02

1756 Words
Tepat pukul sepuluh pagi, Dara terbangun karena terganggu dengan cahaya matahari yang masuk ke dalam kamar melalui celah jendela. Mata coklatnya terbuka, hal pertama yang ia lihat adalah wajah Ken. Dara terkejut bukan main sampai ia terjatuh di lantai kamar karena terlalu memundurkan posisinya untuk menjauhi Ken. "Aw!" ringis Dara seraya memegangi bokongnya yang terbentur lantai kamar. Dara beralih melihat ke arah jam dinding. Matanya membulat sempurna setelah ia melihat jam. Meski tertidur subuh tadi, tidak seharusnya ia bangun kesiangan. Dara membenarkan letak rambutnya, berdiri dari posisi duduk karena terjatuh tadi. Bergegas ke dapur menyiapkan makanan untuk Ken sarapan saat pria itu bangun nanti. Dara tergesa menuruni tangga. Sampai ke dapur, matanya membulat lagi melihat Mama mertuanya bergelut dengan berbagai macam bumbu dan sayuran, juga ada daging yang sudah diberi bumbu. "Mama," panggil Dara menghampiri Sari, ibu Ken yang tak lain mertuanya. Langsung Dara mencium punggung tangan Sari, tak peduli jika tangan wanita paruh baya itu kotor sekalipun. "Kotor sayang," tutur Sari. "Gak apa-apa, Ma. Mama kapan datang? Maaf Dara bangun kesiangan," ujar Dara beruntun, ia merasa bersalah. "Sejam lalu Mama datang, kalian tidurnya nyenyak banget, jadi Mama gak tega banguninnya. Ken baru pulang dari luar kota ya?" "Iya, Ma, baru pulang subuh tadi." "Kamu pasti tidur subuh juga. Gak lanjut tidur aja sayang? Biar Mama aja yang masakin buat kalian." Usul Sari yang sudah jelas pasti akan ditolak mentah-mentah oleh Dara. Mana bisa ia tidur sedangkan mertuanya bergelut di dapur seorang diri? Selain akan di cap sebagai menantu kurang ajar, Dara mungkin akan mendapat bonus omelan tak henti yang Ken berikan padanya. "Enggak, Ma. Jangan! Dara buatin teh melati kesukaan Mama ya? Mama nonton TV atau duduk baca majalah aja, Dara ada majalah baru. Biar Dara yang masak." "Masak Mama berlagak seperti tamu di rumah anak sendiri? Santai aja, kita masak bareng aja gimana?" "Tapi Ma…," "Nggak papa, Dara." Potong Sari. Dara sempat takut Ken akan marah jika membiarkan mamanya bergelut di dapur. Namun ia juga tidak bisa mengatur kehendak mamanya, hingga akhirnya ia mengalah dan tersenyum mengangguk mengiyakan ucapan Sari. Tidak peduli dengan konsekuensi yang akan ia terima nanti. Mereka berdua memasak bersama, banyak perbincangan yang mereka lakukan. Kadang juga tertawa lepas saat Sari menceritakan kekonyolan Ken saat kecil dulu. Momen bahagia seorang menantu adalah membicarakan kelakuan suaminya bersama mertua. Jika menantu dan mertua sudah melakukan hal itu berarti kedekatan mereka tak diragukan lagi. "Dulu, Ken itu nakal banget. Udah dibilang sore waktunya pulang, eh malah ngebantah. Dia malah keliling kompleks sama sepeda baru yang di beliin papanya. Dan akhirnya dia kena batunya, jatuh di selokan. Hahahaha." Ungkap Sari begitu semangat. Dara tak bisa berhenti tertawa mendengar cerita mertuanya. Mama mertuanya benar-benar jago menghidupkan cerita. Dara merasa nyaman, bersyukur mertuanya tidak seperti mertua kebanyakan yang tidak bisa akrab dengan menantu. Menuntut ini dan itu. Sari seperti Ibu Dara sendiri. "Terus ya Dara, dia itu sering nyuri jambu tetangga kompleks. Padahal jambu di kulkas banyak. Pas Mama tanyain kenapa nyuri, dia malah bilang, rasa jambu nyuri sama jambu beli beda. Karena jambu nyuri butuh perjuangan esktra. Alhasil Mama gak jadi marah deh denger omongan dia. Nahan ketawa." Cerita Sari membuat keduanya tertawa lepas. Sampai akhirnya berhenti karena perut mereka sakit. Memang setelah membahas hal konyol pasti akan membahas hal serius. Kali ini Sari dan Dara membicarakan hal yang selalu membuat Dara selalu bingung untuk mencari jawaban yang pas. "Gimana? Udah isi?" tanya Sari seperti tengah melemparkan bom ke arah Dara. "Belum, Ma." Balas Dara seraya menunduk. Bagaimana isi? Mereka saja hanya sekali melakukan hubungan suami-istri, setelah resepsi lima bulan lalu. Setelah itu Ken berubah. Dan banyak pertanyaan di pernikahan mereka. "Jangan mau Ken pake pelindung. Pokoknya kamu harus pintar untuk membuat Ken berhasil menghamili kamu. Mama udah gak siap gendong cucu." Ucap Sari bersemangat. Membuat Dara malu hanya dengan mendengarnya. "Mama." Panggil suara berat itu. Ken, batin Dara. Siapa lagi pria yang ada di rumah itu yang memanggil sebutan Mama kepada mertuanya jika bukan suaminya sendiri. Dara menjadi takut, bukan karena apa. Saat ini ia tidak bisa menghalangi Sari untuk berhenti membantunya masak. Semoga saja Ken tidak marah. Doa yang selalu Dara komat-kamitkan di dalam hati. Ia bahkan tidak berani membalikkan badan untuk menghadapi Ken. "Ken, udah bangun?" sapa Sari basa-basi. "Mama ngapain?" tanya Ken tanpa mengidahkan ucapan basa-basi Sari. "Ya masak, Ken." "Kalo mama kenapa-kenapa gimana? Udah biarin Dara aja yang masak. Mama ikut Ken ayo." "Kasian Dara kalau Mama gak bantuin, Ken." Dara menggigit bibir bawahnya. Lebih baik mamanya menuruti ucapan Ken, jika tidak, Ken akan semakin marah padanya. Dara semakin takut, tangannya sampai bergetar. Apalagi saat ia merasakan tatapan menusuk Ken padanya. "Dara? Mama gak apa-apa gak bantuin kamu ‘kan?" Dara berbalik perlahan, "Iya Ken gak apa-apa, Mama sama Ken aja. Ini juga tinggal sedikit lagi udah masak semua." Sari mengerutkan alisnya kesal. "Kalian ini! Mama memang sudah tua, tapi bukan berarti Mama nggak becus ngapa-ngapain." "Bukan gitu, Ma. Ken khawatir aja. Terakhir kali Mama masak, tangan Mama kesiram air panas." "Iya itu kan gak sengaja." Dalih Sari. "Pokoknya Mama ikut Ken." Putus Ken merangkul pundak mamanya, pergi meninggalkan Dara yang sedari tadi gugup tanpa alasan. Sangat lega saat keduanya meninggalkannya sendiri di dapur. *** Makanan sudah terhidang di atas meja, aneh rasanya saat Dara ikut makan bersama di meja makan. Sudah jelas Ken memperbolehkannya ikut bergabung karena ada mamanya. Tapi tetap saja membuat Dara sangat canggung. Sedari tadi Ken dan Sari berbincang, tanpa Dara, karena wanita itu termenung mengaduk-aduk makanannya sambil melamunkan banyak hal. Hal itu berhasil mencuri perhatian Sari yang merasa aneh dengan tingkah menantunya. "Kenapa Dara?" tanya Sari sedikit khawatir. Mendengar namanya dipanggil membuat Dara refleks menoleh, "Enggak apa-apa kok, Ma." "Jangan bengong," saut Ken datar. "I..iya.." gagap Dara langsung menunduk dan meneruskan suapannya. "Ken jangan galak-galak sama Dara, nanti dia malah takut sama kamu loh!" peringat Sari melihat anaknya yang terlihat sangat dingin kepada menantunya. Ia sempat curiga Ken dan Dara sedang bertengkar. "Enggak kok, Ma, Ken gak galak sama Dara." Bela Dara tanpa mau memperpanjang urusan yang akan menyusahkannya di akhir. "Iya deh Mama percaya. Tapi inget loh Dara! kalau Ken galakin kamu, bilang sama Mama. Aduin aja. Nanti biar Mama jewer telinganya." Ujar Sari. Dara tersenyum, ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun senyum itu pudar saat matanya melirik Ken yang kebetulan menatapnya tajam. Setelah sarapan pagi, Sari pamit pulang karena sopirnya sudah menjemput. Dan saat itulah kekhawatiran Dara memuncak. Baru saja, Ken dan dirinya mengantar Sari di depan pintu, dan baru beberapa detik mobil Sari hilang dari pelataran rumah mereka. Ken sudah membentaknya, membuat Dara menjauh beberapa langkah. "Jaga sikap kamu ya Dara!" bentak Ken. Dara masih diam, ia menjauh beberapa langkah dan menunduk takut. Benar memang Ken tidak pernah memukul dan bermain fisik dengan Dara, namun bentakan itu benar-benar membuat Dara ketakutan bukan main. Ada sebuah alasan kenapa Dara sangat takut jika Ken membentaknya. Ken tidak pernah tahu, bahwa istrinya sangat ketakutan jika dirinya membentak dan mengintimidasi Dara. Rasa takut berlebihan itu sudah mendarah daging saat wanita itu merasa terancam. "Maaf, jangan marah ken." Suara Dara sudah seperti cicitan burung. "Terus kenapa Mama kamu suruh masak!" "Saya gak suruh Mama. Saya bangun kesiangan, dan Mama udah datang dan masak sebelum saya bangun. Saya, saya udah berusaha ngelarang Mama masak, Mama maksa. S..saya.." Bingung harus menjelaskan dengan cara apa membuat Dara terbata hingga membuat Ken dengan mudah memotong ucapannya, tak sabar dengan apa yang dijelaskan Dara. "Jangan ulangi kecerobohan kamu itu! Ngerti? Saya gak mau kamu celakain Mama saya!" Dara mengangguk cepat. Tangannya semakin berkeringat. Ia ingin Ken berhenti membentak dan memarahinya. Meski tak ada sedikitpun niat Dara untuk mencelakai mertuanya. Ia tidak mungkin melakukan hal itu karena ia sangat menyayangi mertuanya. "Masuk ke dalam!" Dara melangkah pelan memasuki rumah, kakinya benar-benar lemas. Namun dengan sekuat tenaga ia menyembunyikan itu semua dari Ken. Ia tidak mau terlihat lemah, sudah cukup Ken mengatainya cengeng. Ia tidak mau Ken mengetahui kelemahannya dan semakin membuatnya ketakutan. "Ken," panggil Dara berbalik mendadak membuat Ken menabraknya. Kening Dara menabrak dada pria itu. Sebelum Ken memarahinya lagi, buru buru ia meminta maaf. "Maaf," lirihnya. "Ada apa lagi?" "Saya mau nengok ibu saya." Dara tahu ia tengah meminta izin di waktu yang tidak pas. Namun jika tidak mengatakannya sekarang, ia mungkin akan bertemu Ken nanti malam. Dara yakin sebentar lagi pasti Ken akan keluar untuk urusan. "Untuk apa?" "Udah satu bulan saya gak ke rumah sakit. Boleh ya, Ken?" "Sama saya entar sore. Sebentar lagi saya mau ke kantor." "Kalo sore jenguknya sebentar. Rumah sakit nggak terima besukan kalau malam. Saya…" "Yang penting ketemu ‘kan!" Dara menahan tangan Ken saat suaminya hendak meninggalkannya. Gadis itu memantapkan hati sebelum kembali protes. "Saya nebeng kamu, kan searah sama rumah sakit Ibu. Nanti sore kamu jemput sekalian kamu pulang ke rumah? Izinin ya Ken,” mohon Dara yang masih berusaha mengemis izin suaminya itu. "Terus kamu mau genit sama dokter di sana? Lupa sama terakhir kali saya percaya sama kamu?" ungkit Kenan. Ia pernah salah paham dan cemburu saat Dara berbicara berdua saja dengan salah seorang dokter muda di sana. "Saya gak pernah genit. Terakhir kali kamu salah paham. Dokter Ibu cuma mau jelasin kondisi Ibu," Jelas Dara. "Kamu pikir saya percaya? Dokter itu masih lajang, pasti dia modusin istri orang." "Kamu boleh nyuruh suster kunci kamar rawat Ibu. Biar kamu percaya saya ke sana cuma mau ketemu Ibu, gaada niatan lain." "Ide bagus." "Dibolehin?" "Oke, selama kamu gak keluar dari ruang rawat Ibu." "Makasih, Ken." Ujar Dara tersenyum senang. Ia begitu merindukan ibunya, itu kenapa Dara lebih memilih dikunci di ruang rawat ibunya daripada harus menunggu Ken di rumah sampai bosan. Kehidupan rumah tangga Ken dan Dara memang tak sama dengan kehidupan rumah tangga orang lain. Ken mengabulkan permintaan Dara saja sudah membuat wanita itu bahagia. Sedangkan Ken membenci Dara tanpa alasan yang kuat, Ken tak pernah bersikap lembut layaknya suami kebanyakan. Kenan berubah, namun sikap posesifnya sama sekali tak berubah. Harusnya jika Ken benar membenci Dara, ia tidak akan peduli dengan kegiatan Dara, tak akan peduli dengan siapa Dara bertemu dan berinteraksi. Namun Ken tetap sama, ia tak suka Dara keluar rumah tanpa izinnya. Ia tak mau Dara bertemu pria lain selain dirinya. Hanya Ken yang boleh tidak mencintai Dara, wanita itu harus tetap mencintainya. Lebih egois lagi saat Ken tidak mau jika sikap posesifnya disebut-sebut sebagai sikap cemburu. Dara harus selalu Ken kunci, agar wanita itu tidak pergi kemana-mana. Tidak kabur dari permainan yang Ken ciptakan. Wanita naif seperti Dara harus tetap mengikuti alur permainannya hingga akhir. Karena aturannya, Dara milik Ken, namun Ken bukan milik Dara. - To be continued -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD