12

1279 Words
Tangan itu mencengkeram pergelangan Diajeng dengan kuat, menariknya menjauh dari pria asing yang tadi mendekat. "Diajeng." Suara rendah dan dingin itu menggema di telinganya, nyaris terkalahkan oleh dentuman musik yang menggema di dalam ruangan. Diajeng menoleh, dan hatinya mencelos. Bhaskara. Pria itu berdiri di depannya dengan rahang mengeras, sorot matanya tajam menguliti setiap inci dirinya. Rambutnya sedikit berantakan, napasnya berat, dan ekspresi wajahnya tidak main-main. Diajeng seketika menegang. Kenapa dia harus tau jika dirinya ada disini? Diajeng menepis genggaman Bhaskara dengan kasar, sorot matanya menyala penuh emosi. "Lepaskan saya!" Namun, Bhaskara tidak bergeming. "Kamu sudah cukup bersenang-senang?" tanyanya, suaranya tenang, tapi sarat dengan ketegangan. Diajeng mendengus, mendekat dengan mata menantang. "Anda pikir Anda siapa? Bos saya? Oh iya, Anda memang bos saya, tapi sekarang kita bukan di kantor, Bhaskara!" Bhaskara semakin mendekat, nyaris tak memberi ruang bagi Diajeng untuk mundur. "Saya suami kamu." Diajeng tertawa sinis. "Suami? Sejak kapan Anda peduli pada istri Anda, hah? Bukannya Anda juga sedang asyik dengan wanita lain di sana?" Mata Bhaskara berkilat marah. "Saya tidak pernah peduli dengan siapa pun di tempat ini," gumamnya dingin. Rahangnya mengeras sebelum ia melanjutkan, "Tapi kamu, Diajeng, kamu istri saya. Dan saya tidak akan membiarkan kamu disentuh oleh laki-laki manapun." Diajeng terkesiap. Ada sesuatu dalam nada suara Bhaskara yang membuatnya goyah. Sesuatu yang dalam, intens, dan... Sialan. Diajeng mengerjapkan matanya, mencoba mempertahankan kewarasannya. Tapi sebelum ia bisa bicara lagi, Bhaskara kembali menarik pergelangan tangannya dengan paksa. "Kita pulang," perintahnya dengan suara yang tidak bisa dibantah. Diajeng meronta. "Saya belum selesai di sini!" "Kamu sudah selesai." Bhaskara menatapnya tajam, tidak memberi kesempatan untuk menolak. Saat itu juga, Radit dan Niel yang baru tiba di dekat mereka segera menghentikan langkah, saling berpandangan dengan kebingungan yang jelas tergambar di wajah mereka. Mita yang juga menyadari keanehan ini akhirnya berseru, "Pak, ada apa? lepasin Ajeng Pak" Diajeng tidak menjawab. Namun, jawaban itu terucap dengan sendirinya dari mulut Bhaskara. "Dia istri saya." Mita langsung membeku di tempat, sementara Radit mendadak merasa dadanya dihantam keras. Istri? Diajeng... istri Bhaskara? Radit menelan ludah, dadanya mendadak terasa sesak. Ia menatap Diajeng dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Ada rasa kecewa, ada keterkejutan, dan ada sesuatu yang lain yang menyesakkan d**a. Mita pun masih belum bisa mencerna. Sahabatnya... menikah? Dan dengan Bhaskara, bosnya sendiri? Kenapa dia tidak tahu sama sekali? Sementara itu, Niel yang lebih tenang akhirnya membuka suara. Dengan sopan, ia menatap Bhaskara. "Maaf, Pak. Apa maksud Anda tadi... benar?" Bhaskara tidak mengalihkan tatapannya dari Diajeng. Rahangnya masih mengeras, ekspresi wajahnya tetap dingin. "Ya," jawabnya singkat. "Diajeng istri saya." Dan dengan jawaban itu, semua yang ada di sekitar mereka seakan membeku. Rahasia yang selama ini Diajeng sembunyikan—terkuak begitu saja. Diajeng tersentak ketika tubuhnya tiba-tiba terangkat dari lantai. “Bhaskara! Turunin gue!” teriaknya, tangannya mencengkeram bahu pria itu dengan sia-sia. Namun Bhaskara tidak menggubrisnya. Dengan mudah, ia memanggul tubuh istrinya ke bahunya, seolah Diajeng hanyalah barang bawaan yang ringan. “Pak! Pak Bhaskara!” Niel refleks melangkah maju, terkejut dengan aksi bosnya yang tiba-tiba. Mita juga menjerit kecil. “Eh! Pak apaan sih?!" Radit masih terpaku di tempatnya, dadanya terasa sesak melihat pemandangan di depannya. Diajeng yang selama ini ia kagumi—dan diam-diam ia sukai—ternyata sudah menjadi istri Bhaskara. Diajeng meronta dengan sekuat tenaga. “Gue bilang turunin, b*****t! Lo pikir lo siapa?! Main angkut aja kayak gini!” Bhaskara hanya menghela napas panjang, tetap melangkah dengan santai melewati lantai dansa yang masih dipenuhi orang. “Saya suami kamu, Diajeng. Itu lebih dari cukup buat saya bawa kamu pulang sekarang juga.” “Lo gila?! Gue belum selesai di sini!” Bhaskara berhenti sejenak, menatapnya dari balik bahu. “Ya, kamu sudah selesai.” Diajeng semakin geram, tapi posisinya yang terangkat di atas bahu pria itu membuatnya tidak bisa berbuat banyak. “Gue beneran bakal ngebunuh lo kalau kita udah di rumah!” ancamnya dengan napas memburu. Bhaskara hanya mendengus. “Silakan coba.” Langkahnya kembali mantap menuju pintu keluar, meninggalkan tatapan terkejut dari teman-teman Diajeng yang masih belum bisa mencerna apa yang baru saja terjadi. Sementara itu, di salah satu meja, Bara hanya terkekeh pelan sambil menyeruput minumannya. “Akhirnya. Gue pikir mereka bakal terus pura-pura nggak saling peduli.” Temannya di sebelahnya menatap heran. “Kakak lo selalu kayak gini?” Bara mengedikkan bahu. “Nggak juga. Biasanya dia lebih tenang. Tapi kalau udah urusan sama Kak Diajeng, yah… beda cerita.” Lalu ia kembali tersenyum kecil, matanya mengamati punggung Bhaskara yang menghilang di balik pintu. Akhirnya, badai yang selama ini tertahan—mulai pecah. Di dalam mobil Rolls-Royce hitam yang terparkir di area VIP, Bhaskara membanting pintu dengan kasar, nyaris membuat Diajeng terlonjak di kursi. Nafas pria itu berat, matanya gelap dengan emosi yang terpendam. Sementara Diajeng masih menyala penuh kemarahan. “Lo gila, ya?! Bawa gue pergi seenak jidat lo! Emangnya lo pikir lo siapa sampe bisa—” Bibirnya dibungkam tiba-tiba. Dengan satu gerakan cepat, Bhaskara menunduk dan mencium bibirnya. Paksa. Panas. Liar. Diajeng memukul d**a pria itu, meronta, tapi Bhaskara tidak memberi ruang untuknya kabur. Tangannya mencengkeram rahang wanita itu, menahan kepalanya agar tidak bisa bergerak. Ciuman itu bukan ciuman biasa. Itu adalah ledakan dari semua emosi yang selama ini ia tekan—amarah, obsesi, rasa sakit, dan cinta yang ia benci namun tak bisa ia buang. Saat akhirnya Bhaskara menarik diri, Diajeng menatapnya dengan napas tersengal, bibirnya berkilat karena basah. “b******k,” desisnya, wajahnya memerah antara marah dan frustasi. Bhaskara tidak menjawab. Mata gelapnya masih mengunci milik Diajeng, tajam dan menuntut. Diajeng belum sempat bicara lagi, dan ciuman itu kembali jatuh. Lebih dalam. Lebih menuntut. Bhaskara mencengkeram tengkuknya, menariknya semakin dekat hingga d**a mereka saling bertemu. Jari-jari besar pria itu menekan kulit Diajeng, seolah memastikan bahwa wanita ini nyata, bahwa ia masih ada di sini bersamanya—meskipun selama ini ia merasa seolah kehilangan. Diajeng menggeram di antara ciuman mereka, tangannya berusaha mendorong bahu Bhaskara, tapi sia-sia. Pria itu lebih kuat. Dan dia lebih keras kepala. Saat ciuman itu terlepas lagi, Bhaskara menatap Diajeng dengan napas memburu. “Saya sudah cukup sabar, Diajeng.” Diajeng memutar bola matanya. “Kalau ini yang lo sebut sabar, gue nggak bisa bayangin lo kalau udah nggak sabar.” Bhaskara menyeringai tipis, jemarinya menyapu bibir wanita itu. “Saya nggak peduli mau kamu benci saya, mau kamu marah, mau kamu teriak sekencang mungkin… Tapi satu hal yang harus kamu tahu.” Diajeng diam, masih menatapnya dengan tajam. Bhaskara menunduk, membisikkan kata-katanya tepat di telinga wanita itu, suaranya dalam dan berbahaya. “Kamu milik saya, Diajeng.” Sebuah klaim. Bukan permintaan. Bukan negosiasi. Dan Diajeng tahu, Bhaskara bukan tipe pria yang akan membiarkannya lepas begitu saja. Bhaskara mencengkeram tengkuk Diajeng lagi, menariknya lebih dekat sebelum bibirnya kembali melumat bibir wanita itu—lebih ganas, lebih menuntut. Kali ini, Diajeng tidak sempat memprotes. Dalam hitungan detik, tubuhnya sudah ditarik ke atas pangkuan Bhaskara, membuat rok pendeknya naik, memperlihatkan pahanya yang mulus di bawah pencahayaan remang dalam mobil. Bhaskara menahan napasnya saat kulit mereka bersentuhan. Tatapannya turun, menyapu pemandangan yang tersaji di depannya. Rahangnya mengencang, matanya semakin gelap. Diajeng tersentak, tangannya bertumpu di d**a pria itu, mencoba menjaga jarak. “Bhaskara, lo—” “Diam.” Suara pria itu serak dan rendah, penuh perintah. Jemarinya bergerak, menyusuri garis pahanya dengan sentuhan ringan yang justru membuat Diajeng semakin tegang. Nafasnya memburu. Dadanya naik turun. Bhaskara menikmati ekspresi itu. Diajeng masih berusaha melawan, tapi Bhaskara tahu, wanita ini juga terbakar oleh sesuatu yang sama. Sebuah tarikan kuat yang selama ini mereka tolak. Dan sekarang, di dalam mobil yang sunyi, hanya ada mereka. Tanpa batasan. Tanpa gangguan. Hanya ada emosi yang meluap, amarah yang bercampur dengan keinginan yang tak bisa mereka nafikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD