Bab 5. Lamaran

890 Words
Hana terpaksa menuruti keinginan Ririn. Dia sudah tidak bisa lagi menolak. Mulai hari itu, Hana dimasukkan ke beberapa kursus agar dia belajar menjadi istri Akbar nantinya. Hari itu juga, Hana dipaksa pindah ke kontrakan baru yang jauh lebih besar dan nyaman untuk Hana. Hidup Hana saat ini diatur oleh Ririn. “Ibu, kontrakan ini terlalu besar buat saya.” Hana menolak dengan halus. “Tidak, Hana, ini cukup buat kamu.” Kamar dengan ukuran tiga kali lipat dari kamar kos Hana sebelumnya dengan AC dan kamar mandi di dalam harusnya membuat Hana lebih nyaman tinggal di sana. “Saya tidak bisa membayar kontrakan ini, Bu.” “Kamu tenang aja, kontrakan ini sudah saya bayar. Kamu sekarang fokus untuk belajar menjadi istrinya Akbar saja. Dia kan direktur rumah sakit, kamu nanti akan menemani dia setiap ada pertemuan, Ibu mau kamu bisa membawa diri di setiap pertemuan itu nanti.” Hana menghela napas. Betapa beratnya menjadi istrinya Akbar menurutnya yang hanya seorang gadis biasa dan tidak terbiasa dengan kehidupan mewah. “Biaya hidup kamu juga sudah saya atur. Kamu sudah tidak perlu bekerja lagi, Hana.” “Tapi, Ibu ….” “Belajarlah dengan baik. Ibu yakin kamu pasti bisa.” Mengikuti banyak kursus yang berbeda setiap harinya membuat waktu Hana banyak tersita untuk mengikuti semua kursus itu. Sejak pagi hingga sore hari dia harus pindah ke beberapa tempat kursus yang berbeda. Mulai dari kursus kepribadian, table manner, dan manner lainnya. Kemudian, kursus menata bunga, make up, menyulam hingga memasak. Hana harus mempelajari semuanya. Pulang kursus biasanya Hana sudah merasa lelah dan tertidur di kontrakannya yang baru hingga pagi hari. Hana sering melewatkan makan malamnya. *** Dua minggu kemudian, Ririn mengajak Hana dan Akbar ke sebuah butik untuk membeli gaun pernikahan. Untuk acara akad, Ririn ingin Hana memakai kebaya. Kemudian, untuk acara resepsi dia memesan gaun ala princess untuk Hana. Dia ingin calon menantunya itu terlihat cantik, elegan dan mewah saat pernikahannya nanti. Akbar juga mencoba pakaian untuk akad dan jas untuk resepsi. Ririn mau semuanya terlihat sempurna. Tidak mau asal-asalan untuk pernikahan anaknya nanti. Semua dia atur dengan baik. “Bar, kamu aja yang antar Hana ke tempat kursusnya ya. Mama mau ada urusan di tempat lain.” “Ke tempat kursus yang mana, Ma?” “Table manner, di hotel yang biasanya.” “Oh. Ok, Ma. Aku antar Hana ke sana,” Selesai fitting hari itu, Akbar mengantar Hana ke tempat kursus sesuai keinginan sang mama. Di perjalanan menuju tempat kursus, Hana memilih untuk diam. Dia tidak tahu harus membahas apa dengan Akbar. “Han, kamu disuruh belajar apa saja sama mama saya?” tanya Akbar untuk memecah kesunyian di antara mereka. “Banyak, Mas. Macem-macem. Kayak table manner itu dan manner yang lain, masak, belajar make up sama skincare sama yang lain juga.” Hana menjelaskan kegiatannya pada Akbar. “Capek, Han?” “Oh, enggak kok, Mas.” Hana takut jika dia berkata jujur, Akbar akan mengadu pada Ririn. “Kalau kamu capek, bilang aja ke mama saya. Dia enggak setega itu kok maksa kamu harus ikut banyak kursus. Biar nanti mama kurangi kursus kamu itu, nanti kan bisa dilanjut di lain waktu.” Hana merasa Akbar seperti memberi perhatian padanya. Namun, dia coba mengabaikan itu dan tidak mau terlalu berharap pada Akbar dan pernikahan mereka nanti. “Enggak apa-apa kok, Mas. Saya masih bisa ikut kursus-kursus itu.” “Ya sudah, tapi kalau kamu capek, bilang aja.” Beberapa hari kemudian, karena merasa tertekan akhirnya, Hana sakit juga. Hari itu dia tidak datang ke tempat kursus, tetapi tidak mengatakan pada Ririn. Alhasil, Ririn datang ke kontrakan Hana bersama Akbar dan mendapati Hana sedang terbaring lemah di kasur. “Hana! Kamu sudah makan belum, Nak? Kamu sakit kok enggak bilang Ibu sih?” “Maaf, Bu, saya tidak mau Ibu tahu kalau saya sedang sakit, saya takut Ibu marah sama saya.” Bulir bening mengalir dari kedua mata Hana. “Tuh, kan, Ma, aku bilang apa. Jangan terlalu diforsir Hana ikut segala macam kursus, akhirnya dia sakit, kan?” Akbar mengingatkan sang mama. Ririn pun merasa bersalah pada Hana. “Maafkan Ibu ya, Hana. Mulai sekarang Ibu akan kurangi jam kursus kamu, sekarang kamu istirahat dulu sampai kamu baikan. Jangan sampai kamu sakit lagi pas acara pernikahan.” Akbar memberikan obat untuk Hana supaya dia segera membaik. Ririn juga mengawasi makanan Hana agar perempuan itu lekas membaik. Dia pun mengawasi agar Hana makan dan minum obat dengan baik. Tiga hari kemudian, kondisi Hana sudah membaik. Dia pun sudah bisa mengikuti kursus seperti biasa, hanya saja ada kursus yang dibatalkan. Dua minggu berlalu. Acara lamaran sudah disiapkan di sebuah hotel mewah dengan tamu undangan yang banyak. Tamu undangan merasa penasaran dengan calon istri dari seorang direktur rumah sakit bernama Akbar yang merupakan anak dari Adam Rahmat Bramantya, pemilik beberapa rumah sakit di kota Jakarta. Pada acara lamaran itu mereka terkejut melihat calon istri Akbar yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Narasi yang dibangun pada saat itu adalah, seorang gadis biasa berubah nasibnya setelah menjadi calon istri Akbar. Seperti Cinderella yang menikah dengan pangeran tampan. Narasi ini juga mengangkat nama besar Adam dan membuat tamu undangan merasa bangga padanya karena tidak membeda-bedakan cara pandang pada orang lain. Semua tamu tidak sabar menantikan pernikahan fenomenal antara seorang gadis yatim piatu dengan seorang pewaris bisnis rumah sakit keluarga Bramantya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD