Diajeng menghela napas panjang sebelum menatap Bhaskara dengan sorot mata penuh emosi. "Gue nggak mau ngomongin ini."
Bhaskara tidak menjawab. Ia hanya menatap Diajeng dengan ekspresi yang sulit dibaca.
Hening. Diajeng menggigit bibirnya, lalu bergerak melewati Bhaskara.
Tapi sebelum ia bisa benar-benar pergi, tangan kuat itu menariknya kembali. Membuatnya terperangkap dalam dekapan yang sama seperti tadi malam.
"Bhaskara, lepasin gue."
Pria itu tidak menjawab, hanya mempererat pelukannya.
Diajeng memejamkan mata, berusaha mengabaikan detak jantungnya yang semakin kacau. Tapi Bhaskara tidak memberinya kesempatan.
"Apa kamu menyesal?" Bisikan itu begitu lirih, namun menghantam Diajeng tepat di hatinya.
Ia ingin menjawab ‘iya’. Ingin berteriak bahwa ia menyesal.
Tapi tenggorokannya terasa tercekat.
Dan dalam keheningan itu, Bhaskara semakin mempererat genggamannya. Seolah tidak rela jika Diajeng benar-benar mengatakan hal yang ia takutkan.
Bhaskara menghela napas, mencoba mengendalikan emosinya. Ia tahu Diajeng sedang marah, dan kali ini bukan sekadar marah biasa.
"Kamu ingat, kan? Besok ada rapat dengan investor sebelum lusa kita berangkat ke Jakarta," ujar Diajeng akhirnya, nada suaranya datar, nyaris tanpa emosi.
Bhaskara menatapnya, melepaskan pelukannya. "Aku tahu."
Diajeng mendengus kecil. "Bagus kalau tahu. Pastikan jadwalmu nggak berubah mendadak, supaya aku nggak perlu susah payah menyesuaikan semuanya lagi."
Nada profesional yang digunakannya membuat rahang Bhaskara mengeras. Ini bukan sekadar marah. Diajeng sedang menarik garis di antara mereka.
Diajeng yang masih berdiri di dekat lemari hanya mengangguk tanpa menoleh. Tangannya sibuk mencari pakaian lain untuk dipakai, berusaha mengabaikan pria yang baru saja berbagi malam dengannya.
"Kita berangkat bareng," lanjut Bhaskara.
Diajeng terkekeh, lalu menoleh dengan tatapan dingin. "Sejak kapan kita melakukan sesuatu bersama, Bhaskara?"
Pria itu menegang, tapi tetap diam.
Diajeng menyilangkan tangan di d**a, menatap suaminya dengan ekspresi tak terbaca. "Gue ingat jelas, kita nikah cuma karena status. Lo yang mau pewaris, bukan gue. Lo yang nggak mau semua orang tahu tentang hubungan kita."
Bhaskara merasakan sesuatu menghantam dadanya dengan kuat.
Diajeng benar.
Dari awal, Bhaskara yang mengatur segalanya. Pernikahan ini, rahasia di antara mereka, bahkan batasan yang ia buat sendiri. Tapi kenapa sekarang ia merasa terganggu dengan sikap Diajeng yang semakin menjauh?
Diajeng tersenyum miring, penuh kepahitan. "Jadi nggak usah tiba-tiba bertingkah seperti suami perhatian, Bhaskara. Kita tetap berangkat sendiri-sendiri, seperti biasanya."
Ia mengambil pakaian yang diinginkan, lalu berbalik menuju kamar mandi, meninggalkan Bhaskara yang masih berdiri di tempatnya dengan rahang mengeras.
Sial.
Kenapa kali ini terasa berbeda? Kenapa kata-kata Diajeng lebih menyakitkan dari biasanya?
Bhaskara mengumpat pelan sambil mengancingkan jasnya yang sudah disiapkan oleh istrinya dengan gerakan kasar. Kepalanya masih penuh dengan sisa ingatan semalam—tentang tubuh Diajeng di bawah kendalinya, bagaimana wanita itu meronta, menangis, lalu menyerah sepenuhnya kepadanya.
Ia meraup wajahnya sejenak, mencoba menepis bayangan itu, sebelum akhirnya melangkah keluar dari kamar. Saat tiba di ruang makan, matanya langsung mencari sosok Diajeng, tapi yang ia temukan hanyalah meja makan yang sudah rapi tanpa kehadiran istrinya.
"Nona sudah berangkat lebih dulu, Tuan," suara Bu Tari menyadarkannya. "Beliau juga berpesan agar Anda sarapan sebelum berangkat."
Bhaskara menoleh, rahangnya mengeras. "Dia pergi sendiri?"
Bu Tari mengangguk. "Seperti biasa. Nona membawa mobionya sendiri"
Bhaskara mengembuskan napas panjang. Diajeng.
Meski sikapnya dingin dan acuh, wanita itu tetap melakukan hal-hal kecil yang selama ini selalu ia lakukan. Tetap menyiapkan semua untuknya, seolah mereka pasangan normal yang hidup dalam pernikahan yang utuh.
Dan justru itu yang membuat Bhaskara semakin sesak. Karena ini bukan Diajeng yang akan jatuh kepadanya. Tapi dirinya yang semakin jatuh pada pesona wanita itu.
Bhaskara meraih cangkir kopi di meja, menyesapnya dengan perasaan yang semakin kacau. Aroma kopi hitam buatan Diajeng menguar, mengingatkannya pada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kebiasaan pagi mereka.
Mengingatkannya bahwa ia semakin kehilangan kendali.
Apalagi setelah semalam—setelah bagaimana ia menenggelamkan diri dalam tubuh istrinya. Menggenggamnya erat, mencium setiap inci kulitnya, menuntut lebih dan lebih.
Air mata Diajeng. Desahannya. Bibirnya yang bergetar, tubuhnya yang menyerah pasrah. Diajeng kaluna. Membuatnya gila. Bhaskara mengepalkan tangannya. Jika ada yang akan jatuh dalam pernikahan ini, itu adalah dirinya sendiri.
***
Diajeng menghela napas panjang, menatap pantulan dirinya di kaca mobil sebelum akhirnya membuka pintu dan melangkah keluar. Ia tahu, begitu ia tiba di kantor, pertanyaan dari sahabat-sahabatnya tidak akan terelakkan.
Dan benar saja.
Begitu ia baru saja menginjakkan kaki di lobi, Mita sudah berdiri dengan kedua tangan terlipat di d**a dan tatapan tajam yang nyaris bisa membunuh.
“Kita perlu ngobrol.” Tanpa menunggu jawaban, Mita langsung menyeret Diajeng ke coffee shop kantor.
Diajeng mendesah pasrah.
Di dalam, Niel dan Radit sudah lebih dulu duduk di salah satu sudut ruangan. Keduanya langsung menoleh begitu melihat Diajeng datang, dan yang mengejutkan, Radit menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Diajeng tahu ini akan sulit.
Mita mendorongnya untuk duduk di kursi kosong sebelum ia sendiri duduk dengan ekspresi serius. “Oke, sekarang lo jelasin. Apa hubungan lo sama Bhaskara?”
Diajeng menelan ludah.
“Jeng, kami nggak bodoh. Lo panggil dia ‘suami’ tadi malam,” Niel ikut bersuara, suaranya lebih tenang tapi tetap mengandung rasa penasaran yang dalam. “Lo kenapa nggak pernah cerita?”
Diajeng mengusap wajahnya, berusaha merangkai jawaban yang tepat tanpa membocorkan terlalu banyak. “Gue… dijodohin.”
Mita membelalak. “Apa?!”
Radit, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. “Lo dijodohin sama Bhaskara?”
Diajeng mengangguk pelan. “Iya.”
Tatapan Radit meredup. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Diajeng merasa tak nyaman.
“Kenapa lo nggak bilang?” kali ini suara Mita lebih lembut, bukan lagi penuh interogasi.
Diajeng tersenyum tipis. “Karena nggak ada yang perlu diceritain. Gue cuma menjalani pernikahan ini karena keluarga.”
Niel menatapnya penuh selidik. “Itu aja?”
Diajeng mengangguk lagi. “Itu aja.”
Tanpa menceritakan kesepakatannya dengan Bhaskara. Tanpa menceritakan bahwa pernikahan mereka sebenarnya bukan hanya karena keluarga, tapi karena Bhaskara menginginkan pewaris.
Ia memilih untuk menyimpan sebagian kebenaran itu untuk dirinya sendiri.
“Lo udah kenal lama?” tanya Radit dengan nada datar.
Diajeng mengangguk. “Dia sahabat gue dari kecil. Terus kita sempat pisah karena dia harus ke Australia. Ketemu lagi waktu cuti kemarin, dan akhirnya menikah.”
Mita dan Niel saling pandang, sementara Radit masih menatapnya tanpa ekspresi yang jelas.
“Lo nggak papa, Jeng?” tanya Niel, suaranya terdengar penuh perhatian.
Diajeng menatapnya dengan alis sedikit terangkat. “Emang kenapa sama gue?”
Niel tidak langsung menjawab, tapi Radit yang justru buka suara. “Lo bahagia, Jeng?”
Pertanyaan itu membuat Diajeng terdiam sesaat. Namun, sedetik kemudian, ia terkekeh ringan, lalu tersenyum seperti biasa. “Bahagia dong. Masak nggak.”
Jawaban itu terdengar begitu lancar, tapi entah kenapa tak satupun dari mereka yang merasa yakin.
Diajeng berdiri, meraih ponselnya lalu berkata, “Udah dulu ya, ada rapat. Ntar bos nyariin.”
Tanpa memberi mereka kesempatan bertanya lebih jauh, Diajeng melangkah pergi, meninggalkan tiga pasang mata yang masih menatap punggungnya dengan penuh tanda tanya.