BUNYI ponsel yang memekakkan telinga tak sanggup membuat Risa berniat mengangkatnya. Dia hanya menatap ponsel itu dengan wajah datar, tatapan matanya dipenuhi luka dan juga amarah. Dia hanya mendiamkan panggilan itu sampai sosok di seberang sana berhenti melakukannya, karena dia merasa lelah.
Risa menatap pemandangan tubuhnya di depan wastafel kamar mandi. Jejak-jejak yang ditinggalkan Alva di sana terlalu banyak dan membuat kulitnya tampak mengerikan. Dia menyentuh satu per satu jejak itu, lalu menghela napasnya kasar.
Untungnya ibu kosnya sedang tidak ada di tempat. Teman-teman se-kosan-nya yang tinggal di sana pun berkata akan bermalam di rumah kekasih masing-masing, karena mumpung ada kesempatan.
Risa sebenarnya juga ingin melakukan hal serupa. Setelah pulang bekerja kemarin, dia langsung sedikit berkemas, dan pergi ke luar kota untuk mengejutkan kekasihnya. Risa yang tahu Alan masih berada di kantor pun, langsung menghampirinya di sana, seperti biasa, saat dulu mereka masih satu tempat kerja.
Namun, pemandangan itulah yang dia dapatkan begitu sampai di sana.
Risa menghela napasnya kasar. Setiap kali dia mengingat semua itu, hatinya terasa terbakar. Amarah dari kepercayaannya yang dikhianati begitu saja oleh kekasihnya membuat emosinya berkobar.
Harusnya, saat itu dia langsung memarahi Alan dan memutuskan hubungan di antara mereka. Namun, dia langsung teringat akan begitu kerasnya Alan berjuang untuk mendapatkan hatinya sebelum ini.
Alasan itulah yang membuat Risa akhirnya termakan rayuan setan dan mendatangi Alva untuk menyerahkan harta berharga miliknya untuk memastikan, apakah Alan masih mau berjuang lagi mendapatkannya, walaupun dia tahu kalau Risa sudah tak lagi sama seperti dulu.
Benar, anggap saja Risa jahat, murahan, tidak tahu diri, bahkan gila sekali pun. Namun, hanya itu satu-satunya cara adil untuk membalas perlakuan gila kekasihnya itu.
Jika Alan menyerah, maka Risa akan dengan senang hati untuk melepaskannya. Risa tidak berharap dirinya akan dicintai banyak lelaki, karena walaupun dia cukup cantik, tapi kebanyakan dari mereka tidak menyukai sifatnya yang begitu keras, tegas, dan sok jual mahal.
Hanya Alan satu-satunya yang mau berjuang untuk mendapatkannya, karena kekasihnya tahu pasti, Risa masih perawan.
Jika Risa tak lagi suci, apa dia masih mau menerimanya kembali?
Tidak akan!
Risa tertawa pelan. Pria seperti itu ... tidak akan puas menerima wanita bekas orang lain untuk dijadikan istrinya.
Dan Risa, akan menerima semua keputusan Alan tanpa sedikit pun rasa kecewa.
Risa mengambil ponselnya. Lima panggilan tak terjawab dan sepuluh pesan belum terbaca datang dari kekasihnya. Risa memejamkan mata, menarik napasnya panjang, sebelum mulai membaca satu per satu pesan dari Alan.
Alan : Hari minggu gini, kamu lagi ngapain?
Alan : Kamu pasti sudah bangun, kan? Angkat teleponku, dong!
Alan : Risa, tumben kamu belum bangun jam segini?
Alan : Ris, angkat teleponku, Ris!
Alan : Kamu baik-baik aja, kan, Ris?
Alan : Aku khawatir, sayang, angkat teleponnya!
Alan : Risa, kamu beneran belum bangun?
Alan : Baiklah, aku hubungi kamu lagi nanti.
Alan : Jaga diri baik-baik di sana, ya?
Alan : Kalau kamu sudah bangun nanti. Jangan lupa balas atau minimal angkat teleponku, sayang!
Risa membaca pesan demi pesan itu dengan ekspresi tak keruan. Bagaimana bisa pria sebaik ini menduakannya? Apakah semua kebaikan ini hanya topeng belaka?
Satu pesan lagi dari Alan datang padanya.
Alan : Kamu belum bangun, Ris? Atau kamu lagi sakit? Aku perlu ke sana buat nyamperin? Kamu tunggu, ya? Aku akan jalan ke sana.
Risa buru-buru mengetikkan balasan saat membaca kalimat terakhir, kalau Alan mau ke mari.
Risa : Aku baik-baik saja.
Risa : Aku baru bangun, tidak apa-apa, aku hanya lelah, Alan.
Risa : Tidak perlu kemari.
Panik! Tentu saja! Kalau Alan sampai ke mari dan melihat penampilan Risa yang dipenuhi kissmark seperti ini, pasti pria itu langsung tahu apa yang telah dilakukannya. Walaupun lebih cepat lebih baik, tapi entah kenapa dia tidak ingin Alan tahu secepat itu ... dia merasa ingin menyembunyikan fakta ini lebih dulu dan mengungkapkannya suatu hari nanti.
Risa mendesah panjang. Dia tak melihat adanya balasan dari Alan dan dia benar-benar panik kalau Alan sudah bersiap untuk datang ke mari. Namun, Risa mencoba tenang, dia menarik napas panjang, lalu mulai mencari cara untuk menghilangkan bekas cupang di lehernya yang tak bisa ditutupi pakaian.
Ada beberapa cara alami, walaupun tidak bisa langsung hilang secara sempurna, tapi cara itu patut dicoba. Risa bahkan menemukan fakta lain, bahwa kissmark ternyata bisa menjadi sangat berbahaya, karena bisa menyebabkan stroke bahkan kematian.
Risa menyipitkan mata kala membaca artikel demi artikel di layar ponselnya. "Apa gue harus ngasih tahu Alva buat berhenti bikin cupang di tubuh gue lagi, ya?" katanya tanpa sadar.
***
Alva langsung mengerang malas begitu ia terbangun dan tak mendapati siapa pun berada di sampingnya. Matanya mendelik tajam pada tempat pakaian Risa yang telah ia lemparkan semalam. Tempat itu kosong, tak ada apa pun di sana. Risa telah mengambil pakaiannya kembali dan pergi dari sana.
Alva berdecak kesal. Perempuan itu meninggalkannya begitu Alva kelelahan dan jatuh terlelap. Meninggalkannya tanpa pamit ... berani sekali dia melakukannya?
Alva lekas bangun dari ranjang tanpa mencari pakaian lebih dulu. Tidak peduli pada tubuh polosnya yang kini terpampang tanpa sehelai benang pun, dia mencari-cari ponselnya dan begitu dia menemukannya, dahinya langsung mengernyit melihat tiga panggilan tak terjawab dari sepupu berengseknya.
"Kenapa dia nelepon gue?" tanyanya, agak curiga kalau Risa sudah memberitahukan hubungan gelap mereka pada Alan.
Namun, dia rasa hal itu juga tidak mungkin. Sekali pun memang mungkin, pastinya Alan akan langsung datang padanya, bukan hanya sekadar menghubungi ponselnya. Karena dengan mendatanginya, Alan bisa langsung menghajar Alva.
Alva menuju almari, mengambil boxer dan kaus bersih, lalu mengenakannya sebelum balik menelepon Alan. Dia rasa ada sesuatu yang sangat penting, sampai sepupu sialannya yang biasanya tidak pernah peduli padanya tiba-tiba saja menghubunginya.
"Halo? Kenapa lo nelepon gue?" tanyanya pada sosok di seberang sana.
"Anj*ng lo, gue nelepon dari tadi, kenapa baru dibalas sekarang, ha?!"
"Gue masih tidur nyenyak tadi," setelah di-ninaboboin sama pacar cantik lo semalam, lanjutnya dalam hati, lalu berdeham keras, "lo tahulah, gue biasanya kayak gimana?"
Alan mendengkus di seberang sana. "Lo masih sama temen tidur lo sekarang?"
"Kenapa?"
"Gue mau minta tolong lo, buat tengokin Risa? Gue chat sama telepon dia terus dari pagi, tapi nggak diangkat. Lo bisa, nggak?"
Alva hanya mendengkus pelan. Risa pasti masih marah pada Alan setelah apa yang sepupu sialannya itu lakukan. Namun, tentu saja dia tidak akan mengatakan hal itu. Biarlah urusan Alan dan Risa mereka sendiri yang membereskannya.
Walaupun dia ingin merusak hubungan mereka, tapi dia tidak akan terang-terangan juga untuk menunjukkan keinginannya itu, kan?
"Hm ... ntar abis mandi gue ke tempatnya. Tumben banget lo minta tolong ke gue?"
Alva menyeringai senang, tanpa sadar ini akan menjadi kesempatan emasnya untuk lebih mendekatkan dirinya pada Risa. Lebih lagi, karena kali ini sepupu sialannya yang mengizinkan langsung kedekatan mereka.
"Sebenernya gue males banget minta tolong ke lo kayak gini, tapi Ralf nggak bisa dihubungin sama sekali. Entah ngapain itu laki, padahal biasanya dia yang gue suruh buat ngawasin Risa di sana."
Alva hanya mendengkus keras. Dia akhirnya tahu, tangan kanan Alan yang mengawasi Risa selama ini. Dia bisa menjaga dirinya dan Risa dari pengawasan Ralf, jika diperlukan nanti.
"Ralf mungkin lagi jalan sama ceweknya. Sienna kan pulang dari Korea," jelas Alva panjang kali lebar.
Alan ganti mendengkus di seberang sana. "Pantes dia nggak bisa dihubungi sama sekali. Ya udah, lo cepetan mandi sana, terus tengokin Risa. Gue khawatir dia kenapa-kenapa di kos-kosannya."
"Kenapa lo nggak jalan aja ke sini sendiri? Bandung sama Jakarta nggak sejauh itu, kan, sampai lo nggak bisa ngunjungin dia dalam sehari?" Alva bertanya dengan dahi mengernyit. Walaupun dia tahu alasannya, tapi lebih baik bertanya daripada sesat di jalan, kan?
"G-gue lagi—"
"Lan, lo lagi teleponan sama siapa?"
"F*ck!" umpat Alva begitu mendengar suara wanita di seberang sana. "Lo beneran gila?"
"Jangan pernah kasih tahu Risa, gue tutup dulu teleponnya!"
Begitu sambungan itu terputus. Alva hanya memandangi ponselnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kalau lo emang udah nggak setia sama dia, lepasin aja dia berengsek!"
Alva mengembuskan napas panjang. Kemudian dia berjalan masuk ke kamar mandi, membersihkan diri lalu pergi melihat keadaan Risa.
Bisa dibilang, dia juga khawatir akan keadaan Risa sekarang. Setelah kemarin perempuan itu mendapat kabar mengerikan soal Alan dan Alva yang menidurinya sampai nyaris gila, karena dia tidak bisa menghentikan dirinya.
Dia pun takut terjadi apa-apa dengannya.
Risa ... bagaimana keadaannya sekarang, ya?
Dia baik-baik saja, kan, di sana?