Auckland, dua bulan kemudian. “Bagus ngga?” tanyaku pada tiga perempuan yang duduk manis di sofa. Izma, Fiana, dan tentu saja Peony. Dua menikah, satu segera menikah – dan aku masih sedikit cemburu. Sedikit kok, aku tak ingin melawan perasaan itu. Aku berputar lagi, memerhatikan penampilanku yang terpantul di cermin. Gaun berwarna putih gading menjuntai sempurna, memeluk lekuk tubuhku. Tapi, apakah elok dipandang? Rasa khawatir menyelinap dalam hatiku, khawatir gaun ini tak cukup membuatku tampak istimewa di hari ini. Hari … pernikahanku dengan Tristan. “Bagus ngga?” tanyaku lagi pada mereka. Izma terkekeh – pasti karena merasa aku konyol mengulang-ulang pertanyaan yang sama, Fiana mengangguk antusias – sepertinya biar situasi aman terkendali, dan Peony mengamatiku lekat – mungkin be