Hanya sekilas saja pria itu menatapku, kemudian melangkah ke sebuah ruangan dengan pintu kayu jati yang sangat megah. Aku tidak tahu itu ruang apa.
Bu Atun menarik pelan tanganku untuk menuju ke dapur. Aku memilih makan di kursi dapur, rasanya tak pantas aku makan di ruangan dengan perabotan mahal itu. Meja makannya saja terbuat dari kayu jati tebal dengan pelitur mengkilat.
Di atas meja masih ada makanan untuk sarapan tadi. Tampaknya tuan rumah sudah selesai makan.
"Tadi itu siapa, Bu?" tanyaku lirih pada Bu Atun setelah memastikan tidak ada orang di ruangan itu selain kami.
"Namanya Mas Andre tadi, Mbak. Putra sulungnya Tuan."
"Oh." Aku lebih mendekati Bu Atun lagi. "Apa dia yang menembak Mas Hendri?"
Bu Atun belum sempat menjawab, masuklah Bu Salwa. Aku kembali duduk setelah mengangguk sopan pada wanita yang rambutnya agak bergelombang terurai sebahu. Hari ini beliau hanya pakai gaun biasa bercorak bunga-bunga. Tapi penampilan sederhana itu tetap terlihat memesona. "Siapa yang datang, Bu Atun?" tanya Bu Salwa pada ART-nya.
"Mas Andre, Bu."
Aku melihat wajah wanita anggun ini mendadak khawatir. Kemudian dia tergesa-gesa menaiki tangga. Kenapa Bu Salwa pergi? Bukankah ada putra sulungnya datang. Aku sebenarnya sangat penasaran, tapi tidak berani bertanya. Aku hanya sementara saja bekerja di rumah ini. Sampai pria itu sembuh.
"Bu, waktu saya pertama kali ke sini malam kemarin. Saya nggak melihat Bu Salwa di rumah?" tanyaku.
"Iya, beliau masih di luar kota. Dan langsung pulang ketika di kabari kalau Mas Hendri terluka. Sorenya baru sampai saat Mbak Embun sudah pergi."
Pantesan ketika aku datang beliau tidak ada.
"Bu Atun, baju yang kemarin saya pakai belum sempat saya cuci. Nanti kalau sudah bersih akan saya kembalikan," ucapku sambil mencuci piring di kitchen sink.
"Nggak usah, Mbak. Nggak perlu di kembalikan," jawab Bu Atun sambil memotong sayuran.
"Nggak enak saya, Bu. Nanti dicari sama yang punya." Baju itu pasti berharga mahal.
"Nggak apa-apa, Mbak. Nggak akan ada yang nyariin. Baju-baju itu udah nggak di pakai."
Aku makin penasaran. "Memangnya itu baju milik siapa, Bu?"
"Milik Mbak Miranda. Keponakannya Tuan. Dia sekarang sedang menyelesaikan S2-nya di Australia."
Dari pintu belakang muncul seorang wanita setengah baya. Dia yang aku lihat kemarin pagi. Wanita itu tersenyum padaku, kemudian pergi ke sebuah kamar dan mengambil keranjang cucian. Dan aku pamitan naik kembali ke lantai dua.
Di kamarnya yang setengah terbuka, Hendri di temani oleh Mamanya. Mereka duduk berhadapan dan saling diam. Atau mungkin mereka telah selesai berbincang. Aku jadi serba salah, mau masuk atau tidak. Melihat kondisi pria itu yang sudah bisa duduk, mungkin lebih baik jika aku pulang saja. Nanti kembali lagi siang waktunya Hendri minum obat.
Kuketuk pintu pelan. "Masuk!" perintah Bu Salwa.
Aku menghampiri ibu dan anak. "Maaf, Bu. Saya izin pulang ya, nanti siang saya akan kembali kalau waktunya Mas Hendri minum obat," pamitku sopan.
"Kenapa harus pulang? Kamu bisa beristirahat di sini. Kamu kerja malam, kan?" tanya Bu Salwa.
Aku mengangguk. Mau menolak tak enak, mau tetap di sana juga sungkan. Apa yang harus aku lakukan. Toh perbannya sudah kuganti dan obatnya pagi ini juga sudah di minum. Aku ingin rebahan di rumah. Teringat juga cucian di ember yang belum kubereskan. "Maaf, Bu. Saya ada pekerjaan yang harus saya bereskan di kosan. Cucian saya menumpuk."
"Oh, begitu. Baiklah kamu boleh pulang, tapi nanti ke sini lagi ya. Kalau boleh tahu berapa nomor ponselmu?" Wanita itu mengambil ponselnya di saku baju dan siap mengetik.
Ini lagi, masa nomer telepon saja aku enggan untuk memberi. Akhirnya kusebutkan sederet angka yang kuhafal di luar kepala.
"Nama lengkapmu siapa?" tanya Bu Salwa lagi setelah mencatat nomerku.
"Embun Bening Cahyani."
"Bagus namamu," puji Bu Salwa sambil tersenyum. Namun tidak bisa menyembunyikan keresahan di raut wajahnya. Sang putra hanya diam sambil menghadap ke laptopnya di atas meja. Dia mengoperasikan benda itu dengan tangan kirinya. Akhirnya aku diizinkan pulang. Ketika aku sampai di tangga paling bawah, Bu Atun menghampiriku. "Biar di antar sama suami saya, Mbak."
"Nggak usah, Buk. Jalan kaki pun sampai juga," tolakku.
"Tadi Nyonya telepon saya untuk ngasih tahu Pak Wahab agar mengantarkan Mbak Embun."
Telepon, kenapa beliau tidak turun. Atau bisa saja berteriak dari ujung tangga. Padahal ada putranya juga di bawah.
Aku mengikuti Bu Atun melangkah keluar lewat pintu samping. Pintu yang langsung menghadap ke taman rumah. Ketika aku masih menunggu Pak Wahab yang sedang mencuci tangan, dari pintu depan keluar laki-laki bernama Andre tadi. Dia memandangku sambil melangkah ke arah mobilnya yang terparkir di depan. Seorang satpam yang berjaga mengangguk hormat padanya, kemudian membukakan pintu gerbang.
* * *
Usai mencuci dan menjemur pakaian. Aku merebahkan diri di ranjang. Saat begini baru kurasakan tubuh yang terasa letih. Aku menatap langit kamar dengan plafonnya yang baru di cat oleh ibu kos beberapa minggu yang lalu. Wanita pemilik kosan yang sangat baik padaku. Dulu Yani yang membantuku mencari kosan setelah putusan sidang cerai di pengadilan.
Ingat cerai membuatku ingat Mas Fariq. Sejak semalam pesannya belum aku buka. Ponsel di meja sebelah tempat tidur kuambil dan membuka aplikasi pesan.
[Embun, bisa kita bertemu?]
[30 hari lagi masih ada kesempatan untuk kita membicarakan hubungan ini.]
Tidak kuteruskan lagi membaca deretan pesan selanjutnya. Rujuk, itulah intinya yang dia inginkan. Kalau aku sanggup hidup di madu, tentu saja aku tidak akan mengajukan gugatan cerai. Jika aku bersedia rujuk, aku akan jadi istri keduanya. Aku tersenyum simpul.
Sepuluh tahun berakhir sia-sia. Aku terpaksa merelakan sebuah hubungan yang pernah kuperjuangkan. Sampai detik perpisahan kami, orang tua Mas Fariq sangat baik padaku? Tapi, benarkah mereka baik? Jika baik tentu menyetujui usulku untuk melakukan program bayi tabung. Mereka menentang keras metode In vitro fertilization (IVF).
Katanya program ini adalah program yang di ciptakan manusia, tentu banyak gagalnya. Sementara yang secara alami saja kami belum berhasil melakukannya. Berapa ratus juta yang akan melayang sia-sia, belum lagi segala resikonya. Pikiran mereka belum terbuka. Yang dipikirkan hanya kegagalannya saja.
Mas Fariq sendiri tidak begitu mempermasalahkan soal anak. Namun sikapnya yang demikian justru membuatku berada dalam tekanan. Karena orang tuanya tak lagi membujuk dia, tapi malah menuntutku untuk menerima Karina sebagai madu. Wanita yang dengan senang hati menerima lamaran mereka untuk putranya. Umurnya dua puluh enam tahun. Anak seorang pengusaha rekan bisnis dari mantan mertuaku.
Sekarang baru aku sadar, dengan sikap manisnya mereka memang sengaja ingin menyingkirkan aku dari hidup putranya.