Nirmala masuk ke kamarnya. Di kamar dia duduk di pinggir kasur yang empuk sekali. Masih terbayang dalam ingatannya pertengkaran dua orang yang masih asing dalam dunianya. Walaupun Dewa adalah suaminya, tetapi Mala masih kesulitan untuk menerima kehadiran Dewa dalam kehidupan pribadinya. Di tambah lagi kehadiran Anindita, Pacar Dewa yang secara tiba-tiba membuat Mala terkejut.
Dia tidak habis pikir, seorang Dewa tidak menceritakan tentang pernikahan mereka pada pacar yang dia cintai. Padahal mereka bisa saja menikah sebelum Mala menjadi istri Dewa. Tiba-tiba Mala tersadar, "Kenapa aku jadi memikirkan mereka berdua, ya?" ucap Mala, "mending aku beresin baju ke lemari," kata Mala kemudian sambil membuka tas pakaian dan mulai menyusun semua pakaiannya ke lemari.
Di saat Mala sedang memindahkan pakaian ke lemari, terdengar suara mesin mobil menjauhi rumah Dewa. Mala terdiam sejenak. Dia berpikir untuk keluar kamar dan melihat siapa yang pergi. Dewa dan Anin, atau salah satu di antara mereka? Pikir Mala. Namun, Mala memberanikan diri membuka pintu. Dia berjalan keluar kamar setelah beberapa kali menoleh ke kanan dan kiri.
'Tidak ada orang,' ucap Mala dalam hati.
Mala berjalan ke belakang rumah. Dia mencari keberadaan asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Dewa. Mala terus berjalan sambil mencari. Akhirnya dia menemukan orang yang dia cari.
"Bi, Bapak pergi?" tanya Mala tanpa babibu.
"Iya, Neng. Katanya mau mengantar Neng Anin pulang ke rumahnya. Bapak juga titip pesan buat Neng, eh, Ibu, katanya jangan tunggu Bapak pulang."
"Oh, ya. Makasih, ya, Bi."
Mala kembali ke kamarnya. Dia berniat untuk belajar untuk kuliah besok sekaligus mengerjakan tugas kuliahnya. Sementara ini hanya belajar yang bisa dia lakukan selama tinggal di rumah Dewa. Dia pasti akan sangat merindukan ayahnya. Saat jam pulang kuliah, Mala terbiasa menghabiskan waktu dengan ayahnya dengan mengobrol bersama. Mala sering mendengarkan cerita-cerita dari ayahnya, tentang masa kecil Mala atau kemesraan kedua orang tuanya.
Hal kecil seperti ini membuat Mala merasa kasih sayang dan kehangatan dari ayahnya. Kini dia sudah tidak memiliki kehangatan bersama keluarga. Walaupun memiliki suami, karena suaminya bukan orang yang Mala cintai.
***
Mala sudah berada di kelas pagi ini. Dia memperhatikan dosen yang mengajar. Tiba-tiba ponsel Mala bergetar. Mala mengecek ponsel sebentar, dia lihat sebuah panggilan dari nomor yang tidak dia kenali. Mala memilih untuk mengabaikan panggilan tersebut dan lanjut memperhatikan penjelasan dosen di depan kelas. Ternyata beberapa kali panggilan itu masuk ke ponsel Mala, dan berkali-kali juga Mala abaikan.
Selesai perkuliahan, Mala merapikan tas lalu dia keluar melalui pintu. Tiba-tiba lengannya ditarik oleh seseorang. Saat Mala ingin berteriak, mulutnya sudah dibekap oleh seorang pria. Setelah melihat wajah pria itu dengan jelas, Mala terkejut dan melotot ke arah pria itu. Mala ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak bisa, hingga pria itu melepaskan lengannya dari mulut Mala.
"Mas Dewa?" ucap Mala pelan. "Ada apa ke sini? Hampir copot jantung aku gara-gara, Mas," tambahnya lagi.
"Kamu pasti kaget karena baru saja melihat ketampanan aku kan? Udah ngaku aja, aku kan memang tampan," ucap Dewa percaya diri.
"Mau muntah aku dengernya, Mas. Oh, iya, pacarnya Mas ada di mana? Kok nggak bareng dia aja. Nggak perlu sampai nyariin aku ke kelas kan?"
"Udah nggak usah bahas dia. Sekarang kamu ikut aku ke suatu tempat."
"Nggak mau, nanti aku diculik."
"Apa? Aku menculik kamu? Ngapain? Nggak ada kerjaan banget, kan kamu sudah tinggal di rumah aku, emang kamu kira aku cowok murahan?"
"Stttt, Mas jangan keras-keras, nanti semua orang denger. Ya sudah kita pergi dulu aja, aku ikut Mas mau ngajak ke mana. Nanti kita obrolin lagi."
Dewa mengarahkan langkah Mala ke tempat tujuan di mana dia ingin mengajak Mala pergi. Mereka berjalan meninggalkan ruangan-ruangan kelas, menuruni tangga hingga akhirnya tiba di sebuah kafe di dekat lingkungan kampus.
"Kok kita ke kafe, Mas?"
"Aku belum sarapan, kamu mau sarapan sekalian? Tadi kata Bibi di rumah kamu berangkat pagi banget, jadi nggak sempet sarapan di rumah."
"Iya sih. Tapi ada apa nih Mas sampai ngajak sarapan segala? Aku nggak akan minta macem-macem ke Mas kok. Mas mau biayain aku kuliah sampai selesai, terus aku akan cari kerjaan, jadi aku nggak akan merepotkan lagi."
"Kamu tuh udah jadi tanggungan aku. Udah ah, pesan dulu makanannya."
"Mbak, saya mau pesan makanan," ucap Dewa memanggil pelayan kafe.
Mba pelayan kafe menghampiri meja mereka dan siap mencatat pesanan Dewa.
"Saya pesan salad sama kopi hangat. Mala mau makan apa?"
"Nasi uduk ada nggak, Mbak?" tanya Mala.
"Nadi uduk ada, Kak, minumnya pesan apa?"
"Es teh manis aja, Mbak."
"Baik, pesanannya sudah saya catat, mohon ditunggu sebentar, ya," ucap pelayan kafe sebelum meninggal meja Dewa dan Mala.
"Suka nasi uduk toh?" tanya Dewa penasaran.
"Iya, selera saya memang kampungan, beda dengan Mas yang seleranya high class, dunia kita aja berbeda, Mas, susah untuk disatukan. Saya orang miskin, Mas orang kaya."
"Aku males debat sama kamu buat urusan kaya gini. Bikin males. Masih pagi jangan ngajak ribut, ya!"
"Yang ngajak saya ke sini kan, Mas. Tapi maaf, ya, saya juga nggak minat buat ribut sama Mas. Mending saya baca diktat kuliah, daripada harus ribut hanya karena persoalan yang sepele," Ucap Mala membela diri.
"Urusan kita belum selesai, urusan kuliah kamu belum sempat saya bahas. Jadi masih akan ada pembicaraan panjang lebar antara kita, kamu jangan cari-cari alasan untuk tidak mau membahasnya dengan saya."
"Iya, ya. Saya nggak akan pergi. Saya akan ikut apapun yang Mas katakan. Mau ngomong panjang lebar juga boleh. Tapi urusan kita sementara ini ya soal kuliah saya aja, sih."
"Iya, sementara ini memang soal kuliah kamu, tapi selanjutnya semua bisa dibicarakan kan? Termasuk soal pernikahan kita. Kita ini suami istri."
"Kok agak merinding aku dengernya, ya, Mas. Memang sih kita sudah nikah, tapi, bisa nggak kalau kita buat pernikahan ini cuma sekedar perjanjian aja? Perjanjiannya Mas biayai saya kuliah, setelah saya selesai kuliah, saya boleh kerja dan keluar dari rumah Mas Dewa."
"Oh, tidak bisa begitu, karena saya menikah dengan kamu juga banyak yang saya pertaruhkan, jadi kamu nggak bisa lari dari saya."
"Kalau aku nggak bersedia gimana?"
"Kalau kamu nggak bersedia, kamu harus tanggung semua akibatnya."
Pesanan mereka datang. Wajah Mala berubah pucat. Dewa menikmati sarapan dengan lahap sedangkan Mala kehilangan selera makannya.