“Papa?” Aku hendak mengangkat Farah ke pangkuan, namun ia memberatkan tubuhnya, menolak. “Apa, sweetie?” tanyaku akhirnya. “Let’s go!” “Let’s go? Ke mana?” “Piano.” “Farah mau main piano?” “Piano!” Ia menunjuk alat musik yang tadi kumainkan seraya menarik-narik jemariku. “Let’s go!” Aku berdiri dari dudukku, membiarkan gadis kecilku memaksa aku melangkah, tak sabaran. Masalahnya, papanya Agha sedang memainkan instrumen tersebut, bersama Agha yang duduk di sampingnya. Kami berdiri di bawah sebuah pohon yang dihiasi bohlam-bohlam gantung. Menonton pertunjukan indah tersebut. Agha hanya menekan satu tuts, mengikuti instruksi sang ayah. Terkadang tepat, terkadang meleset. Namun, tetap saja hangat dipandang. Kuangkat Farah ke gendonganku. “Farah main piano sama Uncle Arga aja, mau?”