Seorang laki-laki tua keluar dari ruangan itu dengan wajah kesal. Fisiknya memang tak bisa menyembunyikan usianya yang semakin bertambah, tapi sorot matanya tetap tajam mengintimidasi.
"Hah, merepotkan saja," dia mendudukkan diri di kursi panjang dengan kesal. Pagi-pagi tadi ia ditelepon anak bungsunya agar segera ke rumah sakit.
"Papi, inget kesehatan," seorang perempuan muda dengan kecantikan paripurna meraih tangannya.
Laki-laki tua itu melirik anak perempuannya. "Papi mau pulang saja. Panggil mamimu."
Perempuan muda itu segera bangkit. Tapi baru selangkah ia menuju pintu, ia berbalik. "Tapi Abang gimana?"
"Biarkan saja. Anak gak tau diri. Sudah tua masih merepotkan saja."
"Papi."
"Kalau kamu mau nungguin Abangmu, kamu saja sana yang nungguin."
Perempuan itu menghela napas kasar. Ia masuk ke dalam untuk memanggil ibunya. Perempuan tua yang tak pandai menyembunyikan kesedihan atas nasib anak lelaki tertuanya.
"Mami yang paling berdosa tidak bisa mendidik kakakmu dengan benar," dia menyusut air matanya menyaksikan tubuh lemah yang banyak dililit perban.
"Bukan Mami," perempuan muda itu merangkulnya dengan sayang, "Abang yang terlalu dibutakan cinta."
Perempuan tua itu mengangguk pelan. Mendesah pasrah. Kilasan masa lalu putranya membuat dadanya semakin sesak.
"Ayo, Nad antar Mami sama Papi pulang dulu, istirahat di rumah," Perempuan bernama Nadya itu membawa ibunya keluar ruangan.
"Abangmu siapa yang jagain?"
"Nanti biar Nad sama Andre yang urus. Yang penting kesehatan Mami dan Papi."
Seorang laki-laki yang lebih muda datang. Posturnya tinggi atletis. Wajahnya tampan penuh wibawa. "Maaf, Pi, Andre ada meeting yang gak bisa diwakilkan tadi," ia mencium tangan ayah dan ibunya bergantian. "Mami gak apa-apa?"
"Yang kecelakaan itu kakakmu. Bukan Mami," perempuan tua itu merengut.
Andre terkekeh. "Maksud Andre, Mami gak boleh terlalu mikirin kondisi Abang."
"Abangmu juga anak Mami, Andre."
"Andre tahu. Serba salah kan kalo Andre yang ngomong."
"Kamu gantian jagain ya, Ndre. Kak Nad biar antar Mami sama Papi. Kata dokter Bang Raka udah stabil."
"Jangan lupa kamu telepon Anshel," tambah ayah mereka.
"Papi," protes Nadya dan Andre bersamaan.
"Biar Ans yang jagain. Kerjaanmu banyak. Biar kakakmu itu tahu rasa gimana dijagain anak yang pernah diabaikannya."
"Udah pesenin tiket aja buat Anshel. Nanti aku yang telepon kak Citra. Mungkin udah saatnya Bang Raka membayar semua kesalahannya pada keluarganya," Nadya menengahi.
Andre mengangguk.
"Ya udah Kakak tinggal dulu. Oiya, dokter perlu bicara sama keluarga. Kak Nad pikir kamu yang lebih pas mewakili keluarga."
Andre kembali mengangguk. Dia masuk sebentar ke kamar rawat inap kakak sulungnya. Dini hari tadi pihak rumah sakit meneleponnya mengabarkan kakaknya kecelakaan. Dia yang sejak belia sudah dididik ayahnya menjadi pemimpin, bergegas ke rumah sakit.
Andrelah yang satu-satunya keluarga yang ada di sana saat kakak sulungnya itu dioperasi. Dia yang sejak muda menggantikan kakaknya memikul tanggung jawab keluarga di pundaknya, baru mengabari kakak perempuan dan kedua orang tua mereka setelah pagi terbit dan operasi Raka berhasil.
Ia menatap kakaknya sekali lagi kemudian melangkah mencari dokter setelah menitipkan Raka pada suster yang berjaga.
*
Citra sedang menyelesaikan pesanan kue dari customernya saat ponselnya berbunyi. Digesernya tombol hijau setelah melihat nama penelepon.
"Assalamualaikum. Iya, Nad."
"Waalaikumussalam. Kak Citra apa kabar?"
"Baik. Alhamdulillah. Kamu apa kabar? Mami Papi gimana, sehat? Andre?"
"Baik semua. Alhamdulillah. Kak, Anshel sudah selesai kan ujian akhirnya?"
"Udah. Tinggal nunggu wisuda aja sama lagi persiapan tes perguruan tinggi."
"Oh iya? Jadi ambil kedokteran?"
"Mmmh," ada jeda sejenak. "Doain aja ya, Aunty," suara Citra berubah sendu.
Nadya menghela napas. "Kak, jangan kuatirkan biaya Anshel. Meski Kakak sudah gak mau menerima apapun dari Bang Raka, tapi Anshel masih punya aunty dan om yang sayang sama kalian. Juga ada opa sama omanya di sini."
"Maaf, Nad."
"Aku yang minta maaf sama Kakak, gak bisa sering-sering nengok Kak Citra."
"Ah enggak. Kamu sama Andre sudah baik banget kok selama ini."
"Kak, apa boleh aku minta Anshel ke Jakarta beberapa hari?"
"Ada apa?"
"Opanya kangen. Nanti aku kirim tiketnya. Andre lagi carikan."
"Kok mendadak. Ada apa?"
"Gak apa-apa, Kak. Papi kayaknya ada perlu sama cucu tertuanya."
"Nadya."
"Kak, percaya aku, gak ada yang akan ambil Anshel atau adik-adiknya dari Kak Citra."
Citra menghela napas. Sejak keluar dari keluarga Ranuwijaya, yang Citra takutkan adalah mereka akan menjemput pulang anak-anaknya.
Percakapan itu berakhir saat salah satu karyawan menanyakan adonan kue pada Citra.
*
"Ma, om Andre atau aunt Nad ada telepon Mama?" Anshel masuk ke dapur sambil menunjukkan ponselnya.
"Aunty Nadya yang telepon. Kenapa?"
"Asisten om Andre kirim tiket buat sore ini. Aku telepon om Andre gak diangkat."
"Coba tanya asistennya."
Anshel baru saja akan mengetikkan sesuatu saat ponselnya berbunyi menandakan ada panggilan masuk.
"Om Andre, Ma," Anshel menggeser tombol hijau. "Assalamualaikum. Iya, om."
"Kamu telepon om barusan?"
"Iya. Ini ada Mama juga. Aku loadspeaker ya, Om."
"Hai kak, kak Citra apa kabar?"
"Baik. Om Andre gimana kabarnya?"
"Baik kak. Kak Nad ada telepon kakak enggak?"
"Iya. Tadi. Tuh kata Anshel dia udah langsung dikirimi tiket sama asisten om Andre."
"Oh udah dapet ya, Shel?"
"Iya. Makanya aku telepon om tadi. Tiketnya buat sore ini soalnya."
"Oh iya. Kekejar kan ke bandara."
"Om ada apa sebenarnya kok tiba-tiba ngirim tiket. Mana hari ini pula."
Terdengar helaan napas di ujung. "Opa yang minta, Shel. Bisa ya."
"Emang boleh aku batalin?"
"Ya jangan dong. Kamu gak kasian om kena semprot opa sama oma."
Citra tersenyum membayangkan Andre yang dulu kerap kena omel karena keusilannya.
"Opa sama Oma sehat-sehat kan?"
"Alhamdulillah sehat semua. Gimana bisa kekejar kan jadwal boardingnya?"
"Bisa sih. Aku pake kereta bandara aja entar. Ke stasiun bisa pake ojek online."
"Ans," sela Citra mendengar rencana anak sulungnya. "Mama yang antar ke bandara."
"Mama lupa bandaranya pindah di Kulonprogo sana? Ans gak mau Mama nyetir sendiri bolak balik. Ans bisa kok ke sana sendiri naik kereta. Kan sudah pernah diajari om Andre liburan kemaren."
Citra mendesah. Sementara Andre disana tersenyum. "Gak apa-apa, Kak. Nanti juga ada yang jemput Anshel di sini. Kakak gak usah kuatir. Anak kakak paling jagoan."
"Beneran Mami Papi gak apa-apa kan, Dre?"
"Gak apa-apa, Kak. Nanti Kakak bisa video call sendiri kalau Anshel sampe sini."
"Jangan tahan Anshel lama-lama ya, Ndre."
"Enggak. Kakak tenang saja. Aman semua insyaallah."
"Ya udah. Aku siap-siap dulu, Om."
"Oke. Om tunggu ya, Boy."
Citra menatap Anshel begitu telepon terputus. Entah perasaan apa yang kembali membuatnya gelisah. Bahkan sejak dini hari tadi, Citra terbangun dengan perasaan tak nyaman yang membuatnya tak bisa tidur lagi hingga pagi.
“Ma, Mama percaya Ans kan?” Anshel yang menyadari tatapan mata ibunya yang berbeda, menggenggam erat tangan wanita itu.
Citra mengangguk. Tentu saja ia mempercayai putranya. Anshel tidak akan mungkin meninggalkannya. Tetapi apakah ia masih bisa pecaya keluarga ayah Ans saat ini? Meski om, tante, oma dan opa Ans selama ini selalu melindungi mereka, tetapi laki-laki itu? Ayah Ans?
“Jaga diri, Ans,” Citra meraih kepala Ans dalam dekapannya.
Anshel mengangguk. Ia anak yang terlahir dengan kecerdasan di atas rata-rata. Tak biasanya omnya itu mengirimi tiket ke Jakarta semendadak ini. Biasanya selalu ia yang memilih jadwal hari dan jamnya. Jadi, meski omnya berkata tidak ada apa-apa, tapi kepala pintarnya sudah menyalakan alarm waspada terlebih dahulu.
***