Jaya mendengar penjelasan Qai dengan seksama. Semua rancangan visi dan misi pria itu hampir mendekati sempurna. Ambisinya untuk membesarkan Angkasa, sekaligus meruntuhkan Glory sangat jelas terlihat nyata.
Tidak heran, karena jika berada di posisi Qai, Jaya pun akan melakukan hal yang sama pada keluarga Lingga. Menghancurkan mereka, yang telah menyakiti orang yang dicintainya hingga berkeping-keping.
Pada dasarnya, Jaya menyukai pribadi Qai yang selalu apa adanya. Pria itu terlihat dingin, tapi Jaya yakin sekali kalau hati Qai sangat lembut. Hal itu bisa tercermin, dari bagaimana Qai sangat mencintai mendiang ibunya.
Namun, Jaya masih belum yakin seratus persen jika harus menyerahkan putrinya pada Qai. Karena, masih ada yang mengganjal di hati Jaya saat ini. Untuk itulah, Jaya ingin menemukan jawaban tersebut terlebih dahulu, barulah ia bisa memutuskan semua hal tentang Thea ke depannya.
“Tapi, dalam waktu dekat, Glory akan bawa satu orang baru yang punya banyak pengalaman di media di luar negeri, Pak,” kata Qai setelah menyelesaikan presentasinya pada Jaya.
Qai menghela puas, karena satu beban pikiran di kepalanya bisa terlepas pagi ini. Qai pun yakin, kalau Jaya akan menerima semua hal yang baru saja dipresentasikan olehnya. Meskipun, selama Qai menjelaskan visi misi dan juga rancangan untuk diadaptasi oleh Angkasa, pria paruh baya itu hanya bersikap datar, diam dan mendengar.
“Orang luar?” tanya Jaya kembali memikirkan beberapa hal. Kalau seperti ini, sepertinya Jaya harus memiliki rencana lain.
Qai menggeleng. “Saya, masih abu-abu. Apa dia orang asing yang akan bekerja di Glory, atau, orang kita yang memang berkerja di sana dan dilobi sama Glory.”
Jaya mengangguk paham dan harus segera memutar otak jika benar-benar ingin menyaingi Glory. Tidak hanya menyaingi, sebenarnya, Jaya juga memiliki ambisi balas dendam yang sama terhadap Lingga.
“Menjabat sebagai apa?”
“CEO, menggantikan pak Anjas yang mau ditarik jadi salah satu staf kementerian pariwisata.”
Mendengar Qai membawa bocoran mengenai Glory, tiba-tiba terbersit sebuah ide di benak Jaya.
“Qai, saya setuju kamu bergabung dengan Angkasa, tapi dengan satu syarat.”
Tidak perlu menimbang ataupun mendengar syarat tersebut, Qai langsung menyetujuinya.
“Apapun syaratnya, saya sanggup.”
Satu alis Jaya tersentak tinggi. “Lain kali, jangan gegabah seperti ini, anak muda,” nasehat Jaya. “Diam, dengarkan, barulah berkomentar.”
Jaya benar!
Qai langsung menyadari kesalahannya dan segera meminta maaf pada Jaya. Dari sini, Qai akan belajar lagi untuk mengatur semua ego, sekaligus ambisinya yang menggebu-gebu. Tidak boleh salah mengambil keputusan, karena bisa saja mengalami kerugian.
“Baik, Pak. Saya mohon maaf.”
“Hm,” jawab Jaya dengan gumaman singkat. “Jangan dulu mengundurkan diri dari Glory. Tetap di sana, sambil menata Angkasa dari jauh. Untuk sementara, aku mau menunjuk orang luar untuk mengambil alih Angkasa selama kamu ada di Glory. Dan, orang itu, akan jadi tangan kananmu, Qai.”
“Tapi, Pak, kenapa bukan saya yang turun langsung untuk mengambil alih Angkasa?” Kalau seperti ini, Qai tidak memiliki ‘bumi’ untuk dipijak. Raganya ada di Glory, sementara hati dan pikirannya harus terfokus pada Angkasa.
“Kamu, harus lihat sendiri bagaimana cara orang luar itu memimpin Glory, Qai,” ujar Jaya mencoba menjelaskan rencananya. “Belajar dari dia, cari kelemahannya, dan gunakan rumor negatif yang ada di dalam manajemen untuk memecah Glory dari dalam. Carilah orang-orang berkualitas yang bisa dipercaya dan terutama yang ‘membelot’ dari Glory. Kalau kamu sudah lakukan itu semua, Kita tinggal menstabilkan kondisi Angkasa, dan BOOM, tarik semua orang kepercayaanmu tadi ke Angkasa. Dan di situlah, Glory akan benar-benar mengalami krisis.”
Qai, tidak pernah menduga kalau Jaya bisa memiliki rencana yang begitu luar biasa. Kenapa Qai bisa bilang luar biasa. Itu karena Jaya memikirkan semuanya dalam waktu yang sangat singkat.
Usia dan pengalaman, memang tidak akan membohongi cara berpikir seseorang.
“Paham, kamu, sampai di sini, Qai?” tanya Jaya untuk memastikan, sejauh mana Qai menangkap semua penjelasannya panjang lebar.
Qai mengangguk pasti dengan keyakinan penuh. “Saya paham, Pak.”
“Great. Kalau begitu, nanti siang kamu akan bertemu dengan orang yang akan jadi tangan kananmu.”
“Secepat itu, Pak?” Qai tidak menyangka kalau Jaya akan bergerak cepat.
“Ya, dan untuk apa ditunda-tunda,” balas Jaya. “Lebih cepat, lebih baik.”
“Siap, Pak,” jawab Qai langsung bernapas lega karena pada akhirnya, ia bisa bisa menjalankan semua rencana untuk menghancurkan keluarga Lingga. Menuntut penjelasan dan membersihkan nama ibunya.
“Kalau lebih cepat, lebih baik. Apa , itu berlaku juga dengan masalah Thea, Pak?”
Jaya langsung mendengkus keras saat mendengar pertanyaan Qai.
“Kamu ini, apa gak bisa sabar sebentar?” Jaya bertanya balik dengan menggelengkan kepalanya. Selain itu, Jaya juga berdecak kecil hingga berkali. “Kalau kamu menikah dengan Thea, semua rencana ini cuma bakal jadi debu. Sia-sia!”
“Bagaimana kalau kami menikah secara agama dulu, Pak,” tawar Qai yang benar-benar serius, ingin mempersunting Thea untuk menjadi istrinya sesegera mungkin. “Seenggaknya, Bapak bisa tenang kalau saya bawa Thea jalan sampai malam.”
“Jangan serakah, Qai,” ujar Jaya mengingatkan. “Selesaikan semuanya satu per satu.”
“Kalau begitu, saya mau menyelesaikan urusan Thea terlebih dahulu,” kata Qai tidak ingin mundur lagi. “Saya, ingin melamar anak Bapak, yaitu, Thea Sebastian, untuk menjadi satu-satunya pendamping hidup saya, hingga maut memisahkan.”
“Keluar,” usir Jaya tidak memedulikan sederet ucapan Qai barusan. “Dan tunggulah di meja makan, sebentar lagi sudah waktunya sarapan.”
“Tapi, saya butuh jawaban Bapak sekarang juga.” Pagi ini, Qai akan terus mendesak Jaya untuk menikahkannya dengan Thea.
“Jangan keras kepala, Qai,” elak Jaya. “Belum tentu Thea mau sama kamu.”
“Silakan Bapak tanya ke Thea lebih dulu,” bujuk Qai. “Niat saya itu baik, Pak. Yaitu menghalalkan hubungan kami berdua.” Qai memuntahkan setiap katanya dengan penuh keyakinan.
“Saya bisa maklum, kalau Bapak ragu karena status saya cuma karyawan biasa, yang gak punya apa-apa,” lanjut Qai ingin menumpahkan semua uneg-uneg yang ada di kepala. “Tapi, saya berani menjamin, kalau Thea gak akan kekurangan sesuatu apapun ketika dia menjadi istri saya nanti.”
Jaya kemudian menarik napas panjang dengan desisan. Kemudian menghembuskannya dengan perlahan, penuh rasa curiga.
"Apa yang sudah kalian lakukan berdua di Bali?" tanya Jaya dengan segumpal rasa penasaran di dalam dadà. "Kalian berdua sudah berbuat di luar batas? apa benar begitu?"
"Bukan begitu, Pak." Qai berupaya meyakinkan, kalau dirinya dan Thea tidak melakukan seperti yang sudah dipikirkan pria paruh baya itu. "Saya sama Thea gak sampai berbuat jauh ke sana."
Perbuatan paling jauh yang dilakukan Qai, hanyalah menyentuh tubuh Thea secara langsung. Itu pun, pakaian yang dikenakan keduanya masih melekat tanpa terlepas sama sekali.
"Tapi, justru karena itu, Pak. Saya berani melamar Thea," lanjut Qai. "Saya gak mau, kalau kami sampai khilaf sewaktu-waktu."
Setiap ada bersama Thea, Qai harus menahan sebuah hasrat menggebu, yang sebenarnya ingin ia lepaskan bersama wanita itu. Beruntung, Qai masih memiliki setitik nalar untuk tidak terjerat lebih dalam lagi ke dalam kubangan nikmat yang selalu melambai, meminta untuk dituntaskan.
Jaya berdecak dengan sifat keras kepala Qai. "Aku, harus memastikan dengan Thea lebih dulu. Siapa tahu cuma kamu yang kebelet untuk nikah, tapi putriku enggak sama sekali."
"Bagaimana kalau Thea juga ingin menikah dengan saya, Pak?" buru Qai yang harus mendapatkan jawaban Jaya saat ini juga.
"Yaaa, kalau begitu, kita bicarakan lagi nanti."