Ch15-Kamu kah?

2119 Words
“Ini sudah malam, kenapa kamu tidak segera pulang?” Tanya Galih pada Ananta. Wanita itu sedang berjalan menuju ke arahnya. Galih sedang duduk di pos penjaga, pria itu meluruskan kedua kakinya di atas meja seraya bersandar pada sandaran kursi. “Aku akan segera pulang, tapi apa kamu tahu bagaimana cara membuat ponselmu untuk tetap menyala?” Tanyanya sambil berdiri di luar dinding pos. “Benda itu sangat merepotkan! Selain itu, hanya kamu yang menelpon ku. Dan pertanyaan yang kamu ajukan melalui telepon tidak terdengar penting sama sekali. Kamu bawa saja kembali ke rumah.” Ucap Galih dengan nada malas. “Kau! Kau ini!” Ananta mengepalkan tangannya, wanita itu bergegas pergi meninggalkannya. Galih menutupi kepalanya menggunakan tudung jaketnya. Pekerjaannya tidak begitu sulit sejak para mahluk halus di pabrik sudah angkat kaki beberapa hari lalu dari lokasi tersebut. Cuaca malam ini sangat dingin sekali. Sudah beberapa hari ini tidak ada kejadian yang melibatkan Nyai Ratih, begitu juga di kota setempat. Pria itu tetap duduk di sana, Galih tertidur hingga larut malam. Galih terjaga, pria itu melihat sekitar suasana tetap hening. Dia berjalan menuju gerbang untuk menguncinya lalu masuk kembali ke kamar. Di sisi lain, Arya, Meila, dan Regar sudah terlelap dalam tidurnya. Suasana kediaman mereka di desa begitu hening. Ki Sarwo sedang duduk di kediamannya, pria itu sedang bermeditasi. Beberapa menit kemudian dia sudah terhubung dengan Galih Arteja. Pria itu juga sedang bermeditasi. “Nyai Ratih memiliki seorang murid, dia ada di sekitarmu.” Ujar Ki Sarwo padanya. Ki Sarwo hanya menyampaikan hal itu padanya, setelah itu suasana hening kembali. Galih bertanya-tanya dalam hatinya. Siapa murid yang dimaksud oleh Nyai Ratih. Ki Sarwo sudah menunjukkan hal itu padanya yang artinya saat ini Galih ditugaskan untuk mencari keberadaan murid Nyai Ratih tersebut. Keesokan harinya, Galih baru selesai mandi. Pria itu melihat baju seragamnya tergantung di luar pintu kamarnya. “Nyai Ratih ke sini? Pagi-pagi begini?” Tanyanya pada dirinya sendiri, karena biasanya Nyai Ratih tidak akan muncul tiba-tiba di depan umum, apa lagi hari sudah terang. Galih mengambil baju tersebut lalu membawanya masuk ke dalam kamar. Pria itu memeriksa baju itu dengan teliti. Dia cemas kalau sampai Nyai Ratih meninggalkan sesuatu di sana. Ternyata pria itu tidak menemukan apa pun di sana. Andi baru datang ke pabrik, beberapa menit yang lalu pria itu melihat sekelebat bayangan Ananta melintas masuk ke dalam pabrik lewat pintu belakang. Tak lama setelah itu dia melihat Galih sedang berjalan menuju ke gerbang, Galih terlihat hendak keluar dari dalam pabrik. Andi sengaja diam saja dan tidak menegurnya sama sekali. Pria itu hanya melihatnya berlalu dari depan pos tempatnya berjaga. Galih berjalan di jalan raya, pria itu masih berpikir keras tentang ucapan Ki Sarwo semalam. “Bagaimana caranya agar aku bisa menemukannya? Aku melihat samar saja kalau dia adalah seorang wanita, tapi aku tidak tahu siapa itu.” Serunya pada dirinya sambil terus berjalan. Mentari semakin siang semakin meninggi, cuaca terik sekali. Galih masih terus berjalan di daerah sekitar pabrik. Galih terus mencari namun tidak menemukan apa pun sama sekali. “Guru bilang, orang itu ada di sekitarku.” Bergumam pada dirinya sendiri, gedung pabrik sudah terlihat tak jauh dari tempatnya berdiri. Galih berdiri diam di tepi jalan, pria itu menutupi keningnya menggunakan telapak tangan kananya untuk mengusir silau cahaya mentari siang itu dari kedua matanya lalu kembali melanjutkan langkah kakinya menuju ke pabrik. “Gal!” Panggil Andi saat melihat dirinya melintas di depan pos. Melihat wajah Andi begitu serius, sepertinya ada hal penting yang ingin dibicarakan Andi padanya. “Aku mau masuk ke dalam, mau tidur.” Sahutnya seraya melambaikan tangan kanannya. Galih tetap berjalan menuju ke kamar. “Ya sudah.” Gumam Andi dengan suara pelan, dia batal mengatakan apa yang ada di dalam benaknya pada Galih. Sampai di dalam kamar, Galih menatap langit-langit kamarnya. Pria itu masih memikirkan hal yang sama hingga waktu bergulir menjadi senja. “Belakangan ini pabrik sudah aman, bagaimana jika aku tinggal pergi malam ini untuk mencari?” Galih bertanya-tanya dalam hatinya. Para pencuri setahu dia malah takut mendekati pabrik angker tempatnya bekerja. Jadi selama dia berjaga di sana sejak beberapa minggu lalu, yang sering mendatanginya adalah mahluk astral bukan pencuri atau perampok. Galih terus memikirkannya. Pria itu tidak memiliki solusi sama sekali. Jika dia berkeras keluar maka sama artinya dia lari dari tanggung jawab untuk menjaga pabrik tersebut. “Haruskah aku melepas jiwa lagi untuk pergi keluar?” Galih bertanya-tanya lagi. “Di sekitarku, artinya tidak jauh. Di pabrik? Kalau benar di pabrik, mungkinkah seorang pria?” Tetap saja dia tidak menemukan titik terang. Galih memutuskan malam itu tetap berjaga di dekat pintu gerbang seperti hari biasa. Apa yang dia cari tidak dia temukan. Telepon dari Ananta juga dia abaikan sejak pagi ini. Dia merasa malas sekali untuk memeriksa ponselnya. Galih menengadah menatap langit di kejauhan dari kursinya. Tanpa sengaja dia melihat ada bola api terbang dari hutan menuju ke desa. Galih yang sedang bersantai mendadak terhenyak dari kursinya. Pria itu segera keluar dari dalam pos penjaga untuk melihat ke mana benda tersebut jatuh. Galih berdiri di pelataran samping gedung, pria itu menyatukan kedua tangannya. Dalam satu detik jiwanya terlepas lalu berlari keluar menuju ke lokasi dimana dia melihat bola api tersebut turun. Dalam sekejap jiwanya berhasil menuju ke sana. Galih mengedarkan pandangannya ke sekitar, pria itu melihat sebuah rumah ramai sekali dikerubungi masa. Galih ikut membaur dengan orang-orang di sana. Pria itu hendak melihatnya lebih dekat, ternyata penghuni rumah tersebut ditemukan sudah dalam keadaan meninggal dunia. Tubuh orang tersebut melepuh seperti terkena luka bakar. Galih segera mundur beberapa langkah lalu keluar dari dalam rumah, pria itu melihat ke sekitar jika saja ada jejak yang ditinggalkan. Sudah jelas bola api tadi merupakan kiriman dari seseorang. Melihat dedaunan pohon bergerak tanpa ada angin yang berhembus, pria itu segera melompat menerjang ke atas. “Akhh! Bruukkk!” Sosok mahluk astral terhempas jatuh ke tanah dari atas dahan. Galih melihat wujud sosok tersebut, memiliki wajah seperti wanita namun tidak ada rambut sama sekali di kepalanya. Tubuh mahluk tersebut hanya setinggi lututnya. “Kenapa kamu menyerang ku! Aku hanya melaksanakan perintah!” Seru mahluk tersebut sebelum menghilang dari depan matanya. “Galih?” Seseorang mengejutkan Galih dengan menyentuh bahu kanannya dari belakang punggungnya. Galih Arteja segera menoleh, dia melihat Ananta dengan piyama tidurnya berdiri di sana. Sejenak Galih kembali menoleh ke arah dimana mahluk tadi menghilang. “Galih? Kamu ngapain di sini? Harusnya kamu di pabrik kan?” Seru Ananta padanya. Wanita itu melipat kedua tangannya sudah bersiap untuk memarahinya. “Kamu mau aku pecat?” Ancamnya pada Galih. “Kapan?” Tanya pria itu tanpa rasa takut sama sekali. Seolah hal itu tidak berpengaruh dengan jalan hidupnya sama sekali. Galih sudah memutar tubuhnya untuk bersiap pergi dari desa tersebut. “Galih! Kamu serius mau pergi? Gal! Galih?!” Ananta berlari mengejar, gadis itu menggenggam sesuatu pada genggaman tangan kanannya. Ananta melihat punggung Galih semakin menjauh dari pandangan matanya. Ananta membuka telapak tangan kanannya lalu meniupnya. Serpihan kecil dari dalam genggaman tangannya membumbung tinggi terbawa angin mengejar sosok Galih Arteja. Panggilan Ananta tidak dia hiraukan, Galih tetap berlari menjauh dari wanita itu. Pria itu merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan keadaan di sekelilingnya. Ada sesuatu yang mengejarnya. Galih yang sesungguhnya, masih ada di dalam pos pabrik. Pria itu segera menarik jiwanya kembali sebelum penyamarannya diketahui oleh Ananta. Jiwanya mendadak lenyap dan serpihan kecil kiriman dari Ananta terhempas, lalu jatuh ke tanah. Gagal mengenai jiwanya. Di sisi lain, Nyai Ratih merasakan kalau Ananta hari ini menggunakan kekuatannya. Wanita itu segera mendatanginya. Ananta baru saja hendak masuk ke dalam rumah namun tiba-tiba Nyai Ratih datang dan berdiri tepat di depannya. “Apa yang sedang kamu coba lakukan, pada Galih Arteja?!” Tanya wanita itu padanya. “Aku hanya merasa aneh dengan pria itu Guru. Dia tadi muncul di rumah salah satu penduduk desa sekitar sini, karena itu aku ingin membuatnya tidak bisa bicara. Aku cemas dia menjadi saksi kejadian hari ini.” Jelas Ananta pada Nyai Ratih. Serbuk tadi memang dia tujukan untuk menyerang tenggorokan dan merusak pita suara Galih Arteja melalui udara. “Aku sudah mengirim apa yang Guru perintahkan, tenung itu sudah aku kirim pada seseorang sesuai dengan permintaan Guru.” Lanjut Ananta sambil duduk bersimpuh di depan Nyai Ratih. Nyai Ratih yang memerintahkan Ananta untuk melakukan kejahatan tersebut berdasarkan permintaan dari orang yang datang ke rumah nenek-nenek itu. “Hem.” Nyai Ratih tidak menceritakan hubungan dirinya dengan kakek Galih, Ki Wangsa. Wanita itu memutar tubuhnya berdiri memunggungi Ananta. “Jangan serang Galih lagi.” “Tapi, bagaimana jika dia menjadi penghalang? Sepertinya dia bukan pemuda biasa, Guru.” Ananta merasa Galih memang bukan manusia biasa sejak mengenal pria itu melalui Nyai Ratih. “Kamu cukup dengarkan perintahku! Aku bilang jangan serang dia! Dia milikku!” Lanjut wanita itu pada Ananta. Ananta langsung memeluk kaki Nyai Ratih, Nyai Ratih terlihat masih murka akibat tindakannya barusan. Ananta takut sekali kalau sampai terkena hukuman. “Baik Guru, aku tidak akan mengulanginya lagi.” Ananta masih menundukkan wajahnya. Satu detik kemudian Nyai Ratih sudah berlalu dari hadapannya. “Sebenarnya apa hubungan Guru dengan Galih Arteja?” Ananta bertanya-tanya dalam hatinya. Di sisi lain, Galih sudah berada di dalam kamar. Pria itu kembali duduk untuk bermeditasi, dia masih berpikir keras tentang Ananta yang mendadak muncul di pekarangan. Lokasi yang dia datangi untuk mengejar mahluk astral tadi sangat rimbun dengan semak, belum lagi pepohonan besar tumbuh di sekelilingnya. Kedatangan Ananta yang tiba-tiba membuat pria itu berpikir semua kejadian selama ini ada campur tangan dari wanita itu. “Ananta? Mungkinkah dia?” Galih masih bertanya-tanya di dalam hatinya. Keesokan harinya, Ananta tidak lagi mendatanginya. Galih sudah menunggu jika nanti dia akan dipecat dari tempatnya bekerja. Ananta tetap bekerja di pabrik, tapi wanita itu tidak mencari dirinya seperti sebelum-sebelumnya. “Gal? Kamu kenapa duduk di sini?” Tanya Andi padanya, biasanya pagi-pagi begini Galih tidak akan keluar dari dalam kamarnya. Tapi hari ini dia melihat Galih sudah duduk di pos tempat Andi berjaga. “Menunggu surat pemecatan.” Sahutnya sambil terus menatap kendaraan karyawan yang sedang berlalu masuk menuju ke arah parkiran. “Kamu dipecat?” Andi sangat terkejut mendengar ucapan Galih. Andi meremas lengan Galih, dia masih tidak percaya dengan ucapan pria itu barusan. “Katanya.” Sahutnya singkat. “Siapa yang bilang?” Tanya Andi lebih lanjut. Selama ini tidak ada yang bisa bertahan di pabrik sebagai petugas jaga malam, kecuali Galih seorang. “Tuh.” Menunjuk ke mobil Ananta yang sedang melintas di depan pos tempat dua pria itu berjaga. “Astaga, dia menyebut Bu Ceo dengan ‘tuh’? Aku rasa otaknya sudah geser.” Gumam Andi sambil menekan bahu Galih, lalu menepuk punggung pria tersebut seraya menggelengkan kepala dengan wajah prihatin. “Eh, kamu punya ponsel kan? Aku melihat benda itu di kantong mu beberapa hari kemarin, berapa nomormu?” “Tidak kubawa.” “Kamu tinggalkan di kamar?” “Hem.” Galih melipat kedua tangannya. “Berapa nomornya?” Andi meringis seraya menyalakan ponselnya berharap Galih segera mengatakan berapa nomor ponselnya. “Tidak ada nomor di sana.” Sahutnya seraya menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, bersiap memejamkan kelopak matanya. “Wah, bagaimana bisa Bu Ceo mempekerjakan orang sepertimu?” “Entahlah.” “Fix, dia miring!” Seru Andi seraya menunjuk Galih menggunakan pentungan satpam. “Tidak mengerti cara menelepon, tidak tahu cara memakai ponsel, kaku, sulit diajak bicara, jarang tersenyum.” Andi mulai menghitung kekurangan Galih Arteja. Satu detik kemudian, ada seorang karyawan pabrik yang sedang berjalan menuju ke pintu utama gedung. “Sraak! Braakk!” Galih terhenyak dari kursinya. Pria itu berlari lalu melompat seraya menendang genting atap yang jatuh dari atas gedung. Jika dia tidak bergerak cepat kemungkinan besar seorang karyawan yang sedang berjalan di bawahnya sudah terluka. Andi hanya bisa melongo, dia tidak percaya dengan apa yang dia lihat barusan. “Dia atlit sepak bola?! Wah! Pantas saja diterima di sini. Ya, ya, ya, meskipun isi kepalanya mungkin sedikit geser ke samping.” Andi menggaruk kepalanya menatap Galih sudah berlalu kembali ke arah gudang belakang menuju ke kamar. Galih sejak awal mendengar semua yang diucapkan Andi Syarief, pria itu sengaja tidak menyahut. Setibanya di depan pintu kamarnya, dia melihat Ananta sudah berdiri di sana. Galih menghentikan langkahnya, berdiri agak jauh dari Ananta. “Aku ingin bicara denganmu.” Ucap wanita itu padanya. Galih menatap telapak tangan Ananta, dia menemukan kelopak mawar masih tertinggal di lengan wanita berparas cantik tersebut. Ananta mendahuluinya masuk ke dalam ruangan di sebelah kamar tidurnya. Wanita itu berdiri di sana memunggunginya. “Aku tidak jadi memecat mu.” Ucap Ananta seraya berkacak pinggang, tanpa memutar tubuhnya. Galih melangkah mendekatinya, pria itu mengambil kelopak bunga dari lengan Ananta lalu menunjukannya di depan wajah wanita itu seraya berkata, “Apa hubunganmu dengan Nyai Ratih?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD