6

1387 Words
Diajeng menatap pantulan dirinya di cermin dengan ekspresi yang sulit diartikan. Gaun yang ia pilih malam ini bukan sembarang gaun. Warna hitam pekatnya membalut tubuhnya dengan sempurna, memberikan kesan elegan sekaligus menggoda. Modelnya pas di tubuh, dengan aksen tali tipis yang melintang di punggungnya, memperlihatkan kulitnya yang mulus tanpa terlihat berlebihan. Potongan slit di sisi kanan gaun memperlihatkan kaki jenjangnya setiap kali ia melangkah. Bukan hanya mempesona. Diajeng tampak badass. Ia menarik napas panjang. Baiklah, Diajeng. Ini hanya makan malam keluarga. Bertahan saja sebentar. Namun, belum sempat ia beranjak dari kamar tamu yang disediakan untuknya, sebuah ketukan pelan terdengar di pintu. Tidak mungkin pelayan mansion, kan? Sebelum ia sempat menebak lebih jauh, pintu itu terbuka begitu saja. Dan di sana, berdiri Bhaskara. Mata pria itu menyapu dirinya dari kepala hingga ujung kaki, ekspresinya sulit ditebak. Namun, ada kilatan tajam di matanya yang membuat Diajeng tahu bahwa pria itu jelas menghargai pemandangan di depannya. Diajeng menegakkan punggung, bersiap jika pria itu mulai dengan omongannya yang menyebalkan. Namun yang terjadi justru di luar dugaannya. Bhaskara melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya, lalu berjalan mendekatinya dengan langkah yang santai namun penuh d******i. Diajeng terdiam saat pria itu berhenti tepat di belakangnya, bayangan mereka berdua terlihat jelas di cermin di depannya. "Apa yang kamu lakukan?" Diajeng bertanya dengan suara yang lebih tegas dari yang ia rasakan. Bhaskara tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia mengangkat tangannya dan dengan perlahan menyentuh tali di punggung Diajeng, menariknya sedikit. "Memastikan kamu tidak kabur," gumamnya. Diajeng merasakan kulitnya meremang. "Kenapa aku harus kabur? Bukankah kamu sendiri yang menyuruhku datang ke sini?" Pria itu tersenyum tipis, ekspresinya penuh arogansi. "Benar. Tapi aku tidak ingin kamu berubah pikiran." Lalu, seolah semua ini hal yang biasa baginya, Bhaskara menurunkan tangannya dan menyentuh pinggang Diajeng, menariknya sedikit lebih dekat. Diajeng menegang, namun matanya masih menatap bayangan mereka di cermin. Ia bisa melihat jelas bagaimana Bhaskara menundukkan kepalanya, nyaris menyentuh bahunya. "Dan satu lagi," bisik Bhaskara, suaranya rendah dan menggoda. "Aku ingin kita terlihat mesra di depan keluargaku." Diajeng menahan dengusan. "Mesra? Ini lebih terlihat seperti taktik murahan untuk mempermainkanku." Bhaskara terkekeh pelan, jari-jarinya kini melayang di sepanjang lengan Diajeng, sentuhannya ringan namun cukup untuk membuat wanita itu menyadari keberadaannya. "Permainan, ya?" Bhaskara menatapnya melalui cermin. "Kalau begitu, mainkan peranmu dengan baik, Sayang." Diajeng membalas tatapannya, kali ini dengan sorot mata menantang. "Jangan khawatir," ujarnya dengan manis. "Aku bisa lebih baik dari yang kamu kira." Untuk malam ini, ia akan melupakan kejadian pagi tadi. Akan melupakan bibir pria ini yang sempat mencuri miliknya. Karena sekarang, ini adalah permainannya juga. *** MANSION KELUARGA BHASKARA Diajeng duduk di meja makan yang mewah dan elegan, dikelilingi oleh orang-orang yang sudah ia anggap seperti keluarganya sendiri. Di sebelahnya, Bhaskara duduk dengan ekspresi santai, sementara di hadapannya ada Mama Mira, Papa Bagaskara, dan Eyang Ratna yang tersenyum hangat ke arahnya. "Aduh, Ajeng, kamu makin cantik aja, Nak," puji Mama Mira sambil menatapnya penuh kasih sayang. "Terima kasih, Tante," jawab Diajeng sopan. "Tante? Ih, kamu ini gimana sih? Sudah sah jadi keluarga malah masih panggil Tante. Panggil Mama, dong," protes Mama Mira dengan manja. Diajeng tertawa kecil. Sejujurnya, ia selalu merasa lebih diperhatikan oleh Mama Mira dibanding Bhaskara sendiri. "Eyang juga kangen sama kamu, Jeng," Eyang Ratna menimpali, senyum keriputnya begitu tulus. "Dulu tiap hari main di sini, sekarang setelah jadi menantu malah jarang main ke rumah." "Maaf, Eyang," ucap Diajeng dengan nada bersalah. "Tuh kan, Eyang aja kangen. Kamu ini udah kayak anak sendiri, loh," Papa Bagaskara ikut bicara, suaranya tenang namun penuh wibawa. "Dulu waktu kecil tiap hari ke sini, gangguin Bhaskara. Sekarang malah ngilang." Diajeng tersenyum, teringat masa kecilnya. Ia dan Bhaskara memang punya perbedaan usia lima tahun. Dulu, Bhaskara selalu menganggapnya anak kecil yang menyebalkan, sementara Diajeng suka sekali menempel padanya. "Tuh, Mas Bhaskara inget nggak? Dulu kalau main, Ajeng suka nangis kalau kamu cuekin," goda Mama Mira sambil tertawa kecil. Bhaskara yang sedari tadi lebih banyak diam kini mengangkat alis, sudut bibirnya tertarik ke atas. "Kalau sekarang masih suka nangis nggak?" tanyanya dengan nada menggoda. Diajeng melirik tajam ke arahnya, namun tidak sempat membalas karena tiba-tiba Bhaskara menyentuh punggungnya yang terbuka, jemarinya mengelus kulitnya dengan lembut. Sentuhan itu membuat tubuh Diajeng menegang seketika. Pria ini… apa-apaan dia? Namun Bhaskara tetap santai, seolah tidak melakukan sesuatu yang aneh. Ia bahkan melanjutkan obrolan dengan keluarganya, sementara tangannya bergerak turun ke pahanya, tepat di belahan gaunnya yang terbuka. Diajeng hampir tersedak supnya. b*****t. Tanpa berpikir panjang, ia mencubit paha Bhaskara di bawah meja, cukup kuat untuk membuat pria itu merasakan sakit. Namun bukannya menjauh, Bhaskara justru menggenggam tangan mungil Diajeng dengan erat, menahannya tetap di sana meskipun ekspresinya tetap santai. "Bhaskara, kapan kalian ada waktu buat bulan madu? Jangan kebanyakan kerja," suara Mama Mira terdengar lagi, masih membahas pernikahan mereka. Bhaskara melirik sekilas ke arah Diajeng, lalu menjawab dengan nada santai. "Nanti akan kami atur waktunya, Ma." Diajeng ingin protes, tapi memilih diam. Tangan Bhaskara masih menggenggam tangannya, membuatnya tidak bisa bergerak. Kesal dengan situasi ini, Diajeng memutuskan untuk membalas. Dengan gerakan yang terlihat biasa di mata orang lain, ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke samping, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Bhaskara. "Jangan macam-macam," bisiknya dengan suara rendah, memastikan hanya pria itu yang mendengarnya. Napas hangatnya menyapu kulit leher Bhaskara, membuat pria itu menegang seketika. Diajeng bisa merasakan tubuh Bhaskara menjadi lebih kaku, namun yang mengejutkan, alih-alih menjauh, pria itu justru semakin erat menggenggam tangannya. Diajeng tersenyum tipis. Rasain, Bhaskara. Namun, Bhaskara bukan tipe pria yang mudah dipermainkan. Dengan gerakan cepat, pria itu justru balas meremas jemari Diajeng di bawah meja, membuat wanita itu hampir saja bersuara. Brengsek. Diajeng meliriknya tajam, namun pria itu hanya tersenyum tenang, seolah tidak terjadi apa-apa. Permainan ini baru dimulai. *** Diajeng membeku di tempatnya begitu mendengar permintaan Mama Mira. "Kalian nginap di sini aja malam ini, ya?" ucap Mama Mira dengan nada penuh harap. "Sejak kalian menikah, kalian kan belum nginep di rumah mama" Diajeng hampir saja tersedak minumannya. Ya, Baru nikah? Kalau saja Mama Mira tahu bahwa pernikahan ini lebih mirip transaksi daripada kisah cinta romantis, mungkin beliau tidak akan berkata seperti itu. "Tapi Ma—" "Udah nggak pake tapi," potong Mama Mira cepat. "Eyang juga kangen kalian. Biar besok pagi kita sarapan bareng sebelum kalian pergi kerja." Diajeng melirik Bhaskara, berharap pria itu akan menolak dengan dinginnya, seperti biasanya. Namun harapan itu langsung pupus saat ia melihat sudut bibir pria itu terangkat ke atas dalam seringai tipis. "Baik, Ma. Kami akan menginap," jawab Bhaskara santai, seolah tidak sadar bahwa Diajeng sedang menatapnya dengan tatapan membunuh. Brengsek. "Bagus! Kamar kamu masih tetap sama, Bhas," ujar Mama Mira riang, tidak sadar akan perang dingin yang tengah terjadi di bawah meja. Jadi, Itu berarti mereka akan tidur dalam satu kamar. Diajeng menggigit bibirnya, pikirannya langsung berkelana ke kemungkinan terburuk. Kalau di mansion mereka, dia masih bisa kabur ke kamar lain. Tapi di sini? Di bawah pengawasan Mama Mira dan Eyang Ratna? Jelas itu tidak mungkin. Ia bisa merasakan tatapan Bhaskara yang penuh kemenangan. Saat makan malam berakhir, Diajeng hampir saja mencari alasan untuk pulang, tapi tidak ada celah sedikit pun. Mama Mira bahkan sudah menggandeng tangannya dengan penuh kasih sayang, mengajaknya ke kamar Bhaskara yang masih sama seperti dulu—dulu sebelum pernikahan ini terjadi. Begitu mereka sampai di kamar, Mama Mira menepuk bahu Diajeng. "Udah, kalian istirahat. Jangan kelamaan begadang, besok pagi Mama mau lihat kalian sarapan bareng ya." Diajeng hanya bisa mengangguk lemah. Saat pintu kamar tertutup dan hanya ada mereka berdua di dalamnya, Diajeng langsung membalikkan badan, menatap Bhaskara penuh waspada. "Kamu sengaja, ya?" tuduhnya. Bhaskara hanya tersenyum miring, berjalan santai menuju lemari, membuka beberapa laci dengan ekspresi tak terbaca. "Apa maksudmu?" tanyanya, seolah tidak mengerti. "Kamu tahu aku nggak bisa nolak kalau Mama Mira yang minta," geram Diajeng. "Dan kamu tetap setuju begitu aja?" Bhaskara menutup laci dengan tenang, lalu menoleh ke arahnya. "Tentu saja." Ia berjalan mendekat, membuat Diajeng secara refleks mundur. Namun langkahnya terhenti begitu punggungnya sudah menyentuh dinding. Bhaskara menatapnya intens, kedua tangannya bertumpu di sisi kepala Diajeng, menjebaknya di antara tubuh pria itu dan dinding. "Kenapa? Takut?" suaranya dalam, nyaris seperti bisikan. Diajeng mendongak, berusaha terlihat tidak terpengaruh meski jantungnya berdebar kencang. "Takut? Nggak sama sekali." Bhaskara mengangkat satu alis, lalu menurunkan wajahnya lebih dekat, hingga napas hangatnya menyentuh kulit Diajeng. "Bagus," bisiknya. "Karena malam ini, kamu nggak akan bisa lari ke mana-mana."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD