Azkia mematung di depan rumahnya saat mendengar ucapan kedua orangatuanya. Fakta mengejutkan yang baru Azkia ketahui bahwa ibunya sejak dia bayi tidak pernah mengurusnya. Papanya lah yang selalu mengurusnya, bahkan sampai membawa ke kantor karena di rumah tidak ada yang menjaga. Saat itu papanya bilang kalau masih merintis karir dan tidak punya apa-apa. Air mata menetes di pelupuk mata Azkia, ia tidak tau harus bereaksi apa dengan fakta ini. Selama ini papanya mendidiknya keras agar kuat di kemudian hari. Meski cara papanya salah, Azkia tetap salut pada papanya yang tidak menelantarkannya. Papanya lebih memilih mengurusnya padahal saat itu bisa saja dia dibuang kapan saja.
Fakta mengejutkan lagi yang baru Azkia dengar bahwa papanya menghawatirkannya yang sudah lama di luar. Apakah Azkia harus bahagia? Azkia tidak tau jawabannya. Papanya sangat tega, tapi di balik itu papanya sangat menyayanginya.
"Pa," panggil Azkia mendekati papanya. Bram menegang, dia tidak sadar kapan Azkia sampai.
Yang Bram takuti saat Azkia tau kalau ibunya tidak pernah mengurusnya sejak bayi. Fakta itu Bram yakini bisa mengguncang priskis Azkia. Namun, bagi Azkia rasa sakit itu sudah mendarah daging.
"Azkia, kamu sudah makan?" tanya Bram khawatir melihat wajah pucat anaknya. Bram menarik hoddie yang tersampir di pundak anaknya. Azkia terkesiap, dia lupa belum mengembalikan hoodie milik Nathan.
"Pa, Azkia bisa jelaskan!" ucap Azkia ingin menarik hoodienya kembali. Azkia takut kalau papanya akan menyakiti Nathan karena sudah mendekatinya. Apalagi kalau papanya tau Nathan adalah orang yang sama yang membalas pesan papanya. Bisa habis Nathan sama papanya.
"Masuk kamar sana! biar makanannya diantar Bibi!" ucap Bram menyuruh anaknya masuk ke kamar.
Azkia tidak beranjak, ia masih takut saat papanya tidak mau mengembalikan hoodie itu. Sesekali Azkia melirik mamanya yang duduk di sofa dengan acuh. Hati Azkia bagai diiris-iris melihat mama kandungnya mengacuhkannya. Dengan langkah yang terlampau pelan, Azkia melangkahkan kakinya menuju kamar. Di setiap langkah Azkia, Azkia berharap mamanya akan menegurnya barang sekata pun, tapi sampai dia di depan pintu kamar mamanya tetap tidak mengeluarkan suara.
Lagi-lagi Azkia harus sadar diri, kalau dia bukan anak yang diinginkan mamanya. Azkia membuka pintu kamarnya dan mengunci dari dalam. Tubuh Azkia luruh di lantai dengan memilukan. Azkia menangis sekencang-kencangnya, gadis itu meremas dadanya yang sangat sakit. Selama tujuh belas tahun dia hidup, ternyata dia bergantung pada orangtua yang tidak menginginkannya. Azkia tidak lebih dari alat mama papanya. Azkia menangis tersedu-sedu. Azkia iri bila salah satu temannya menceritakan keadaan orangtuanya, mereka bercerita ayah dan ibu mereka sangat harmonis, setiap sore menonton acara komedi bersama-sama, makan malam penuh canda tawa dan lainnya. Sedangkan Azkia? Tidak ada di kamus Azkia tentang sama-sama melakukan aktivitas.
Sedari kecil Azkia terbiasa sendiri, mengerjakan apapun dengan mandiri. Lagi-lagi Azkia hanya bisa menangis pilu. Kabur dari rumah bukan pilihan karena dia tidak punya apa-apa. Dan kalau dia kabur dari rumah, itu artinya Azkia menghianati perjuangan papanya yang sudah mengasuhnya. Orangtuanya lengkap tapi seperti orangtua tunggal.
"Kalau tau papa sejak kecil menyayangiku meski cara papa salah, aku akan tahan bila papa pukul, papa tampar dan papa tendang sekalipun, hiksss hiksss ...." isak Azkia seorang diri.
"Mama jahat ... hiksss ...."
"Papa .... maafin Azkia yang tidak tau diri ... hiksss hiksss ....."
Azkia terus menangis meratapi kesedihannya. Papanya mendidiknya dengan keras agar dia bisa bertahan di masa mendatang. Lain kali kalau papanya marah, Azkia berjanji pada dirinya sendiri untuk menerima semua perlakuan papanya. Azkia harus kuat di masa mendatang, demi papanya. Dia anak tunggal, tidak ada yang bisa papanya harapkan kecuali dirinya.
"Hustt ... Azkia!" suara bisikan membuat Azkia menghapus air matanya. Azkia celingukan ke seluruh penjuru kamarnya. Dia seperti mendengar suara Nathan, tapi saat matanya meneliti sekeliling tidak ada batang hidung temannya itu di manapun.
"Azkia, hust. Aku di balik jendela!" ucap suara Nathan lagi.
Buru-buru Azkia berdiri dan menuju jendela. Alangkah kagetnya Azkia saat membuka jendela, dia melihat Nathan yang bergelantungan di tiang penyangga rumahnya. Kamar Azkia ada di lantai dua, tidak mudah bagi Nathan untuk menyelinap di rumah yang penjagaannya sangat ketat.
Tadi Nathan sudah berniat untuk pulang saja ke rumah. Namun dia tidak tega dengan Azkia yang dibawa paksa oleh para anak buah papa gadis itu. Nathan membuntuti mereka sampai di rumah besar ini. Untuk membobol tembok tinggi rumah Azkia juga tidak mudah. Namun, dari kecil Nathan sudah jago memanjat, dia nekat demi Azkia. Kalaupun dia ditangkap anak buah Bram, Nathan akan pasrah yang penting dia sudah berjuang melihat keadaan gadis itu. Untunglah insting Nathan tentang di mana letak kamar Azkia sangat benar. Saat bergelantungan di tiang penyangga, Nathan mendengar isak tangis dari dalam membuatnya benar-benar yakin kalau itu suara Azkia.
"Azkia, lo gak kasihan sama gue yang sudah gelantungan lama di sini? Kalau tangan gue udah gak kuat, gue bisa jatuh nyosor ke tanah," ujar Nathan sesekali melirik ke bawah.
"Ayo aku bantu untuk naik!" ucap Azkia mengulurkan tangannya.
"Gak usah aneh-aneh! Minggir lo! Gua mau lompat sampai balkon lo," ucap Nathan. Kalau Azkia yang membantunya malah dia akan membawa Azkia celaka jatuh ke tanah. Nathan mengulurkan tangannya di pagar balkon Azkia, Azkia memejamkan matanya karena dia takut Nathan akan jatuh.
"Lo tenang saja, gue titisannya spiderman, gak akan gue jatuh karena gua pakarnya manjat!" ucap Nathan menghibur Azkia yang raut wajahnya ketakutan.
Azkia mengangguk, dia menutup jendela kamarnya dan segera membuka pintu balkon. Saat sampai balkon, Nathan pun tepat melompat sampai tersungkur di bawah Kaki Azkia.
"Nathan kamu hati-hati dong! Kamu sudah babak belur dihajar anak buah papa, sekarang kamu malah cari luka!" omel Azkia membantu Nathan bangun. Nathan cengengesan menampilkan deretan giginya yang rata.
"Sudah, lo gak usah khawatir sama gue!" jawab Nathan mengusap puncak kepala Azkia.
"Bagaimana aku gak khawatir kalau kamu kayak gini? Kamu khawatir kan sama aku makanya kamu datang ke sini. Kalau kamu boleh khawatir sama aku, kenapa aku gak boleh khawatir sama kamu?" omel Azkia panjang lebar.
Mendengar omelan Azkia membuat Nathan terkesima. Sangat jarang Azkia berbicara panjang saat di sekolah. Palingan hanya sepatah dua patah itu pun selebihnya diam.
"Gak usah ngomel-ngomel. Hasrat gue pengen nyipok lo jadi meronta," ucap Nathan masuk terlebih dahulu ke kamar Azkia.
Kamar Azkia didominasi oleh warna cerah dan ada perpustakaan pribadi di dalamnya. Tidak banyak boneka, hanya beberapa yang terpajang di almari kaca.
"Nathan, kamu duduk di ranjang dulu! Aku mau ambil kotak obat," ucap Azkia menutup pintu balkonnya. Gadis itu segera ke kamar mandi untuk mengambil kotak P3k. Azkia sangat merasa bersalah dengan Nathan, karena terus membelanya Nathan harus kena imbas sampai luka-luka begini.
Setelah mengambil kotak kesehatan, Azkia duduk di ranjang dekat dengan Nathan. Nathan memandangi wajah Azkia yang sangat pucat dengan sisa-sisa air mata di pipi gadis itu.
"Lo nangis lagi?" tanya Nathan mengusap pipi Azkia. Mendapat perlakuan demikian membuat Azkia menegang. Gadis itu belum terbiasa dengan kontak fisik yang dilakukan Nathan.
"Cengeng banget sih, Lo!" ujar Nathan terkekeh. Nathan menarik Azkia ke pelukannya. Azkia terkesiap, dia ingin melepas pelukan Nathan tapi pelukan remaja itu sangat erat.
"Menangislah, Azkia! Gue yang akan menghapus air mata lo nantinya," ucap Nathan mengusap punggung Azkia.
Bak mendapat lampu hijau, Azkia menangis dengan kencang di pelukan Nathan. Tangisan yang selama ini dia redam sendiri kini ia bagi dengan Nathan, Cowok satu kelas yang dia sukai. Azkia terisak-isak, tidak peduli bahwa air mata dan ingusnya bisa membasahi baju Nathan. Yang Azkia inginkan saat ini adalah menangis, dan Nathan sudah mempersilahkannya.
"Huwaaa ... hiksss hiksss ... kenapa mereka semua jahat? Kenapa mereka tidak menginginkanku hiksss hikksss .... Nathan, aku harus apa sekarang huwaa ...."
"Tidak ada yang menyukaiku, tidak ada yang menginginkanku hiksss hiksss ...." isak Azkia makin tersedu-sedu.
"Ada yang menyukaimu," ucap Nathan.