“Papa Anda bilang? Papa jenis apa yang menuduh anaknya pembunuh? Memilih pergi saat anaknya nyaris meregang nyawa?” Dzaki kelu saat mendengar kalimat demi kalimat sarat sindiran itu. Rautnya nampak sendu. Sementara sudut bibir Deni naik sebelah, tersenyum sinis. Deni paham ia tak seharusnya memperlakukan orang tuanya sekejam itu. Namun, ia sendiri belum mendapati cara untuk memadamkan api amarah di dalam jiwanya. “Lo ngga kepingin daftar kuliah di jurusan lain?” “Habis praktikum aja lo ngos-ngosan gini, Den. Apalagi nanti pas koas? Magang? Lo emang sengaja mau nyiksa diri sendiri?” “Realistis aja Den! Jadi dokter tuh bukan cuma perkara otak encer. Fisik lo juga harus oke.” “Benar tuh! Ngga lucu banget kan ada pasien gawat sementara lo lari aja susah.” “Amputasi lo kan pendek. Mending