Kinara membuka matanya ketika seseorang mengguncang bahunya perlahan. Ia segera duduk ketika melihat Samudra berdiri di samping ranjang.
“Sudah sore, bagaimana lukamu?” tanya Samudra pada Kinara yang masih tampak linglung karena baru bangun dari tidur siangnya.
Setelah terkena air panas, Kinara semalaman tak bisa tidur karena menahan perih kulitnya. Walau tak melepuh kulit perut dan tangannya tampak memerah sehingga seharian ini ia merasa lelah dan mengantuk.
“Mas–”
Melihat Kinara bergeming, Samudra segera duduk di sisinya dan menarik pakaian Kinara untuk melihat kulit yang kemarin terkena air panas di perutnya.
“Kata bu Irma, seharian ini kamu belum keluar kamar untuk makan. Ayo bangun, bersihkan tubuhmu, lalu ikut aku,” suruh Samudra sembari berdiri dan meninggalkan kamar Kinara.
Hari ini Samudra memutuskan untuk pulang lebih cepat ketika mengetahui meeting terakhirnya di reschedule ke waktu yang lain. Tiba-tiba saja ia teringat Kinara yang menangis sedih kemarin.
“Aku hanya sedih, semua yang kulakukan terasa salah.”
Ucapan Kinara diantara isakan tangisnya kemarin membuat Samudra berpikir mungkin ia terlalu bersikap keras pada gadis itu. Tak mudah untuk Kinara beradaptasi dengan dunia Samudra yang tertata rapi.
Setelah menunggu 15 menit, akhirnya Kinara keluar dari kamarnya mengenakan kaos longgar dan celana jeans dengan rambut yang tergulung dan wajah tanpa make up.
“Ayo pakai sepatumu, kita pergi.”
“Kemana?” tanya Kinara bingung.
“Potong rambut,” jawab Samudra pendek sambil berjalan mendahului Kinara menuju pintu depan.
Kinara melangkah perlahan di belakang tubuh Samudra ketika mereka sampai di salah satu Mall.
Samudra menoleh kebelakang ketika merasakan jarak antara dirinya dan Kinara cukup jauh.
“Salonnya tak jauh lagi,” ucap Samudra sambil berhenti melangkah menunggu Kinara.
“Mas, aku …”
“Aku yang bayarin. Kamu akan interview kerja bukan? Saranku, lebih baik rambutmu dipotong agar tampak lebih segar.”
Kinara diam dan menundukan pandangannya ketika Samudra berbincang dengan bagian kasir di salon yang mereka tuju.
Pria itu malah tampak sibuk mencarikan model rambut yang cocok untuk Kinara.
“Potong saja melebihi bahu seperti foto ini,” pinta Samudra pada hair stylist sambil memperlihatkan sebuah dari handphonenya.
“Kamu tunggu saja disini, aku pergi dulu,” ucap Samudra setengah berbisik pada Kinara.
Kinara menatap Samudra yang pergi keluar dari salon dengan pandangan cemas, berharap pria itu segera kembali. Ia hanya takut jika rambutnya selesai dipotong, dan Samudra belum kembali, uangnya tak cukup untuk membayar. Salon yang dipilih Samudra bukanlah salon murah.
Hampir satu jam kemudian Samudra kembali ke salon dengan membawa beberapa paper bag di tangannya. Tampaknya pria itu baru selesai berbelanja. Samudra sempat tertegun ketika melihat Kinara dengan potongan rambut barunya.
Wajah gadis itu kembali terlihat muda sesuai dengan usianya, dibandingkan beberapa jam yang lalu.
Ada senyum malu yang tersungging ketika Kinara melihat Samudra kembali. Ini adalah senyuman riang pertama Kinara yang Samudra lihat setelah beberapa hari bersama.
“Bagus! Wajahmu terlihat semakin cantik!” puji Samudra tulus tampak puas dengan hasil kerja hair stylist.
“Mas. Makasih ya,” ucap Kinara perlahan sambil menyentuh lengan Samudra ketika mereka berdua meninggalkan salon.
Samudra yang lengannya disentuh Kinara hanya menoleh singkat ke arah gadis itu, lalu mengangguk pelan tanpa berkata apa-apa. Untuk pertama kalinya, justru ia yang merasa canggung di bawah tatapan Kinara yang penuh rasa terima kasih.
“Apa ini, Mas?” Kinara menerima beberapa paper bag di tangan Samudra.
“Untuk interview,” jawab Sam singkat. “Penampilan penting. Kesan pertama menentukan.”
Ia berhenti sejenak,
“Aku belikan beberapa pakaian. Kita makan dulu. Setelah itu aku carikan sepatu yang cocok.”
Kinara menatap punggung Samudra yang melangkah mendahului dirinya. Ada binar bahagia yang terpancar dari gadis itu. Rasanya ia tak sabar untuk bercerita pada ibunya bahwa ternyata Samudra baik sekali padanya, pria itu tak sedingin seperti yang ia pikirkan selama ini.
***
“Kamu sudah siap? Ayo aku antar,” ucap Samudra pada Kinara yang tengah sarapan sebelum ia berangkat menuju tempat interview kerjanya.
“Diantar?” tanya Kinara tampak bingung tak percaya.
“Iya, kantor yang kamu ceritakan kemarin itu searah dengan kantorku. Lebih baik kita pergi bersama supaya kamu gak terlambat. Ingat ucapanku kemarin, kesan pertama itu penting. Jangan datang terlambat, menunjukan kamu siap untuk bekerja.”
Kinara mengangguk dan segera menghabiskan sarapannya, ia tak ingin Samudra menunggunya terlalu lama. Samudra hanya berdiri sambil memasukan tangannya ke dalam saku celana ketika melihat Kinara yang wara - wiri.
“Aku sudah siap mas!” lapor Kinara sambil berdiri dihadapan Samudra sedikit terengah - engah.
“Tunggu disini,” suruh Samudra sambil pergi.
Ia kembali membawa sesuatu. Tanpa bicara, Samudra meraih pergelangan tangan Kinara dan menyemprotkan parfum.
Kinara bergidik ketika Samudra mengibaskan rambutnya perlahan, lalu menyemprotkan aroma itu ke tengkuk dan lehernya. Dadanya mendadak terasa sesak antara gugup dan tidak nyaman.
“Pakai parfum ini,” ucap Samudra datar. “Aromanya unisex. Cologne yang biasa kamu pakai terlalu menyengat.”
Kinara hanya diam, menghirup aroma parfum yang baru saja disemprotkan Samudra. Wanginya lembut, seperti bedak halus.
Untuk pertama kalinya, Kinara merasa, apa pun yang dipilih Sam untuknya selalu terasa tepat. Termasuk penampilannya hari ini.
Sederhana. Tapi elegan. Dan entah kenapa, membuatnya merasa lebih percaya diri.
Tak lama Samudra dan Kinara pun sudah berada di jalanan kota Jakarta yang ramai.
“Saat interview nanti jangan lupa duduk yang tegak tapi santai, tegakkan kepalamu. Jangan memeluk tas seperti ini, dan simulasikan kira-kira apa yang akan mereka tanyakan padamu nanti,” ucap Samudra membuka pembicaraan ketika ia melirik Kinara disisinya duduk memeluk tas begitu erat.
“Iya,” jawab Kinara perlahan.
“Kalau nanti kamu ditanya kenapa mereka harus memilihmu sebagai Brand executive? Kamu akan jawab apa?”
“Hmm, karena saya mau belajar.”
“Ck! Itu jawaban aman. Tapi mereka gak butuh jawaban itu, mereka akan terus bertanya kenapa mereka membutuhkanmu?”
Kinara terdiam. Sam menatap Kinara dan mendekatkan wajahnya menunggu jawaban. Ditatap dalam seperti itu Kinara hanya mengerjapkan mata dan menundukan wajahnya. Pikirannya terasa kosong tak tahu harus menjawab apa. Biasanya ia tak seperti ini, tetapi baru ditanya satu pertanyaan saja ia sudah tak mampu menjawab.
“Aku harus jawab apa ya mas?” tanya Kinara dengan suara pelan.
“Bilang saja yang sesuai dengan keadaanmu. Kamu datang bukan hanya untuk bekerja tetapi juga untuk bertahan dan berkembang. Mereka tak perlu tahu hidupmu sulit, tapi mereka harus tahu kalau kamu layak.”
Lagi-lagi Kinara terdiam.
“Ayo siap-siap, sebentar lagi kamu sampai. Semangat Kinara,” ucap Samudra sambil mengelus punggung Kinara beberapa kali seolah mencoba menyemangati gadis itu. Kinara mengangguk perlahan dan tersenyum tipis pada Samudra penuh rasa terimakasih. Samudra segera menghentikan mobilnya di depan lobby perkantoran.
“Aku pamit ya mas, terimakasih atas sarannya. Assalamualaikum,” pamit Kinara sambil menyambar tangan Samudra untuk salim sebelum bergegas turun dari mobil meninggalkan Samudra yang terdiam, bengong menatap punggung gadis itu.