Bab 10. Kejutan Dari Nenek Aslan

1125 Words
“Ini belanjaan siapa?” tanya Audri saat melihat belanjaan di kursi penumpang belakang. “Oh, belanjaanku. Kenapa?” Arkan menoleh sekilas pada Audri saat menjawab pertanyaan itu. “Hah? Belanja apa? Kok kayak ada bahan kue gitu?” Arkan tertawa pelan. “Bukannya aku udah bilang kalau aku punya hobi baking juga? Dapur itu buktinya.” “Seriusan kamu hobi baking? Kirain itu bercanda doang,” ucap Audri dengan mata membulat lebar. “Iya. Dulu mama suka baking. Karena aku anak rumahan, jadi temenku cuma mama. Jadilah begitu, nemenin mama ngejalanin hobi-hobinya termasuk baking itu.” Arkan berbicara lugas dan santai. Sebelah tangannya memegang setir sedang sebelah lainnya bertumpu pada pintu mobil. Audri mengangguk-angguk, semakin mengerti perbedaan Arkan dan Aslan. “Terus ini rencana mau bikin kue apa?” “Mau bikin cake buat ulang tahun nenek.” “Eh? Serius?” Kedua mata Audri kembali membola. “Iya. Kenapa?” Arkan menoleh sekilas sebelum kemudian memutar kemudi mobil memasuki kompleks perumahan elit di pusat kota Jakarta, menyusuri jalanan yang sepi menuju rumah besar keluarga Wirabuana. Kedua mata Audri berbinar seketika. “Kapan mau bikin?” “Eh, ini baru mau nyoba sih. Soalnya aku juga belum pernah bikin birthday cake. Rencana sih mau nyoba malam ini, kenapa? Aku nggak punya waktu selain malam.” Audri buru-buru mengeluarkan ponselnya dari dalam tas, memeriksa kemungkinan ada pesan dari Aslan. Namun, nihil. Pria itu seolah hilang ditelan bumi. Audri mendengus pelan saat mengetahui sama sekali tak ada pesan atau telepon dari sang suami. Tapi ia buru-buru mengusir rasa kesal yang baru saja menghinggapi hatinya, ia memfokuskan diri pada ide mencoba membuat birthday cake bersama Arkan. “Aku boleh bantu nggak? Aku juga pengen banget coba bikin birthday cake.” “Hm?” Arkan menoleh sekilas sebelum menurunkan kecepatan mobil ketika memasuki pintu gerbang setinggi tiga meter yang mengantarkannya masuk ke area komplek kediaman keluarga Wirabuana. “Aku sih nggak apa-apa, tapi sekarang kan udah malam. Kamu nggak dicariin kak Aslan?” “Ck, nggak ada. Nggak dicariin. Nanti biar aku pulang naik taksi aja, nggak usah diantar.” “Jangan dong. Masa aku ngebiarin kakak iparku naik taksi sendiri?” Arkan tersenyum ramah. “Kalau kamu mau bantu, nggak apa-apa asal kak Aslan nggak marah sama kamu. Nanti pulangnya juga aku anter, kalau enggak dianter sopir. Pokoknya jangan pulang sendiri, oke?” Audri balas tersenyum, kemudian mengangguk. “Oke deh kalau kamu maksa,” katanya bercanda. Tawa renyah Arkan mengudara sebelum akhirnya ia menghentikan mobil di depan rumah. Berbeda dengan Aslan, Arkan selalu bersikap lemah lembut dan ramah. Termasuk saat ini, ia tak membiarkan Audri keluar dari mobil sendiri, ia membukakan pintu mobil sambil tersenyum. Audri tertegun sejenak, namun segera berhasil menguasai diri dan turun dari mobil. Mereka berjalan beriringan masuk ke dalam rumah dan langsung menuju dapur. Sama sekali tak menyadari bahwa ada mobil sport hitam yang sedang terparkir di depan garasi rumah. Mobil milik Aslan. *** Hampir dua jam sejak Audri dan Arkan masuk ke dapur dan mulai membuat kue ulang tahun, akhirnya mereka keluar dari sana dengan membawa piring berisi kue ulang tahun berukuran kecil. “Ini beneran nenek belum tidur jam segini?” tanya Audri sambil membawa piring itu ke bagian belakang rumah. Arkan tersenyum dan mengangguk. “Belum. Jadwal nenek tuh teratur, tidurnya jam sepuluh malem. Pas banget ini masih jam sembilan, kita harus cepet ke sana buat dapet komentar dari beliau,” ucapnya meyakinkan. Audri menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia merasa sedikit gugup karena akan bertemu dengan nenek mertuanya. Ia belum pernah bertemu dengan sesepuh keluarga Wirabuana itu. Jadi ia tidak punya gambaran sama sekali seperti apa ‘nenek’ ini. Taman belakang rumah itu terlihat terang-benderang dengan lampu taman yang tersebar di seluruh bagian. Audri dan Arkan berjalan bersebelahan di jalan setapak yang menghubungkan rumah induk dengan sebuah paviliun kecil yang terletak tak jauh dari rumah induk. Begitu tiba di depan pintu, Arkan segera mengetuk pintunya pelan. “Nenek, ini Arkan. Boleh masuk?” Tak butuh waktu lama, seorang wanita berusia pertengahan dua puluhan terlihat membukakan pintu. Ia tersenyum ramah dan mempersilakan Audri dan Arkan masuk. “Itu tadi siapa?” tanya Audri penasaran. “Itu Kayla, perawat pribadi nenek.” Audri mengangguk-angguk dan segera mengekor Arkan yang kini langsung menuju ruang tengah paviliun itu, tempat seorang wanita sepuh duduk bersandar di kursi santai. Arkan duduk berlutut di dekat kaki sang nenek, mengusap lengan wanita sepuh itu lembut sambil berucap pelan. “Nek, ini Arkan.” Wanita sepuh itu segera membuka mata, menunduk dan menatap cucunya lekat. “Arkan?” Suaranya lirih. “Iya. Arkan bikin kue ulang tahun, Nenek mau nyicip?” Nenek tersenyum lembut dan mengangguk. Ia segera beralih menatap Audri yang berdiri canggung. Namun wajah lembutnya segera berubah, sebuah kerutan di dahi memperlihatkan bahwa ia sedang memikirkan sesuatu. Dan Arkan menyadari itu. “Kenapa, Nek?” Hening sesaat. Arkan dan Audri menatap nenek lekat. Menunggu respons dari wanita sepuh itu. Hingga tiba-tiba, suara lirih dan gemetarnya memecah hening dengan sempurna. “Maura?” “Hah?” Audri merinding seketika saat nama ibunya keluar dari bibir wanita sepuh itu. Namun nama ‘Maura’ tidak hanya satu di dunia ini. Jadi ia cepat-cepat menghalau dugaan apapun yang tiba-tiba muncul di kepalanya. “Maura siapa, Nek?” Arkan bersuara lebih dulu. “Ini Audri, istrinya kak Aslan.” “Audri? Bukan Maura?” Audri segera meletakkan piring yang ia pegang ke atas meja. Ia harus mengonfirmasi sesuatu. Maka ia ikut berlutut di dekat kaki nenek, menatap lekat mata tuanya yang sayu. “Maksud Nenek, Maura… Kartika?” Senyum di bibir nenek sudah cukup menjadi jawaban bagi Audri. “Benar, Maura Kartika. Kamu bukan dia?” Audri menelan ludah susah payah sebelum akhirnya menggeleng. “Bu-bukan.” “Ah, begitu? Kamu mirip sekali dengannya.” Bulu kuduk Audri semakin merinding. Ia tahu, lebih dari tahu bahwa ia amat mirip dengan ibunya. Maka pastilah nenek mengenal sang ibu. “Nenek kenal dengan… Maura Kartika?” Audri bertanya dengan suara gemetar. Sementara Arkan hanya menatap interaksi dua wanita beda generasi itu dengan kerutan di dahi, bingung. “Tentu saja. Dia anak yang baik dan manis.” Nenek tertawa pelan. Tangan keriputnya terulur, menyentuh pipi Audri lembut. “Kamu kenal dengannya? Kamu mengingatkan Nenek dengan Maura ketika dia masih menjadi salah satu mahasiswi Nenek dulu.” Audri membeku di tempat. Setelah bertahun-tahun mencari informasi soal ibunya, mencari kenalan ibunya, tiba-tiba ia berhadapan dengan salah satu dosen ibunya dahulu. Mau tak mau, air mata Audri menggenang begitu saja. Bahagia, haru, dan rindu bercampur aduk menjadi satu. Namun, semua atmosfer emosional itu harus buyar begitu saja ketika Aslan tiba-tiba masuk ke dalam paviliun sambil menyerukan nama Audri. “Audri!” Pria itu berdiri di ambang pintu dengan tatapan berkilat tajam. “Pulang sekarang!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD