Malam itu juga, Aslan dan Audri kembali ke kediaman Wirabuana. Mereka tidak masuk lewat rumah induk melainkan memutari sisi luar rumah dan langsung menghentikan mobil di depan paviliun nenek.
Aslan dan Audri buru-buru keluar dari mobil dan berlari kecil menuju paviliun itu. Kayla membukakan pintu dengan tergesa, mengarahkan mereka langsung ke kamar tidur nenek.
Nenek sudah menunggu di sana, duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong menerawang ke luar jendela. Ia segera menoleh ketika Aslan dan Audri masuk.
“Kemarilah, Nak.” Suaranya bergetar, namun senyum tipisnya terlihat tulus.
“Ada apa, Nek?” Aslan bertanya penasaran, nyaris tak sabar. Ia duduk di sebelah neneknya, menarik Audri untuk duduk di pangkuannya.
Audri mendelik tak percaya, bagaimana bisa Aslan tiba-tiba menariknya untuk duduk di pangkuannya begitu saja? Tapi tentu saja ia tak bisa lepas karena kini lengan kekar Aslan sudah melingkari pinggangnya.
Nenek tak terlalu memperhatikan posisi cucu dan cucu menantunya yang sedikit intim, karena fokusnya sedang beralih pada sesuatu yang lain.
Wanita sepuh itu menyodorkan selembar kertas pada Audri. “Datanglah ke alamat ini dan jangan beritahu siapapun.”
Tubuh Audri merinding seketika. Ia membaca sebaris alamat di atas kertas yang ditulis dengan tergesa. Ia tak mengenal alamat itu, tapi ia tahu lokasinya ada di pinggiran ibukota.
“Tapi… ini alamat siapa, Nek?” tanya Audri setelah terdiam selama beberapa detik.
“Kakekmu.” Gayatri, nenek Aslan itu menjawab pelan namun mantap.
Audri langsung mematung di tempat. Hari ini terlalu banyak kejutan yang menghampirinya, membuatnya kesulitan mempercayai keseluruhan informasi yang ia dapatkan.
“Nek, jawab yang bener. In alamat siapa?” Aslan yang bertanya, wajah sangarnya tampak berkerut bingung dan penasaran.
Gayatri mengalih tatapannya pada sang cucu dan barulah ia menyadari posisi Aslan yang sedang memangku Audri. Ia segera memukul pelan lengan cucunya. “Kenapa dipangku begitu?”
Aslan mendengus pelan. “Emang kenapa? Dia kan istriku. Jawab, Nek, memangnya betulan itu alamat kakeknya Audri? Nenek tahu dari mana?”
Senyum lebar menghiasi wajah Gayatri saat melihat cucunya semakin mengeratkan lengannya di pinggang Audri, ini pemandangan yang sangat jarang terjadi. Selain beberapa tahun silam tentunya.
“Nek!” tegur Aslan lagi.
Gayatri tertawa pelan. “Kamu selalu tidak sabaran, ya?”
“Nenek yang selalu menguji kesabaran,” balas Aslan acuh tak acuh.
Mendengar jawaban tak sopan Aslan itu, Audri menepuk pelan lengan suaminya yang melingkar di pinggangnya. “Dijaga kalau ngomong sama orang tua!”
“Memangnya kamu nggak penasaran dari mana nenek tahu dan yakin kalau alamat itu alamat kakek kamu? Bukannya Panca bilang kamu udah nggak punya keluarga yang tersisa makanya tinggal sama dia?”
Audri terdiam sejenak, membenarkan pertanyaan Aslan. Maka ia menatap Gayatri lekat dan bertanya pelan. “Jadi… gimana, Nek?”
Gayatri tersenyum lembut, mengusap surai legam Audri pelan. “Datanglah ke sana dan kalian akan tahu.”
***
Dari luar, rumah itu tampak sederhana, sama sekali tidak mencolok. Namun, begitu masuk ke dalam, Audri dan Aslan langsung disambut oleh dua orang pria berpakaian hitam dengan tubuh yang nyaris sebesar dan setinggi Aslan.
Audri menelan ludah, tanpa sadar ia menggenggam tangan Aslan lebih erat. Dan Aslan menyadari itu, ia pun meremas tangan Audri lembut sambil terus berjalan masuk ke dalam rumah.
Seorang pria berpakaian hitam itu segera mengarahkan mereka ke sebuah ruangan, tempat seorang pria sepuh dengan rambut nyaris memutih seluruhnya menunggu. Pria itu masih terlihat gagah di usianya yang nyaris menyentuh angka tujuh puluh tahun.
“Selamat datang, cucuku,” lirihnya dengan senyum tipis terkembang. Ia tak berdiri, duduk di kursi rodanya yang didorong oleh seorang pria yang juga berpakaian hitam.
Audri berdiri merapat ke tubuh Aslan, pria itu sigap merengkuh pinggang sang istri. Siapapun pria di hadapan mereka, situasi ini sangat asing dan mencurigakan. Membuat sifat protektif Aslan muncul begitu saja.
Pria itu tertawa pelan saat melihat gestur Audri dan Aslan yang terlihat waspada dengannya. “Jangan khawatir, kemarilah, Nak. Biarkan kakekmu ini memelukmu.” Suaranya terdengar hangat.
Audri menatap pria itu ragu-ragu. “Bagaimana bisa aku percaya kalau kamu kakekku?” tanyanya berani.
Pria itu kembali tertawa. “Haruskah kita melakukan tes DNA, Nak? Aku tidak masalah melakukannya.”
Audri mengerjap pelan. Itu masuk akal, tapi untuk apa? Memangnya kenapa kalau pria itu kakeknya?
“Kenapa… Kakek kenal dengan Nenek Gayatri?” Audri menyebut nama nenek Aslan.
Pria itu tertawa lagi. “Kami berteman dekat sejak dulu.” Ia terdiam sesaat. “Dan dia meneleponku beberapa saat lalu setelah melihat seorang gadis yang mirip dengan anakku. Jadi… sepertinya aku telah menemukan cucuku yang hilang, benar kan?”
Audri mengernyit. Ia butuh informasi lebih banyak lagi.
“Kemarilah, Nak. Biar kutunjukkan apa yang ingin kamu ketahui.”
Audri menoleh pada Aslan, seolah meminta pendapat sang suami apa yang harus ia lakukan. Aslan mengerti isyarat itu, ia mengangguk dan berbisik pelan. “Ingat, aku di sini untuk melindungimu, Audri.”
Satu kalimat pendek yang cukup untuk membuat keberanian Audri menggembung tiba-tiba. Satu remasan lembut dari tangan besar Aslan menambah keyakinan Audri bahwa ia tak sendiri lagi.
Aslan melepas tangan mungil itu dan membiarkan Audri melangkah maju mendekati pria yang duduk di kursi roda itu. Kedua tangan Aslan kembali ke dalam saku, namun kedua matanya menyorot tajam bagai seekor elang yang mengawasi mangsanya. Tak melepaskan tatapannya satu detik pun dari sosok Audri.
Wijaya, kakek berambut putih itu segera mengeluarkan sebuah kotak kayu antik dari dalam lemari di belakangnya dan meletakkannya di atas meja. Begitu kotak kayu itu terbuka, beberapa dokumen, foto-foto, dan amplop surat yang sudah menguning berada di dalamnya.
“Persiapkan hatimu, Nak,” ucapnya sambil bercanda. “Karena setelah fakta ini terbongkar, aku tidak akan berdiam diri lagi.”
Audri mengernyit bingung, tapi ia tak bertanya apa-apa dan menunggu kakek itu menjelaskan isi dari kotak kayu di hadapan mereka.
Setengah jam berlalu, Wijaya menjelaskan setiap dokumen yang ada di sana. Mulai dari akta pendirian perusahaan yang kini dipegang oleh Panca, sertifikat hak milik dari tanah dan bangunan yang kini ditinggali oleh Panca dan keluarganya, hingga salinan akta kelahiran Audri dengan nama orang tua Maura Kartika Mahardika dan Panca Prabu.
Ya, benar. Yang menyandang nama ‘Mahardika’ bukanlah Panca, melainkan Maura – ibunda Audri.
“Ini….” Audri tercekat sejenak. “Tunggu, tunggu. Ini… jadi….” Ia kesulitan menyusun kata-katanya sendiri saking terkejutnya.
Selama dua puluh tahun hidupnya, Audri percaya bahwa dirinya adalah anak tidak sah dari Panca yang meniduri ibunya hingga membuat Maura hamil. Ia selalu percaya bahwa dirinya memang tidak berhak atas nama ‘Mahardika’ di belakang namanya. Ia selalu percaya bahwa ibunya hanyalah wanita biasa yang hadir di tengah rumah tangga Panca dan istrinya. Tapi apa ini? Fakta apa ini?
“Jadi… sebenarnya?” Ia bertanya terbata.
Wijaya mengangguk. “Kamu adalah cucu kandung keluarga Mahardika.”
“Apa? Lalu… kak Rora?” Audri semakin bingung.
Wijaya tersenyum. “Aku butuh bantuanmu untuk itu, Nak.”