Irene menguap beberapa kali. Siklus bulanannya membuat dia bisa tidur sampai jam delapan pagi. Sangat pulas malahan. Begadang karena nonton drama Korea baginya adalah kegiatan yang mengasyikkan. Setidaknya, aktor Korea kesayangan memiliki wajah yang bisa membangkitkan semangat hidup, tak seperti Dosen Sok Tampan yang sayangnya adalah suaminya.
Irene melangkah gontai ke kamar mandi. Melakukan aktivitas pagi sejenak, buang air kecil, menggosok gigi dan mencuci wajah. Dia kemudian berdiri di depan cermin, mengamati wajahnya yang menyedihkan.
"Ah, lihatlah diriku!" keluhnya. Rambut acak-acakan wajah bantal dan lingkaran hitam di sekeliling mata. Jauh dari kata cantik. Baju kaus kebesaran yang pundaknya sudah robek, dipadukan dengan celana training hitam panjang. Bukan dia tak punya baju lain, tapi memakai baju lusuh yang sudah robek saat tidur amat menyenangkan.
Dia bukan orang yang mengutamakan gaya, asal nyaman, dia tak peduli penilaian orang lain, apalagi sama trend masa kini, Irene sama sekali tak peduli. Dia akrab dengan baju kaus serta celana jins karena dua benda itu amat praktis. Jangan tanyakan dress padanya, karena satu pun dia tak punya.
Irene mencepol rambutnya asal. Seiring dengan bunyi perutnya yang keroncongan. Semalam dia cuma makan mie instan. Pantas saja perutnya pagi ini terasa perih.
"Sial, aku lapar," keluhnya lagi. Tak ada aturan memasak di rumah ini, siapa yang lapar, silakan cari makanan sendiri. Pram sama sekali tak mengikatnya. Pria itu membiarkannya begitu saja, tanpa aturan khusus jika tinggal di rumah ini harus melakukan ini itu. Tak ada pembantu, apa lagi chef seperti di drama Korea. Mereka menikah, lalu pulang ke rumah Pram, dan berlaku seperti orang asing. Berbicara sesekali dan seperlunya, tak saling mencampuri dan tak tak saling peduli. Ya, itulah pernikahan mereka. Akan tetapi, mereka merasa sama sama nyaman.
Selesai dengan aktivitasnya, Irene masuk ke kamarnya kembali. Mungkin seporsi bubur ayam cukup untuknya pagi ini. Akan tetapi, saat melihat dompetnya, Irene tersenyum miris. Hanya tinggal uang sepuluh ribu. Apa yang didapatkan dengan uang sepuluh ribu? Setelah dibelikan ke bubur ayam, tak ada lagi duit yang bersisa.
"Minta uang ke Pak Pram, nggak, ya?"
Irene dilanda dilema. Dia tak pernah minta-minta uang. Jika Pram berniat memberi, dia akan terima. Irene ingat, baru sekali Pram memberi dia uang, itu pun sebulan yang lalu. Uang itu sudah dia gunakan untuk keperluan kuliah, memesan gofood dan belanja keperluan rumah seperlunya. Tiga juta, Pram waktu itu memberinya tiga juta.
Setelah mengoleskan bedak tipis dan menyisir rambut, Irene menuruni tangga. Sayangnya, aroma sedap yang singgah di hidungnya membuat dia memejamkan mata.
Benar saja. Saat dia melewati dapur untuk mengambil sendalnya. Pram tengah berkutat dengan wajan di depannya. Pemandangan langka. Mungkin karena ini hari Minggu. Pria itu memutuskan memasak sendiri.
Pram menoleh, karena terusik dengan langkah kaki gadis itu.
"Mau ke mana?"
"Mencari sarapan," sahut Irene. Jujur, air liurnya seakan menetes dengan aroma yang keluar dari wajan Pram. Entah pria itu memasak apa.
"Duduk saja di sana! Saya sudah lebihkan membuatnya untuk kamu."
Mata Irene melebar. Baik sekali, setidaknya uang sepuluh ribunya bertahan.
Dua menit setelah itu, Pram menghidangkan dua porsi nasi goreng. Lengkap dengan toping telur ceplok dan sosis. Cacing Irene berteriak kegirangan.
"Sudah boleh dimakan?" tanya Irene tanpa basa basi, basa basi dalam urusan perut bukanlah dirinya.
"Silakan! Maaf, mungkin rasanya tak seenak buatan restoran. Setidaknya layak dimakan." Pram mulai menyuap nasi goreng itu ke mulutnya.
Cukup enak, itu yang Irene rasa. Setidaknya lebih enak dari buatan tangannya sendiri.
"Tumben Bapak masih di rumah, biasanya hari Minggu tetap pergi-pergi."
Pram menatap Irene sekilas. Mungkin sadar, bahwa setelah sebulan menikah, baru kali ini mereka sarapan bersama.
"Saya lagi ingin di rumah. Kenapa?"
"Nggak kenapa-kenapa, cuma nanya."
"Kamu?"
"Maksud Bapak?" Irene bingung dengan pertanyaan Pram.
"Apa kamu tak punya kegiatan di hari Minggu? Jalan pagi misalnya."
"Tidak. Malas." Irene menjawab acuh. Tak terkesan malu.
"Oh ya, uang belanja sudah saya kirim ke rekening kamu, silakan diambil. Kamu bisa gunakan itu untuk keperluan rumah, atau untuk biaya kuliah dan jajan."
Irene takjub. Apa isi hatinya sampai ke kalbu pria itu. Padahal dia baru saja berniat meminjam uang pada Jelly jika uang sepuluh ribunya kandas. Walaupun uang pemberian Pram habis, dia masih gengsi untuk meminta kembali.
"Oh, terimakasih."
"Tak perlu terimakasih, itu sudah kewajiban saya, setiap saya terima gaji, saya akan langsung transfer ke rekening kamu. Sekali sebulan."
Irene mengangguk, rasanya kikuk sekali. Diberi uang oleh orang asing. Yang sayangnya adalah suaminya.
"Oh ya, Pak. Boleh saya minta pendapat?"
"Apa?"
"Saya ingin mengambil cuti kuliah untuk sementara. Bagaimana menurut Bapak?"
Ya, keputusan ini sudah lama dia pikirkan. Sungguh, dia berada dalam fase jenuh belajar. Dia ingin mencari kegiatan lain selain kuliah.
"Terserah kamu."
Irene tak menyangka Pram akan menyetujui segampang ini. Sebagai seorang dosen, seharusnya dia malah marah atau tak setuju. Ah ya, Irene ingat, pria itu tidak peduli padanya.
Setelah itu, Irene kehabisan topik. Dia yang terbiasa banyak kosa kata, menjadi aneh saat berdua dengan Pram yang membosankan. Bagaimana bisa kakaknya bertahan selama tujuh tahun dengan pria ini, entahlah.
"Oh ya, boleh tanya lagi?"
"Hmmm?" Pram menatap Irene sekilas, lalu kembali pada ponselnya.
"Kenapa Bapak mau menikah dengan saya? Saya tau pasti, Bapak sama sekali tak tertarik pada saya. Menikah dengan saya dan menerima saya yang begini, agak aneh."
"Yang begini, maksud kamu?"
"Ya, tak ada yang bisa diandalkan dari saya. Saya tidak cantik, tidak populer, lamban dalam mengerjakan pekerjaan rumah, yang paling miris, otak saya lemah."
"Ternyata kamu sadar."
"Tentu saja saya sadar diri." Irene agak emosi dengan jawaban datar itu.
"Kamu sendiri, kenapa mau menikah dengan saya?"
Pertanyaan yang sederhana, tapi mampu membuat Irene tertunduk.
"Hanya itu yang bisa saya lakukan untuk menyenangkan mama saya."
Irene menggigit bibirnya, sebagai anak yang selalu di nomor duakan dan belum bisa menyenangkan hati mamanya, di mata mamanya, dia selalu saja kurang. Tak Seperti Niken yang selalu dipuji karena kecerdasannya. Niken serba sempurna, hebat dalam segala hal. Tidak sepertinya. Irene pikir, jika dia menerima perjodohan itu bisa membuat mamanya menoleh padanya dan bahagia, tak apa baginya jika harus mengorbankan kebahagiaannya sendiri.
"Jadi semua karena mamamu?"
"Iyalah, Pak. Kalau bukan karena mama, saya mana mau sama Bapak. Bapak bukan tipe saya."
"Memangnya kamu tipe saya?" Pram tak mau kalah.
"Saya tau jawabannya tidak. Tipe Bapak itu seperti Kak Niken, kan?"
Pram terdiam. Wajahnya memerah. Ada luka di mata pria itu. Selama ini, dia tak lagi mendengar nama Niken disebutkan.
"Kak Niken cantik, baik, lembut, ramah, pintar memasak. Pokoknya tak ada cacatnya. Berbeda dengan saya, langit dan bumi."
Pram membisu. Tak tertarik menanggapi ucapan Irene.
"Jadi, kenapa Bapak mau dijodohkan dengan saya?"
Pram menatap tajam Irene. Tatapan tajam yang membuat Irene merasa terintimidasi. Ada kemarahan di sana, serta dendam.
"Karena kamu adalah adiknya Niken ...."