Eps. 5 Pulang Paksa

1045 Words
Keesokan harinya Giselle bangun dengan kondisi perban masih menutup kedua matanya. "Astaga, aku tidak bermimpi!" pekiknya saat ia meraba kain kasar yang menutup matanya. Ia pun kembali panik. Lalu menarik paksa perban yang sudah ketiga kalinya dipasang oleh petugas medis. “Akh! Mataku! Mataku tetap seperti kemarin!" pekiknya lagi lebih panik saat melihat seluruh ruangan gelap gulita. Bahkan ia tak bisa menatap jari tangannya meskipun bisa menyentuh dan merasakannya. "Ayah, ibu..." panggilnya. Namun tak ada yang menyahut. Giselle seketika menjadi frustasi kembali. Ia turun dari tempat tidur lalu mencoba untuk berjalan. Baru berjalan tiga langkah, ia jatuh karena tersandung pada kursi yang ada di dekat tempat tidur yang tak bisa dilihatnya. "Tidak, ini tidak benar." pekiknya bingung lalu berdiri. Ia kembali berjalan namun kembali jatuh karena menabrak meja. "Ibu, ayah...“ Ia kembali memanggil kedua orang tuanya tak ada yang menjawab seperti sebelumnya. Karena kesal, setelah berdiri ia pun berpegangan pada meja. Bukannya berjalan dengan meraba, ia kembali membanting semua barang yang ada di meja. Suara berdebum terdengar setelah ia menggulingkan kursi yang ada di depannya dan menghalangi jalannya. Petugas medis yang sebelumnya sudah mengetahui keadaan pasien, mengawasi ruangan itu. Namun lagi-lagi mereka kelolosan dan baru mengetahui saat keadaan ruangan itu kacau seperti sehari sebelumnya. Kali ini tiga petugas medis masuk ke ruangan itu. Karena sebelumnya sudah mengetahui seperti apa kondisi mental pasien, maka ini mereka bisa secepatnya mengatasi situasi tersebut. "Nona, mohon untuk tenang dan duduk kembali. Jika nona butuh sesuatu katakan saja. Kami siap membantu anda." ucap petugas medis dengan lembut. Mereka harus tetap tenang menghadapi pasien yang sedang mengalami gangguan mental seperti ini. Dua petugas medis lainnya memegang Giselle dengan erat agar gadis itu bertindak nekat. "Aku butuh bantuan kalian untuk mengembalikan penglihatanku." jawab Giselle langsung dengan tegas. Namun itu membuat petugas medis yang ada di sana membisu seketika, tak berani bersuara. "Kalian tidak bisa bukan, mengembalikan mataku?!” Kali ini Giselle meronta serta berontak, namun dua petugas medis yang menahan tubuhnya tak bisa dilawannya. "Aku mau mataku kembali. Kembalikan mataku!" bentaknya. "Nona, tolong tenanglah. Jika tidak, maka kami akan dengan terpaksa turun tangan." ucap salah satu petugas medis. Salah satu dari mereka sudah membawa jarum suntik berisikan obat penenang untuk mengatasi pasien. Namun sebelum petugas medis itu menyuntikkan jarum tajam itu pasien, mereka menatap ke arah pintu karena terdengar suara dalam langkah kaki yang masuk dengan cepat. "Giselle...” "Ayah..." balas Giselle seketika langsung mengetahui suara siapa yang masuk. "Ayah, tolong aku! Tolong minta mereka melepaskan diriku." ucapnya dengan memelas. Fernando yang keluar sebentar untuk mencari sarapan dan sengaja meninggalkan Giselle berpikir gadis itu masih lama baru akan bangun. Ia benar-benar terkejut ternyata Giselle bangun lebih awal meskipun mendapat obat pemenang dosis tinggi. Parahnya lagi, lantai di depannya kembali berantakan. "Ayah..." panggil Giselle lagi karena belum ada respon juga dari ayahnya. "Giselle, tenangkan dirimu. Ayah bersamamu." Fernando lalu setelah berjalan menghindari pecahan kaca di lantai untuk menghampiri putrinya. Giselle melambaikan tangannya yang langsung dipegang oleh Fernando. "Tolong, lepaskan putriku." ucap Fernando pada petugas medis dengan baik. Petugas medis lalu melepaskan pasien karena melihat Giselle menjadi tenang saat bersama ayahnya. Bahkan mereka mulai menjauh saat pasien kini duduk dengan tenang bersama ayahnya. "Ayah, aku takut!" ucapnya dengan tubuh gemetar. Ia lalu memeluk ayahnya dengan erat. Dan Fernando bisa merasakan ketakutan putrinya tersebut. "Ayah, aku mau pulang. Aku tidak mau di sini." protesnya masih dengan tubuh gemetar. "Giselle, dokter belum memperbolehkanmu pulang. Kau masih perlu menjalani perawatan." Fernando tau mau putrinya itu kurang perawatan yang mengakibatkan akan membuat Giselle semakin menderita. "Tidak ayah, aku tak perlu menjalani perawatan disini. Apa yang bisa dirawat untuk mataku yang sudah buta ini?" bantahnya lagi. Fernando diam tak berani menjawab, takut putrinya yang masih sensitif itu akan kembali tersulut emosinya dan mengamuk seperti sebelumnya. "Ayah aku mau pulang. Aku tak mau di sini. Aku ingin tidur di tempat tidurku sendiri." Giselle tetap bersi keras mengajak pulang. "Sudah, biarkan saja dia pulang. Aku akan mengurusnya setelah ini." ucap seorang wanita yang tiba-tiba masuk ke ruangan. "Ibu..." panggil Giselle. Irina yang pulang sebentar Karena ada urusan di rumah kembali ke rumah sakit. Ia berkata demikian karena tak tega melihat kondisi Giselle. Mungkin Jika dia terus berada di rumah sakit ini, maka kesehatan mentalnya akan semakin terganggu. "Ya, sayang kau akan pulang hari ini juga." tutur Irina. Ia lalu menghampiri Giselle dan duduk di sampingnya. Giselle melepas pelukannya dari Fernando lalu beralih memeluk ibunya. "Ibu, bawa aku pulang sekarang. Lebih baik aku ditangani oleh dokter keluarga saja." "Ya, sayang." jawab Irina singkat. Sembari mengusap air matanya yang mulai menitik di pelupuk matanya. Beberapa saat setelahnya, Irina menemui dokter dan bicara dengannya untuk meminta agar Giselle bisa pulang hari ini juga, jam berapa saja itu. "Tapi, Nyonya kondisi pasien belum stabil." bantah dokter yang lebih mengutamakan kondisi pasiennya karena merupakan tanggung jawabnya. Irina kembali membahas panjang lebar masalah itu dengan dokter. Hingga akhirnya dokter pun menyetujui setelah perdebatan panjang yang memakan waktu selama 60 menit. Tentu saja untuk urusan debat-mendebat, Irina memang jagonya. Ia biasa membantu Fernando mengurusi klien yang alot. Yang bahkan Fernando sendiri angkat tangan. Tapi di tangan Irina, klien alot itu pun berhasil ditaklukkannya dengan mudah. Dua jam kemudian, petugas medis masuk ke ruangan dengan membawa semua data administrasi yang harus ditandatangani oleh pasien. Petugas medis itu tetap meminta tanda tangan Giselle dan menuntunnya. Giselle nampak stres saat memegang bolpoin dan membubuhkan tanda tangannya di sana, tidak pas pada tempat yang seharusnya. "Maaf, biar aku saja sebagai walinya yang akan membubuhkan tanda tangan." Irina mengambil dokumen itu begitu saja dari tangan Giselle dan segera membubuhkan tanda tangannya di sana. "Tak masalah jika aku yang tanda tangan, bukan?" tanya Irina menatap petugas medis. "Y-ya, Nyonya tak apa." jawab petugas medis itu dengan terbata-bata. Tak berani menolak meskipun sebenarnya tak boleh. Tapi wanita itu bukan sembarang wanita, sehingga membuat petugas medis takut pada Irina dan menurut saja pada apa katanya. "Ini, suster." Irina menyerahkan kembali dokumen yang sudah selesai ditandatanganinya pada petugas medis. Petugas medis menerima dokumenter dan segera membawanya keluar. Satu jam berikutnya ruangan itu sudah kosong. Fernando membawa Giselle masuk ke mobil. "Tidurlah, jika kau mengantuk. Ibu bersamamu." ucap Irina duduk di samping Giselle. Giselle mengangguk dan tampak tenang. Ia lalu tertidur setelahnya di bawah pengaruh obat penenang yang disuntikkan oleh dokter sebelum dia keluar dari rumah sakit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD