Diajeng membuka matanya dengan cepat. Air dari shower masih mengalir deras, membasahi tubuhnya yang kini menggigil, bukan karena dingin, tetapi karena perasaan yang tak menentu.
Tiga hari.
Hanya tiga hari yang dibutuhkan untuk mengubah seluruh hidupnya.
Tanpa sempat mengenal kembali pria yang sekarang menjadi suaminya. Tanpa ada kesempatan untuk menolak, karena demi kedua orang tuanya, demi menghormati permintaan terakhir seorang nenek yang sedang berjuang melawan maut, ia tak punya pilihan selain menerima.
Namun, satu hal yang tak ia duga adalah bagaimana Bhaskara menyambut pernikahan ini. Bukan dengan kehangatan seperti dulu. Bukan dengan sikap ramah dan perhatian seperti yang ia ingat dari masa kecilnya. Melainkan dengan sikap dingin, nyaris tak peduli. Seakan dirinya hanyalah beban yang tiba-tiba dilemparkan ke dalam hidup pria itu.
Diajeng mengepalkan tangannya. Apakah benar Bhaskara membencinya? Jika iya, kenapa? Apa yang telah ia lakukan hingga pria itu berubah begitu drastis?
Atau…
Apa mungkin ada alasan lain di balik sikap Bhaskara?
Diajeng merapatkan handuknya, kedua tangannya mencengkeram kain itu erat seakan takut terbuka sedikit saja. Ketika ia selesai dengan ritual mandinya dan berbalik untuk pergi, jantungnya seketika berdegup lebih cepat.
Bhaskara sudah berdiri di ambang pintu kamar mandi, tubuhnya sedikit bersandar pada kusen, dengan sorot mata yang tajam dan penuh penilaian.
"Kenapa terburu-buru?" tanyanya datar, tapi ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuat Diajeng semakin waspada.
Diajeng menelan ludah. Apa dia melihatnya tadi? Seharusnya ia sudah mengunci pintu.
"Saya sudah selesai," ucapnya, berusaha terdengar tenang. Ia melangkah ke samping, bermaksud melewati Bhaskara, tapi pria itu tidak bergerak.
Bhaskara malah menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki, pandangannya mengunci setiap inci tubuhnya yang tertutup handuk. Napasnya terdengar pelan, tapi ada ketegangan tersirat di dalamnya.
"Kenapa?" Diajeng akhirnya bertanya, meski dirinya sendiri tidak yakin ingin tahu jawabannya.
Bhaskara mengangkat sebelah alis, seolah menertawakan kepolosannya. "Apa kamu takut?"
Diajeng mengerutkan kening, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Takut? Tidak. Kenapa saya harus takut?"
Bhaskara tersenyum kecil—bukan senyum yang hangat, melainkan yang meremehkan. Ia melangkah mendekat, membuat Diajeng spontan mundur, tapi tubuhnya segera bertemu dinding kamar mandi.
"Karena sekarang kamu istriku." Suaranya rendah, nyaris berbisik, tapi tetap tajam. "Dan dalam pernikahan, ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi, bukan?"
Diajeng membeku.
Pria ini… benar-benar sudah berubah.
"Apa yang kamu inginkan, Bhas?" tanyanya, suaranya berusaha stabil meskipun ia bisa merasakan detak jantungnya semakin cepat.
Bhaskara menatapnya lama, seolah menikmati rasa takut dan ketidaknyamanan yang ia sebabkan. Kemudian, tanpa peringatan, ia menyelipkan jemarinya ke helai rambut basah Diajeng, menariknya perlahan ke belakang sehingga wajah mereka semakin dekat.
"Aku butuh keturunan," desisnya, nada suaranya penuh kepastian. "Dan mau tidak mau, kamu harus memberikannya padaku."
Diajeng menahan napas, tangannya mengepal.
"Kalau begitu, cari perempuan lain, Bhaskara," sahutnya dingin. "Saya bukan alatmu."
Bhaskara mendengus, melepas cengkeraman jarinya, lalu mundur selangkah dengan ekspresi meremehkan.
"Tidak semudah itu, Diajeng. Saya tidak akan menyentuhmu malam ini." Ia melengos pergi, mengambil baju tidurnya, sebelum melanjutkan dengan suara rendah yang menusuk, "Tapi ingat, cepat atau lambat, kamu akan tunduk juga."
Diajeng menatap punggung pria itu dengan rahang mengatup rapat.
***
Seluruh keluarga telah berkumpul di lobi hotel, menanti pasangan yang baru saja sah sebagai suami istri untuk check-out setelah menghabiskan malam pertama mereka di sini.
Diajeng berjalan lebih dulu, sementara Bhaskara mengikuti di belakangnya dengan langkah santai, tangannya terselip di dalam saku celana. Sepanjang perjalanan menuju keluarga mereka, pikiran Diajeng masih dipenuhi oleh ucapan Bhaskara semalam. Kata-kata pria itu terasa menusuk, seolah dirinya hanya sekadar alat pemuas keinginannya.
"Sayang, pasti capek, ya? Kok baru turun?" Mama Mira segera menghampiri menantunya dengan tatapan penuh perhatian.
Diajeng tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang masih mengendap di hatinya. "Nggak kok, Ma. Tadi cuma beres-beres koper aja."
Bhaskara yang berdiri tepat di belakangnya tetap diam, ekspresinya datar seperti biasa.
"Bhas, kamu mampir ke mansion Papa dulu, kan?" tanya Bagaskara, sang ayah, berharap putranya bersedia singgah sebentar sebelum kembali ke rutinitasnya.
"Tidak, Pa. Saya balik ke Surabaya hari ini. Besok sudah mulai masuk kerja," tolak Bhaskara tanpa ragu, suaranya tegas dan tanpa emosi.
Bu Ana, ibu Diajeng, menoleh pada putrinya. "Ajeng ikut?" tanyanya lembut. "Cuti kamu tinggal tiga hari lagi, kan?"
Belum sempat Diajeng menjawab, Bhaskara sudah lebih dulu membuka suara. "Ajeng ikut saya, Bu. Dia harus pindahin barang dari apartemen ke mansion," katanya singkat.
"Oh, ya sudah kalau begitu," Bu Ana mengangguk paham. Wanita itu meraih tangan putrinya, menggenggamnya erat. "Kamu hati-hati ya, Ndut. Manut sama suami."
Diajeng tersenyum kecil, meskipun hatinya terasa berat. "Iya, Bu. Nanti Ajeng bakal sering ke Batu," ujarnya mencoba menghibur sang ibu.
Mira kemudian menatap putranya, memberikan pesan penuh makna. "Bhas, jaga istri kamu. Jangan buat dia menangis. Ingat, rezeki seorang suami datang dari rida istrinya."
Bhaskara tidak langsung merespons, hanya mengangguk kecil tanpa banyak bicara.
Setelah perpisahan yang penuh kehangatan itu, mereka pun saling berpelukan sebelum akhirnya Bhaskara dan Diajeng meninggalkan keluarga mereka. Mereka memilih menetap di Surabaya karena pekerjaan yang telah menanti, tetapi entah mengapa, perjalanan ini terasa lebih seperti awal dari sesuatu yang tidak pasti.
Perjalanan menuju Surabaya terasa begitu hening. Diajeng duduk di kursi penumpang dengan tatapan kosong ke luar jendela, memperhatikan pemandangan yang berlalu begitu saja. Sementara Bhaskara tetap fokus mengemudi, tangannya kokoh menggenggam kemudi, ekspresinya sama seperti sebelumnya—datar dan sulit ditebak.
Tak ada obrolan, tak ada pertukaran kata-kata. Hanya suara dengungan mesin mobil yang mengisi keheningan di antara mereka. Sesekali, Diajeng melirik pria di sebelahnya, berharap Bhaskara setidaknya akan mengatakan sesuatu. Namun, sejauh ini, pria itu tampak tidak memiliki niat untuk memulai percakapan.
Diajeng mendesah pelan sebelum akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. "Bhas, aku mau mampir ke apartemen dulu. Ada beberapa barang yang harus aku ambil sendiri," ujarnya, berusaha terdengar setenang mungkin.
Bhaskara tidak langsung merespons. Ia tetap menatap lurus ke jalan di depannya, seolah permintaan Diajeng hanyalah angin lalu. Baru setelah beberapa detik, ia akhirnya membuka suara.
"Tidak perlu," jawabnya singkat.
Diajeng mengerutkan kening. "Kenapa?"
"Orang suruhan saya yang akan mengurusnya," ucapnya, nadanya terdengar dingin dan tak terbantahkan.
"Tapi ada barang-barang yang ingin aku pilih sendiri—"
"Kalau itu yang kamu khawatirkan, suruhanku bisa mengirim foto, kamu tinggal pilih."
Diajeng mengepalkan tangannya di atas pangkuan, mencoba menahan rasa tidak nyaman yang semakin menyeruak di dadanya. "Itu bukan soal memilih barang, Bhas. Ada beberapa hal yang harus aku urus sendiri."
Bhaskara akhirnya meliriknya sekilas, tatapannya tajam dan penuh ketidakpedulian. "Kamu tinggal di mansion sekarang. Tidak ada yang perlu kamu urus lagi di apartemen itu."
Diajeng terdiam.
Kata-kata Bhaskara terdengar begitu mutlak, seakan ia tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang dikatakan pria itu. Seakan hidupnya kini sepenuhnya berada di bawah kendali suaminya—seseorang yang dulu adalah teman kecilnya, seseorang yang selalu ada untuknya, tetapi kini terasa begitu asing dan dingin.
Perjalanan kembali sunyi.
Diajeng mengalihkan pandangannya ke luar jendela lagi, mencoba mengabaikan perasaan sesak yang mulai memenuhi dadanya. Sementara Bhaskara tetap mengemudi dengan tenang, seolah-olah percakapan tadi tidak pernah terjadi.