Fernando dan Irina kini duduk di kursi yang ada di samping Giselle. Mereka berdua mengusap air mata mereka sembari menatap intens putri mereka yang malang.
Di usia yang masih sangat muda Giselle harus kehilangan penglihatannya dan hidup dalam kegelapan sampai waktu yang tidak ditentukan, mengingat tidak mudahnya mencari donor mata.
"Oh, Giselle." gumam Irina kemudian tertahan karena air matanya kembali menitik.
Seandainya saja wanita itu punya dua pasang mata maka ia akan memberikan sepasang mata itu untuk Giselle, tentunya.
"Semoga saja kau cepat mendapatkan donor mata dan bisa kembali melihat." tutur Fernando dengan suara terisak menatap intens putrinya.
"Bagaimana dengan pernikahannya nanti apakah akan tetap berlangsung?" tanya Irina. Teringat pada acara pernikahan Giselle akan berlangsung 6 hari lagi.
Fernando yang menundukkan kepala, mengangkat kepalanya dan menatap istrinya. Namun dia diam seribu bahasa, tak bisa menanggapinya ataupun berpikir jernih saat ini.
Selama tiga jam mereka menunggu Giselle yang belum sadarkan diri. Dokter bilang pada mereka jika dalam 3 jam pasien bangun maka artinya pasien sudah melewati masa kritisnya. Namun hingga kini dia belum sadarkan diri juga
Suara dering ponsel di ruangan sepi itu memecah kesunyian.
"Ponsel mu berdering." celetuk Irina menetap benda pipih yang menyembah dari saku baju Fernando.
Fernando lalu mengambil ponselnya.
"Gracia?" gumamnya setelah melihat siapa yang menelepon dirinya.
"Ayah ada dimana sekarang bersama ibu? Aku melihat rumah kosong tak ada siapapun di sini." ucap Gracia.
Gracia, kakaknya Giselle. Ia baru pulang setelah keluar dan menghabiskan waktu dengan teman-temannya.
"Dengarkan ayah. Kau ke rumah sakit sekarang juga. Adik mu ada di rung ICU."
Gracia yang baru duduk di sofa terkejut mendengar kabar dari ayahnya.
"Giselle kenapa, ayah?"
"Dia kecelakaan. Cepatlah kemari." ucapnya mengulangi kembali karena Gracia tak meresponnya.
"Siapa itu?" gumam Giselle mendengar suara percakapan di ruangan tempatnya berada.
"Ayah, apa itu ayah?" panggilnya dengan suara yang cukup familiar baginya
"Giselle..." sontak Fernando dan Irina segera menghampiri putrinya.
"Panggilkan dokter sekarang. Putri kita sudah siuman." ucap Irina merasa lega.
Ia sudah menunggu namun sudah 3 jam lebih dan Giselle belum sadarkan diri juga yang membuatnya khawatir.
"Ya, baiklah."
Irina pun segera berdiri dari tempat duduknya menuju ke ruang perawat untuk memanggil dokter.
Giselle merasa matanya berat untuk dibuka, terlebih ada perban yang membelit kedua matanya.
"Ada apa dengan ku, apa yang terjadi pada ku?" batinnya mencoba mengingat kejadian sebelumnya.
Fernando memegang tangan Giselle.
"Syukurlah kau sudah sadar."ucapnya dengan sedikit senyum simpul di tengah rasa kekhawatirannya yang belum mereda.
"Ayah, apa yang terjadi padaku? Mataku kenapa?" tanya Giselle beruntun. Ia merasa cemas karena tak bisa melihat sekitarnya.
"Tenang, Giselle. Kau ada di rumah sakit. Dokter sedang merawatmu. Kau mengalami kecelakaan." jelasnya untuk menenangkan Giselle.
Giselle lalu diam dan mengingat kembali kejadian terakhir yang berhasil ia ingat.
"Oh, mataku." pekiknya kemudian menjerit di detik berikutnya saat teringat besi itu menancap ke matanya.
Ia nampak khawatir kemudian menyentuh perban yang membelit kedua matanya.
"Tenang Giselle, tenang. Nanti dokter yang akan membuka perban itu." ucapnya mencoba menenangkan meskipun sebenarnya ia tahu kondisi Giselle.
Giselle menuruti perkataan ayahnya. Dan dia mencoba untuk tenang meskipun jantung yang berdegup kencang di tengah semua pikiran negatif yang muncul.
"Ayah, kemarin aku ada wisuda tapi kenapa nomor ayah dan semuanya tak ada yang aktif?" tanyanya saat mulai tenang.
"Maafkan ayah. Aku dan ibumu sudah menghadiri acara pernikahan putra dari aunty Clara."
Fernando bicara dengan suara parau dan rasa sedihnya sekaligus rasa bersalahnya yang teramat dalam pada Giselle.
"Salahkan ayah, jika kau ingin menyalahkanku. Saat itu tamu undangan di sana banyak sekali dan aku bersama ibumu menjamu para tamu yang hadir jadi sampai tak tahu jika ponsel kami baterainya hampir habis dan mati sendiri beberapa saat setelahnya." jelasnya panjang lebar.
Fernando sudah siap jika putrinya itu marah padanya atau menyalahkan dirinya. Ia bahkan menyerahkan dadanya untuk dipukul jika itu bisa meredakan amarah.
"Ya, ayah."
Ternyata Giselle sama sekali tak marah padanya. Gadis itu terlihat mengangguk dan mencoba memahami kesibukan ayahnya serta ibunya.
Tak lama kemudian terdengar derap langkah 2 orang berjalan masuk ke ruangan.
Irina kembali bersama dokter yang segera menghampiri Giselle.
"Dokter, apakah lukaku cukup serius?" tanya Giselle memberanikan diri bertanya.
"Nona, aku belum tahu itu dan belum bisa memastikannya." jawab dokter. Ia terpaksa berbohong agar pasien tidak syok dan mungkin saja depresi.
Irina dan Fernando hanya saling menatap tanpa bisa berkata sepatah kata pun mendengar penuturan dari dokter pada Giselle.
"Baiklah aku akan melepas perbannya sekarang." ucap dokter melihat kecemasan di wajah pasien.
Dokter kemudian melepas perban dengan pelan dan hati-hati.
"Bagaimana, apakah nona bisa melihat sekarang?"
Giselle yang masih memejamkan matanya saat perban dilepas, segera membuka matanya.
"Dokter, aku tak bisa melihat apapun." pekiknya dengan gemetar.
"Coba kerjapkan mata." perintah dokter.
Giselle melakukan seperti apa yang diminta oleh dokter, namun tetap saja ia tak melihat apa-apa. Bahkan setitik cahaya pun tak dilihatnya.
Dokter kemudian membaringkan Giselle ke tempat tidur. Ia lalu mengambil senter dan menyenteri mata pasien.
"Apakah nona merasa silau?"
Giselle menggeleng keras dengan tubuh gemetar.
"Dokter, apakah aku-aku buta?" ucapnya dengan terbata-bata.
"Belum tahu, nona karena masih dalam perawatan. Baiklah, aku akan memasang perbannya kembali."
Tetap saja dokter tak berani memberitahukannya dulu karena takut pasien akan histeris.
Tiba-tiba terdengar hentakan suara heels yang masuk ke ruangan.
"Gracia?" panggil Irina dan Fernando bersamaan menatap ke arah pintu.
Gracia lalu masuk bertepatan dengan dokter yang keluar dari ruangan.
Ia pun segera menghampiri adiknya lalu memeluknya.
"Giselle, apa yang terjadi padamu?" ucap Gracia ikut merasa cemas sekaligus prihatin dengan kondisi saudarinya.
"Kakak..."
Giselle lalu membalas pelukan Gracia. Ia terlihat terguncang dengan kondisinya saat ini yang ia sendiri tidak mengetahui pastinya seperti apa.
"Tenang Giselle, kau pasti hanya luka ringan dan akan segera sembuh." ucapnya untuk menenangkan.
Hubungan Giselle sendiri dengan Gracia selama ini baik sebagai saudara. Mereka tak pernah ada percekcokan. Selain itu mereka juga cukup dekat.
Giselle terlihat tenang setelah Gracia mencoba menenangkan dirinya.
Satu jam kemudian, Giselle kembali tertidur karena masih dalam pengaruh obat bius.
Mereka bertiga kemudian pulang sebentar dan akan kembali lagi nanti.
Di luar ruangan mereka bertiga kembali mengobrol.
"Sebenarnya nagaimana kondisi Giselle?" tanya Gracia setelah menutup pintu ruangan.
"Dokter sudah memvonis dia buta. Hanya saja baik dokter maupun kami belum berani menyampaikan kebenaran itu." jawab Irina lesu.
Mereka bertiga kemudian segera berlalu dan Kembali menuju ke mobil untuk pulang ke rumah.
Tanpa sepengetahuan mereka bertiga ternyata Giselle belum sepenuhnya tidur dan dia tapi sama dengan jelas percakapan mereka bertiga.
"Apa-apa yang mereka ucapkan itu benar?!" pekiknya syok sampai duduk.
Giselle menahan rasa kantuknya dan kini ia terlihat frustasi setelah mendengar pembicaraan keluarganya.
"Tidak mungkin aku buta!" teriaknya tak bisa menerima keadaannya.
Bahkan ia pun membuka sendiri perban matanya.
"Mataku! Gelap! Tolong aku!" teriaknya beruntun setelah tak ada seberkas sinar pun yang bisa dilihatnya, sama seperti tadi.
Giselle kemudian berteriak. Tak hanya berteriak saja, ia bahkan membanting semua barang yang ada di meja di dekatnya.