Chapter 3

1409 Words
Selamat membaca Keesokan harinya. Selepas menghabiskan sarapan, Wibowo, Respati, serta Anggun bersiap untuk berangkat ke tempat kerja masing-masing. Meskipun memiliki rumah sakit sendiri, namun Wibowo justru lebih memilih membuka klinik di sebuah desa untuk membantu dan memudahkan para penduduk setempat yang ingin berobat karena jauh dari rumah sakit. Ditambah lagi, untuk meringankan beban rakyat kecil dari tingginya biaya obat di rumah sakit yang saat ini semakin mencekik. Laki-laki paruh baya itu memang sudah terkenal sejak dulu dengan kebaikan hatinya. Jadi tidak heran jika orang-orang begitu menghormati Wibowo. Meskipun hidup berkecukupan, namun dia sangat peduli terhadap sesama. Terlebih kepada rakyat kecil, fakir miskin, dan anak-anak yatim piatu. Tak jarang dia juga sering membagi-bagikan makanan gratis dan sembako bagi mereka yang membutuhkan. Karena kebesaran hatinya itulah Wibowo sampai mengadopsi dan mengangkat seorang anak jalanan menjadi putrinya, karena dia tidak tega melihat anak kecil itu hidup di lingkungan keras dengan berjualan koran di pinggir jalan. Sedangan Rike sebenarnya dari awal sudah keberatan dengan keputusan Wibowo yang ingin mengangkat Anggun menjadi anaknya. Karena Rike pikir, mereka tidak perlu sampai melakukan hal itu. Cukup membantunya dengan bersekolah dan memberinya uang, tidak perlu sampai mengadopsinya. Namun tetap saja penolakan Rike tak bisa mencegah tekad Wibowo untuk mengadopsi Anggun. Tidak seperti ayahnya yang memilih mengabdi untuk rakyat kecil, Respati justru memilih bekerja di rumah sakit milik keluarganya sendiri bersama dengan Lidra. Sedangkan Anggun bekerja di sebuah sekolah dasar yang tempatnya tak jauh dari rumah sakit tempat Respati bekerja. Karena itu, setiap harinya Anggun berangkat satu mobil bersama dengan Respati dan juga Lidra. Sedangkan Wibowo berangkat mengunakan mobil sendiri. "Aku nggak tau ini hanya perasaan aku aja atau bukan. Tapi setelah bangun dari koma, sikap mbak Lidra jadi aneh. Menurut kamu gimana, Mas?" tanya Anggun menoleh ke arah Respati yang sedang menyetir mobil. Namun pria itu justru hanya diam saja dengan tatapan lurus ke depan seperti tengah memikirkan sesuatu. "Mas?" panggil Anggun lembut sembari menyentuh lengan Respati yang tidak merespon ucapannya. Ia merasa heran dengan sikap Respati yang juga tampak aneh sejak tadi pagi. Tidak biasanya pria itu hanya diam melamun sepanjang perjalanan. Bahkan pria itu juga tidak mengajaknya mengobrol seperti hari-hari sebelumnya. Respati terkesiap dan tersentak kaget. Kemudian pria itu menoleh ke arah Anggun. "Iya, kenapa?" "Kelihatannya kamu lagi banyak pikiran ya, Mas? Aku perhatiin dari tadi kamu cuma diem aja sejak pergi dari rumah." "Ah, enggak. Aku nggak kenapa-napa, cuma sedikit capek aja. Mungkin karena kurang istirahat," sahut Respati ringan. "Tadi kamu bilang apa?" sambungnya. "Kamu lagi mikirin mbak Lidra, ya?" tanya Anggun tiba-tiba dengan nada suara yang sulit dijelaskan. Respati terdiam sejenak. "Enggak," ujarnya singkat dan kembali fokus menyetir. Kemudian ingatan Respati kembali ke kejadian pagi tadi di mana Lidra benar-benar tak bicara sepatah kata pun kepadanya. Wanita itu hanya diam dan bersikap biasa saja meski tidak menyiapkan pakaian serta keperluannya saat pagi hari. Karena itu, Respati menyiapkan segalanya sendiri karena egonya terlalu tinggi untuk meminta Lidra yang menyiapkannya meski sebenarnya itu adalah tugas wanita itu. Tak hanya itu saja, saat mengantar di depan pintu pun Lidra bahkan langsung masuk kembali ke dalam rumah tanpa mencium tangannya seperti biasanya. Sikapnya benar-benar bertolak belakang dengan Lidra yang dulu. Dan itu terus menganggu pikiran Respati. Karena dia benar-benar tidak mengerti dengan perubahan sikap Lidra yang sekarang. Apa mungkin ucapan wanita itu saat di mobil benar? Bahwa dia benar-benar tidak mencintainya? Tapi bagaimana mungkin? Ia masih ingat dengan jelas saat Lidra pernah mengatakan jika dia memiliki perasaan dengannya. Bagaimana bisa rasa itu lenyap begitu saja? Setelah mengantar Anggun sampai sekolah, Respati langsung pergi menuju rumah sakit. Setibanya di sana, dirinya disambut oleh para dokter dan perawat dengan ramah setiap kali berpapasan. Pria itu pun juga membalas senyuman orang-orang dengan begitu ramah. Respati Candra Lesmana, seorang dokter yang terkenal akan sikapnya yang hangat dan ramah kepada orang-orang. Bahkan tak jarang teman-teman dokter, perawat, bahkan pasien sekalipun juga menyimpan perasaan terhadapnya karena begitu terkesima dengan pesona pria berumur 29 tahun tersebut. Namun, mereka harus menelan kekecewaan ketika mengetahui kabar bahwa Respati tidak lama lagi akan menikah dengan wanita lain pada saat itu. Yang tidak lain adalah dokter yang juga bekerja di rumah sakit yang sama dengannya, yaitu dokter Lidra. Semua orang berpikir jika Lidra sangat beruntung menikah dengan pria nyaris sempurna seperti Respati. Padahal kenyataannya tidak sama seperti apa yang mereka pikirkan. ***** Saat kembali ke rumah, Respati sama sekali tidak merasakan tanda-tanda keberadaan Lidra. Awalnya pria itu berpikir jika wanita itu sedang berada di kamarnya, namun saat dirinya masuk ternyata tidak ada satu pun orang yang berada di sana. Akhirnya Respati masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri dan melepas penat, serta menyegarkan pikirannya setelah mengacau dan tidak fokus dengan pekerjaannya. Beberapa saat kemudian, Respati menuruni tangga dengan pakaian santai dan wajah yang sudah kembali segar. "Ma, Lidra ke mana?" tanya Respati tanpa sadar kepada Rike yang tengah duduk di sofa sembari membaca majalah. "Lagi ke rumah orang tuanya," sahut Rike ringan tanpa menoleh ke arah Respati. "Dari tadi pagi?" tanya Respati lagi. "Iya, dijemput sama pak Maman." Respati terlihat bimbang seakan tengah memutuskan sesuatu. Kemudian dia kembali naik ke atas menuju kamarnya untuk mengambil kunci mobil dan memutuskan untuk menyusul Lidra karena perasaannya terasa tidak nyaman. "Loh, mau ke mana?" tanya Rike ketika melihat Respati tampak sedang terburu-buru pergi. "Nyusul Lidra, Ma," jawabnya. Respati keluar dan langsung menyalakan mobil untuk pergi ke rumah mertuanya. Setibanya di sana, Respati langsung disambut oleh sopir pribadi keluarga Lidra. "Eh, Mas Respati. Cari mbak Lidra, ya?" tanya Maman ramah. "Iya, Pak," sahut Respati ringan. "Kebetulan di dalam juga lagi ada mas Eric," sahut Maman sumringah. Respati mengernyitkan dahi seperti berusaha mengingat kembali nama seseorang yang terasa tidak asing di pendengarannya. "Sepupu mbak Lidra yang ada di Australia itu loh, Mas," ungkap Maman membantu Respati mengingat nama orang tersebut. "Ah, iya saya ingat, Pak. Dulu dia juga sempat datang ke pesta pernikahan saya dan Lidra." "Kalau begitu, saya masuk dulu, Pak," sambung Respati. "Oh iya, silahkan, Mas." Maman mempersilahkan Respati untuk masuk ke dalam rumah. Respati membuka pintu sembari mengucap salam dan langsung dijawab oleh ibu mertuanya yang sedang menonton tv. Ambar menyambut menantunya dengan senyuman ramah dan meminta Respati untuk masuk. Pandangan Respati tertuju ke arah dua gelas kosong yang masih berada di atas meja. "Oh, itu tadi gelas bekas Eric dan Lidra. Belum sempat dibereskan bibi," jelas Ambar seakan mengerti apa yang tengah dipikirkan Respati. Sedangkan Respati hanya tersenyum kecil. "Lidra ada di mana ya, Bun?" tanya Respati sembari melihat sekelilingnya karena tidak mendapati Lidra bersama dengan ibu mertuanya. "Lagi nonton film di kamarnya sama Eric," sahut Ambar santai. "Sama Eric?" Respati tak sengaja sedikit menaikkan nada bicaranya hingga membuat Ambar mengernyitkan dahi karena merasa heran dengan sikap Respati yang tak biasa. "Mereka memang sering bersama kok. Jadi nggak apa-apa, biarkan saja. Mungkin karena sudah lama nggak bertemu jadi rindu satu sama lain. Apalagi sejak Eric tinggal di Australia kan Lidra jadi kesepian," jelas Ambar tenang. "Tapi kan sekarang Lidra hilang ingatan, Bun. Dia juga pasti nggak akan ingat Eric," ujar Respati. "Makanya itu yang bikin Bunda bingung. Lidra lupa dan nggak ingat sama semua orang, tapi anehnya dia justru masih ingat sama Eric. Bahkan sampai kenangan mereka saat kecil, Lidra masih ingat dengan jelas," ungkap Ambar antusias. Respati hanya diam dan terlihat tidak suka dengan kenyataan tersebut. Seharusnya wanita itu ingat dengannya, bukannya justru mengingat pria lain. Karena bagaimana pun juga Lidra adalah istrinya meskipun ia tidak pernah mencintainya. Kemudian setelah itu, Respati berpamitan untuk datang ke kamar Lidra. Dia menekan ganggang pintu dan mendorongnya sedikit kasar hingga membuat dua orang yang tengah menikmati film itu sama-sama menoleh ke arah seseorang yang memasang wajah tidak menyenangkan. Raut wajah Respati seketika berubah merah padam saat melihat tangan Eric yang berada di pundak Lidra seakan memeluk wanita itu. Respati mendekati Lidra. "Ayo pulang." Nada suara Respati terdengar begitu dingin. "Kalau kamu tiba-tiba datang hanya untuk merusak suasana, mending sekarang kamu pergi dan jangan mengganggu," usir Lidra datar dan tak menggubris keberadaan Respati di sampingnya. Respati menatap Lidra dengan tatapan tidak habis pikir. "Aku suami kamu kalau kamu lupa!" tukasnya tajam. "Terus kenapa?" tanya Lidra acuh. "Kenapa? Masih tanya kenapa?! Apa baik seorang perempuan di kamar bersama dengan pria yang bukan suaminya, hah?!" Respati menaikkan nada bicaranya. "Dia sepupu aku kalau kamu lupa." "Kalau kamu ingin pulang, silahkan pulang sendiri. Karena aku sudah minta izin mama nginap di sini," sambungnya dengan raut wajah datar. Respati mengepalkan tangan erat dan samar melihat Eric tersenyum sebelum berbalik dan keluar dari kamar Lidra. TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD