Indomerit di dekat jok.
"Apa lagi? Ya, jajanan kamulah." Jagat melajukan mobilnya meninggalkan area bandara.
Senyum Sierra semakin lebar. Dia membuka bungkusan itu. Jagat tidak pernah lupa bahwa kekasihnya si paling doyan ngemil.
"Makasih, lho."
"Makasih aja?" tanggap Jagat.
"Nanti cium kalo udah halal." Sembari tertawa Sierra mengatakannya.
Jagat meremas setir. Ada debar tidak menyenangkan di dadaa. Yeah ... karena rasa bersalah. Sierra bahkan tidak tahu bahwa di dalam dompet Jagat ada cincin pernikahannya dengan Seruni.
"Tapi kita pernah kiss dan itu belum halal kalau kamu lupa." Sebisa-bisa Jagat alihkan suasana hatinya, mengembalikan kesenangan yang ada dengan sang kekasih.
"Oh, iya, ya? Tapi kamu juga lupa. Itu udah lama banget dan terjadi secara nggak sengaja."
Jagat tertawa.
Ya, ya, baiklah.
"Ra."
"Hm?"
Jagat melirik wanitanya sesaat. Sierra mulai membuka bungkus roti.
"Aku bakal lebih sibuk dari biasanya."
Berat.
Berat sekali bagi Jagat untuk jujur tentang kondisi—perjodohan—yang menimpanya. Berat untuk jujur kepada dua wanita yang terlibat. Paling penting, ini karena Jagat tidak mau kehilangan Sierra dan tak mau wanita kecintaannya kenapa-napa.
Jikalau jujur kepada Sierra, tak menutup kemungkinan gadis ini akan memilih melepas dengan telak tanpa mau menunggu Jagat selesai dengan Seruni.
Dan jikalau Jagat jujur kepada Seruni, tak menutup kemungkinan juga bahwa keluarga Atmaja akan menyerang Sierra.
Oh, itu semua buruk.
Sierra menghela napas. "Ya udah. Mau gimana lagi, kan? Risiko jadi pacar calon Bapak CEO."
Sampai hubungan asmara pun harus dirahasiakan dulu. Sierra memaklumi.
Jagat ulas senyumnya. Tak hanya itu, dia julurkan tangan dan mengusap pipi Sierra. Ini baru benar. Pipi mulus ini yang harusnya Jagat usap, bukan pipi Seruni.
"Sabar, ya? Satu tahun lagi ...." Jagat pastikan hanya sampai satu tahun lagi. Kesabaran Sierra akan berbuah manis.
Sierra balas dengan nada guyonan. "Setahun lagi umurku tiga puluh satu, betewe. Awas aja kalau nggak, ya. Aku bakal nuntut kamu nikahin aku pokoknya."
"Aman." Jagat yakin.
Apa pun yang terjadi pada saat itu, Jagat akan menceraikan Seruni dan menikahi Sierra. Satu tahun lagi.
Jagat akan memikirkan caranya, kalau bisa yang tidak menyakiti Seruni. Tapi bagaimana, ya? Seruni tampak makin lengket, makin mepet-mepet, sementara Jagat belum bisa terang-terangan menolak, justru harus terkesan memberi feedback.
Sejujurnya, Jagat tak ingin memberi harapan kepada putri Galaksi. Namun, ruang gerak Jagat untuk membatasi diri masih sangat terbatas.
Satu hal yang pasti, asal bukan Sierra yang kenapa-napa—jikapun harus ada yang terluka.
***
"Aku baru tahu Mas Jagat suka ngerokok."
Jagat terkekeh. "Ternyata kebersamaan kita yang bertahun-tahun itu belum seberapa, ya, Ni?"
Seruni.
Saat Jagat pulang sehabis dari minimarket, dia tanyakan; kenapa lama. Wajar, kan? Soalnya memang lama ukuran orang pergi ke minimarket.
Terus jawabannya, "Iya, ngerokok dulu."
Seruni diam sesaat sebelum menanggapi dengan kalimat tadi. Baru tahu bahwa seorang Jagat adalah sosok perokok, padahal dulu selama kenal dan hidup bersama di luar negeri walau tidak seatap, sama sekali tak ada tanda-tanda Jagat nyebat.
Namun, baiklah.
Tidak masalah.
Katanya, kan, mau pacaran sampai habis cicilan kredit rumah pun kalau setelah menikah akan ada saja hal baru yang 'baru' diketahui pasangan.
"Nggak suka?" tutur Jagat lagi, soal merokok.
Seruni senyum. "Kalau boleh jujur, iya. Mas ganti bajunya, ya? Gak pa-pa, kan?"
Jagat mengendus-endus pakaian. Bau rokok memang, meski sejatinya yang membuat ini bau adalah karena Jagat sengaja membaur dengan perokok—hanya agar aroma bajunya tercemar, dan Seruni percaya.
"Oke. Maaf, ya."
Maaf karena bau rokok, bukan karena merasa bersalah sudah berbohong atau sejenisnya.
Memangnya, siapa Seruni?
Hanya orang ketiga di mata Jagat.
***