["Aaahhh!! Kau membuatku gila!!" desah Zelaza ketika pria itu menyentuh bagian tubuhnya yang paling sensitif dengan lidahnya yang lihai. "Aku benar-benar sudah gila telah melakukan ini berulang kali denganmu dan aku sama sekali tak pernah bosan!"
Donzello tersenyum penuh kemenangan dan semakin membuat Zelaza mendesah keras. "Kau tak akan pernah melupakan ini, Baby!"
"Hmmm ... you're the best partner, Honey!" Tubuh Zelaza semakin meliuk di bawah tubuh kekar Donzello.]
*
*
*
*
Beberapa hari yang lalu …
Zelaza Camorra baru saja kembali dari pemotretan untuk majalah mode ternama. Wajah cantiknya bahkan masih memakai riasan make up yang cukup tebal.
Tubuhnya yang lelah membuatnya ingin segera merebahkan diri di ranjang empuknya. Ia mengabaikan ponselnya yang sejak tadi terus bergetar.
Mungkin itu manajernya, Liliana, yang selalu punya seribu jadwal baru, atau mungkin Alehandro, kekasihnya, yang sedang syuting di luar kota.
Dengan gelas berisi air di tangannya, dia membuka laptop-nya sebentar sebelum naik ke ranjangnya.
Biasanya, dia akan membuka berita tentanh fashion atau email terbaru dari ayahnya.
Tapi hari ini, jarinya secara tak sengaja menyentuh ikon web hiburan terbesar yang beritanya membuatnya kaget bukan main.
[HOT NEWS! Video Syur Alehandro dan Kate Johson Tersebar! Perselingkuhan Mereka Akhirnya Terbongkar]
Headline berita itu terpampang besar, disertai gambar dari potongan video yang buram namun masih bisa dikenali. d**a Zelaza langsung berdegup sangat kencang.
Itu mustahil. Alehandro? Alehandro-nya? Aktor papan atas yang citranya bersih, pria yang selalu membawakannya bunga di setiap kencan, yang berjanji akan melindunginya selamanya.
Dengan jari yang kini sudah gemetar, dia mengklik berita itu. Videonya otomatis diputar, dengan sensor di bagian-bagian vital, tapi tidak cukup untuk menyembunyikan kenyataan pahit di dalamnya.
Adegannya bergoyang, direkam dengan sembunyi-sembunyi, mungkin dari ponsel yang diletakkan di suatu tempat.
Tapi suara erangan, desahan, dan kata-kata m***m itu jelas terdengar.
Sangat jelas. Dan wajah pria di video itu, meski sebagian tertutup bayangan, adalah wajah yang dia lihat setiap hari meskipun terkadang hanya melalui sambungan video call. Itu wajah Alehandro.
Dan wanita yang merangkulnya, dengan tubuh yang berhiaskan tato bunga di pundaknya adalah aktris pendatang baru yang sedang naik daun, lawan mainnya di film drama romantis terbaru yang sedang syuting. Sepertinya cinta lokasi. Dan itu sangat menyakitkan bagi Zelaza.
Gelas di tangan Zelaza jatuh, menghantam lantai lantai dan pecah berantakan seperti hatinya pada saat itu juga.
Air itu akhirnya membasahi lantai dan pecahan kaca berhamburan, tapi dia tidak peduli.
Matanya terpaku pada layar laptop, tidak bisa berkedip, menyaksikan pengkhianatan yang menyakitkan itu. Rasanya seperti ditampar, ditusuk, dan diinjak-injak secara bersamaan.
Dunianya yang tadinya begitu indah dan sempurna, tiba-tiba menjadi liar dan hancur berkeping-keping.
Air matanya tak keluar. Yang ada adalah kemarahan dari dalam dadanya yang sesak, membakar jiwanya.
Rasa mual tiba-tiba melanda perutnya. Ia membanting laptopnya, tapi gambaran tentang video itu sudah terpateri di ingatannya.
Ponselnya kembali berdering. Kali ini, dia melihatnya. Bukan hanya satu atau dua panggilan, tapi puluhan. Ratusan notifikasi dari media sosial membanjiri layarnya.
Semua media sosialnya penuh dengan tagar yang mengatasnamakan mereka berdua. #AlehandroKate, #ZelazaDiselingkuhi, #VideoSyurAlehandro.
Dengan napas yang tersengal, Zelaza membuka satu aplikasi media sosialnya. Kolom komentar di foto terbarunya, foto kebersamaannya dengan Alehandro seminggu yang lalu dengan caption manis
[Selamat ulang tahun, Sayang. Terima kasih sudah ada untukku] dipenuhi dengan cemoohan dan hinaan.
[Mungkin dia terlalu jual mahal! Pantas saja ditinggal!]
[Ada gosip mereka tak pernah berhubungan. Come on ... setahun berpacaran dengan boneka kayu? Pantas saja dia memilih Kate]
[Benarkah? Dia masih perawan? Aku sama sekali tak percaya!]
[Kate sangat hot. Pria manapun pasti tak tahan beradegan mesra bersamanya]
Setiap komentar seperti pisau yang mengoyak-ngoyak harga dirinya. Mereka bahkan menyalahkannya.
Mereka menyalahkan Zelaza karena tidak mau menyerahkan tubuhnya, karena ingin menjaga sesuatu yang berharga untuk malam pernikahannya nanti.
Mereka membenarkan kelakuan menjijikkan Alehandro, memaklumi kebutuhan biologis pria seolah-olah itu adalah hukum alam yang tak bisa terelakkan, yang membebaskannya dari segala tanggung jawab moral.
Padahal Alehandro yang pernah berkata, “Aku mencintaimu justru karena kau berbeda, Zela. Kau begitu istimewa dan suci, tak seperti yang lain.”
Rupanya, itu semua hanya kata-kata manis di siang hari, sebelum dia pergi dan bercinta dengan wanita lain di malam harinya.
Air matanya akhirnya mengalir. Bukan air mata sedih, tapi air mata marah, air mata frustasi.
Tangisannya pecah karena merasa hal yang menyakitkan di dadanya. Ia meremas bantal, berteriak sekencang-kencangnya ke dalam bantal itu, melampiaskan semua rasa sakit dan penghinaan yang dia rasakan.
Padahal dia sudah membayangkan pesta pernikahan yang indah dan megah dengan Alehandro tahun ini, di mana pernikahan itu digadang-gadang akan menjadi yang termegah di tahun ini.
Kenangan-kenangan indah mereka berdua berkelebat di pikirannya yang kalut. Pesta perdananya di Cannes, di mana Alehandro dengan bangga memperkenalkannya pada seluruh dunia.
Semuanya sekarang terasa seperti kebohongan besar yang dipentaskan dengan sangat sempurna.
Tiba-tiba, ponselnya berdering lagi. Foto ayahnya, Rudolfo Camorra, terpampang di layar. Dia kembali menghela napas panjang.
Bagaimana dia bisa menceritakan ini pada ayahnya? Ayahnya yang pada awalnya sangat tak setuju dengan hubungan mereka. Tapi Zelaza selalu berdalih bahwa Alehandro berbeda, tak seperti aktor lainnya yang kehidupannya sangat bebas.
Dengan tangan gemetar, dia mengusap air matanya lalu dia menerima telepon itu. “Halo, Dad,” suaranya serak, seperti tak sanggup berkata-kata.
“Zela?” suara ayahnya dalam, tapi kali ini diwarnai rasa geram. “Aku sudah lihat beritanya. Sudah bisa kutebak ending dari hubungan kalian. Itu akibatnya jika kau tak mendengarkan ucapanku. Di mana kau sekarang?”
“Aku …” Suara Zelaza menggantung.
“Diam saja di rumah. Jangan buka pintu untuk siapapun, jangan lihat berita apapun. Aku sudah mengirimkan beberapa orang untuk berjaga di luar pagar rumahmu. Mereka akan memastikan tidak ada wartawan yang mendekat.”
“Aku ingin pergi dari sini ...," isak Zelaza, merasa seperti gadis kecil yang terluka.
“Kau bodoh? Jangan pernah pergi dari tempatmu sekarang atau kau akan dianggap lemah!” ucap tegas sang ayah, dan Zelaza bisa membayangkan rahangnya yang mengeras. “Alehandro yang tidak layak untukmu.”
Ayahnya memang sangat keras dan disiplin, namun setidaknya pria itu masih melindunginya sampai saat ini meskipun hubungan mereka tak terlalu dekat sejak dulu.
“Orang-orangku yang akan menangani ini. Tapi ingat, kita keluarga Camorra. Aku tidak akan membiarkan siapapun merendahkan keluarga kita."
Setelah menutup telepon dengan ayahnya, Zelaza merasa sedikit lebih tenang, tapi hatinya masih hancur.
*
*
*