Bab 9

1125 Words
Dari dalam mobil, aku terus memantau perdebatan mereka. Ya, Dewi dan pria itu terlihat sedang berdebat, meski aku tidak mendengar apa yang mereka perdebatkan. Satu sisi hatiku ingin sekali menghampiri keduanya dan menyeret istriku pulang. Akan tetapi, sisi yang lain seakan memperingatkanku agar menahan diri sampai semuanya jelas. Aku harus menyelidiki siapa pria itu dan ada hubungan apa dengan istriku, karena aku yakin, selain rekan kerja, ada hubungan lebih dari itu di antara mereka. Dewi terlihat berjalan dengan tergesa meninggalkan pria itu yang memandanginya. Istriku memasuki taksi online yang sepertinya sudah ia pesan. Aku pun tidak ingin berlama-lama. Memutar kemudi, aku memilih menemui Papa untuk menceritakan tentang keinginan Inaya. Untuk beberapa jam saja aku ingin menenangkan diri di rumah Papa. Aku tidak ingin menemui kedua istriku dalam keadaan masih emosi, karena aku takut akan hilang kendali saat di depan mereka, terutama Dewi. "Muka kamu kusut begitu." Sambutan dari Papa ketika aku memasuki rumah megah miliknya. "Ada apa lagi? Istri-istrimu baik-baik saja, kan?" tanyanya sambil meletakkan iPad yang sejak tadi menjadi fokusnya, kemudian menatap putranya ini dengan lekat. "Inaya ingin pisah rumah dengan Dewi," ujarku, mengatakan langsung inti permasalahan yang membuatku menemui Papa. "Lalu? Kamu mengabulkannya?" "Belum. Sebenarnya aku keberatan dengan keinginan Inaya. Tapi aku juga tidak ingin egois dengan memaksanya tetap tinggal satu atap dengan Dewi karena itu akan membuatnya makin tersakiti," jawabku sembari memijat kepala yang terasa pening. Permasalahan dengan kedua istriku semenjak aku mengikuti rencana Papa, sangat menguras pikiran hingga membuatku frustasi. "Itu kamu tahu kalau Inaya tersakiti. Terus kenapa dulu kamu ngotot menempatkan mereka dalam satu rumah?" tukas Papa. "Itu karena aku ingin mereka lebih saling mengenal. Tapi ternyata Inaya selalu menghindari berinteraksi dengan Dewi." Papa menggelengkan kepala. "Dasar tidak peka," gerutunya yang masih bisa aku dengar. "Ya sudah. Kamu kabulkan saja keinginan Inaya," imbuhnya. "Tapi aku tidak bisa kalau harus berpisah dengan dia beberapa hari saja. Saat jatahku bersama Dewi, kami akan tinggal di rumah yang berbeda. Aku khawatir, Pa. Aku takut orang-orang di sana makin leluasa untuk mempengaruhi Inaya agar meninggalkanku," ujarku, tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran di depan pria bijaksana yang telah membimbingku hingga menjadi pengusaha sukses seperti sekarang. "Itu sudah menjadi konsekuensi bagimu, Dipta. Ketika kamu memutuskan untuk menikahi Dewi, seharusnya kamu berpikir bahwa waktumu bersama Inaya akan berkurang. Jangan egois. Kalau kamu ingin memperbaiki kesalahanmu terhadap Inaya, kabulkan permintaannya. Buat dia berpikir kalau kamu masih menghargai perasaannya." ***** Dengan membawa keyakinan bahwa aku akan mengabulkan keinginan Inaya, aku bergegas pulang untuk berbicara dengan istriku tersebut. Beberapa jam berada di rumah Papa membuatku sedikit lebih tenang hingga bisa berpikir jernih. Tentang Dewi. Untuk saat ini aku tidak akan bertanya tentang siapa pria tadi. Aku memutuskan untuk menyelidiki sampai aku mendapat jawaban langsung, karena aku yakin Dewi akan berkelit. Semoga saja kecurigaanku terbukti tidak benar. Dewi masih setia meski aku tidak lagi mencukupi kebutuhannya seperti dulu. Sesampainya di rumah, aku dibuat terkejut dengan kedatangan ayahnya Inaya. Pria paruh baya itu duduk di ruang depan bersama Syafa, cucu kesayangannya. Ah, melihat ayah mertuaku, perasaan bersalah kembali muncul. Ia pasti kecewa karena aku telah menyakiti hati putrinya begitu dalam, tetapi ia tidak pernah memperlihatkannya padaku. Ayahnya Inaya dan mamanya Dewi memang memiliki perangai yang berbeda. Jika mamanya Dewi terkesan angkuh, maka ayahnya Inaya adalah orang yang rendah hati dan terkesan bijak. "Nak Dipta baru pulang?" Ia menyambutku dengan senyum ramah. Salah satu bukti bahwa beliau masih menghargaiku sebagai menantunya setelah apa yang aku lakukan kepada putrinya. "Iya, Yah. Kok Ayah gak ngasih kabar kalau mau datang? Tahu begitu pasti saya jemput." "Ini juga sekalian mampir dari rumah sakit. Kangen mau ketemu Syafa," ujarnya sembari mengelus rambut cucunya. "Siapa yang sakit? Bukan Ayah kan?" "Bukan. Tetangga Ayah ada yang habis dioperasi." Aku lega mendengarnya. Tadinya aku takut justru kesehatan Ayah mertuaku-lah yang bermasalah. "Mas sudah pulang?" Suara lembut itu membuatku menoleh. Senyum manis tercetak di bibir tipisnya ketika menyambutku. Meski aku tahu sikap hangat Inaya dikarenakan kedatangan ayahnya, tetapi aku cukup senang karena akhirnya aku kembali merasakan perhatian yang sudah lama aku rindukan. "Mas baru sampai," jawabku membalas senyumnya. "Ayah senang melihat kalian tetap rukun seperti ini. Ayah berharap rumah tangga kalian baik-baik saja meski sekarang Nak Dipta tidak bisa selalu bersama Inaya karena harus membagi waktu dengan istri Nak Dipta yang lain," ujar Ayah mertuaku ketika aku dan Inaya sudah duduk bersamanya. Aku menoleh ke arah istriku yang justru menundukkan kepala. "Sebagai pasangan, kalian harus saling menguatkan ketika ujian hidup datang tanpa diduga. Ya ... seperti yang Nak Dipta alami sekarang ini. Terutama untuk Inaya, dampingi dan terus support suamimu agar ia tidak terpuruk karena kondisinya. Ingatlah bahwa sejatinya harta bukanlah segala-galanya. Harta hanya titipan. Kalian harus siap ketika Sang Pemilik yang sebenarnya kembali mengambilnya," tutur ayah mertuaku dengan bijak. Sangat berbeda dengan Mama Hera yang justru menyudutkanku seakan aku ini adalah suami yang tidak berguna. "Inshaa Allah Naya akan ingat pesan Ayah." "Bagus. Dan satu lagi. Ini khusus untuk Nak Dipta. Bolehkah Ayah mengajukan satu permintaan? Sebenarnya sudah lama Ayah ingin mengatakan hal ini, tapi karena Nak Dipta orangnya sibuk, jadi baru kali ini Ayah mempunyai kesempatan untuk bicara," ujarnya dengan menatap lekat padaku. "Katakan saja, Yah. Selama saya bisa, saya pasti akan memenuhi permintaan Ayah." Ayah mertuaku mengangguk. "Jadi begini. Sebenarnya dalam kehidupan berpoligami, tidak baik seorang suami menyatukan para istrinya dalam satu rumah. Selain untuk menjaga privasi masing-masing, juga untuk menghindari kecemburuan atau bahkan perdebatan. Jadi, karena itu Ayah minta dengan sangat. Tolong jangan satukan putri Ayah dengan istri kedua Nak Dipta. Jika memang untuk saat ini Nak Dipta belum mempunyai uang untuk mengontrak rumah, maka izinkanlah Inaya tinggal bersama Ayah untuk sementara." Aku menggeleng. Sangat tidak setuju jika Inaya harus tinggal bersama Ayah mertuaku yang jarak rumahnya cukup jauh. Aku memang akan memisahkan kedua istriku, tetapi masih di kompleks yang sama agar aku masih bisa memantau mereka. "Maaf, Yah. Tapi saya tidak setuju jika Inaya tinggal bersama Ayah. Inaya akan tetap tinggal di rumah ini dan untuk Dewi, saya akan mencarikan kontrakan untuknya." "Saya tidak setuju!" Suara lantang yang terdengar dari arah pintu mengejutkan kami. Menoleh, aku mendapati Mama Hera berdiri bersama Dewi di sana. "Enak saja Dewi yang harus ngontrak sedangkan Inaya tinggal di rumah yang sudah kamu beli. Jangan karena putri saya hanya istri kedua, kalian jadi semena-mena terhadapnya. Kalau mau adil, Dewi juga harus dibelikan rumah!" tandasnya dengan wajah yang menggelap. Dewi berusaha menenangkan mamanya dengan mengusap punggung wanita paruh baya itu. "Dan untuk Anda." Mama Hera menoleh ke arah ayahnya Inaya. "Jangan pengaruhi menantu kita agar lebih berpihak kepada putri Anda. Saya tahu orang seperti apa kalian ini. Sudah miskin, sering cari muka dan sok bijak. Munafik!" "Cukup, Nyonya! Jangan menghina Ayah saya!" Inaya berteriak dengan wajah murka. Aku terperangah. Baru kali ini melihat istri pertamaku berkata dengan nada tinggi terhadap lawan bicaranya. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD