Eps. 2 Bayangan Masa Lalu

1017 Words
Mobil hitam yang mengantar Vivian melaju pelan memasuki kawasan perumahan elite yang seolah terpisah dari dunia. Rumah-rumah besar berjajar seperti benteng megah yang menyembunyikan kisah-kisah sunyi di dalamnya. Namun, tak ada satu pun yang tampak sesunyi rumah bernomor 17—kediaman keluarga Hartanto. Pagar otomatis terbuka. Rumah itu menjulang tiga lantai, bergaya Eropa klasik dengan dinding putih gading dan pilar-pilar besar. Tapi yang membuat Vivian menggigil bukanlah ukurannya, melainkan aura sepi yang menguar kuat. Seperti rumah yang menyimpan rahasia. Begitu turun, pintu depan terbuka. Seorang wanita setengah baya menyambutnya dengan senyum tipis. “Selamat datang, Miss Vivian. Saya Bu Erna, kepala rumah tangga di sini. Silakan masuk,” ucapnya menyapa. Vivian mengangguk sopan, lalu melangkah masuk. Udara dingin langsung menyergapnya—entah dari pendingin ruangan atau suasana rumah itu sendiri. Di ruang tamu, suasana sunyi tak biasa. Lukisan-lukisan besar menggantung di dinding. Lantai marmer putih mengkilap seperti cermin. Dan di ujung ruangan… empat pasang mata kecil menatapnya dari balik tiang. Vivian menghentikan langkah. Anak-anak itu muncul satu per satu dari tempat persembunyian. Dua laki-laki dan dua perempuan. Semuanya memiliki sorot mata tajam yang tidak biasa untuk anak-anak seusia mereka. “Ini anak-anak Pak Leonard,” bisik Bu Erna. “Yang besar namanya Maya, enam tahun. Lalu Elan, Rafa, dan yang paling kecil Keira, empat tahun.” Maya maju pelan, berdiri dengan tangan di belakang punggung. “Kamu pengasuh baru?” “Iya,” Vivian tersenyum. “Namaku Vivian.” Mama mendongak. “Kamu mirip Mama.” Vivian tercekat. Keira, si bungsu kembar, langsung memeluk kaki Vivian. “Kamu cantik kayak Mama…” gumamnya. Seketika da-da Vivian sesak. Ia berjongkok, memeluk Keira dengan hati-hati. “Terima kasih…tapi aku bukan mama ya. Aku Vivian.” “Tapi kamu wangi kayak Mama,” kata Kelvin, si kembar laki-laki, dengan polos. Vivian menatap mata anak-anak itu. Ada kerinduan di sana. Tapi juga kehati-hatian. Seperti mereka pernah kehilangan…dan masih takut untuk percaya lagi. ** Hari-hari berikutnya, Vivian mulai terbiasa dengan rutinitas, bangun pagi, menyiapkan sarapan, menemani anak-anak bermain, membantu mereka belajar, membacakan dongeng sebelum tidur. Keempat anak itu sangat berbeda—Maya serius dan sensitif, Elan pemarah tapi diam-diam perhatian, Kelvin usil, dan Keira yang manja tapi penuh kasih sayang. Namun, yang membuatnya terus gelisah bukanlah anak-anak. Tapi sosok Leonard Hartanto. Pria itu jarang terlihat. Pulang larut, pergi pagi-pagi. Jika pun muncul, hanya dalam diam dan tatapan yang sulit diterjemahkan. Ia tak pernah benar-benar bicara banyak, hanya sesekali bertanya singkat, “Anak-anak bagaimana?” Tapi lebih dari itu… ada yang aneh. Vivian beberapa kali memergoki Leonard berdiri di tangga tengah malam, menatap ke arah kamar anak-anak dalam diam. Atau memandangi foto almarhum istrinya dari ruang kerja lantai dua—yang selalu terkunci, tapi satu kali terbuka karena ia lupa menutup rapat. Satu malam, Vivian memberanikan diri mengetuk pintu ruang kerja itu. “Masuk,” terdengar suaranya dari dalam. Vivian membuka pelan. Ruangan itu penuh rak buku dan pigura keluarga. Di tengahnya, Leonard duduk di depan meja, menatap selembar kertas seperti tersesat dalam pikirannya sendiri. “Maaf, saya mengganggu… Anak-anak sudah tidur. Keira tadi demam, tapi sudah saya kompres.” Leonard hanya mengangguk. Vivian hampir menutup pintu ketika pria itu berkata, tanpa menoleh, “Apa kamu pernah kehilangan seseorang yang sangat kamu cintai, Vivian?” Pertanyaan itu membuat Vivian terpaku. Suaranya terdengar datar, tapi di baliknya ada luka yang tak bisa ditutup oleh waktu. “Pernah,” jawabnya pelan. “Ayah saya. Tujuh tahun lalu.” Leonard menatapnya. Tatapannya gelap. “Tapi kamu tidak dihantui wajahnya setiap hari, kan?” Vivian tak tahu harus menjawab apa. Ia bisa merasakan beban di balik tatapan itu. Beban rasa bersalah… dan mungkin ketakutan. Leonard menutup map di hadapannya. “Anak-anakku mulai memanggilmu Mama. Itu tak seharusnya terjadi.” Vivian terdiam. “Saya tidak pernah menyuruh mereka.” “Aku tahu.” Leonard berdiri, mendekat beberapa langkah. Vivian nyaris mundur, tapi tetap berdiri di tempatnya. “Pertama kali aku melihatmu… aku pikir itu lelucon. Tapi makin kulihat, makin aku yakin…Tuhan sedang mengerjaiku.” Vivian mereguk saliva berat. “Apa kamu tahu, sebelum Karen meninggal… kami bertengkar hebat?” lanjut Leonard. “Aku menyuruhnya pergi sendiri malam itu. Hujan deras. Aku terlalu marah untuk peduli. Dan itu… terakhir kalinya aku melihatnya hidup.” Vivian merasa tenggorokannya tercekat. “Sejak itu,” Leonard melanjutkan, “Aku tidak tahu bagaimana caranya menjadi ayah. Atau bahkan… manusia biasa.” Lalu, suara itu meredam. “Tapi kamu datang. Dengan wajah itu. Dan suara yang hampir sama. Bahkan caramu menyentuh Keira… seperti dia.” Leonard menunduk. “Dan aku takut.” Vivian menatapnya. “Takut kenapa?” Namun Leonard tidak menjawab. Ia hanya kembali ke meja dan memalingkan wajahnya. Vivian melangkah mundur, menutup pintu perlahan. Tapi sebelum benar-benar tertutup, ia mendengar kalimat lirih dari dalam ruangan. “Kalau aku mulai menyukai wanita yang wajahnya mirip istriku… itu cinta, atau kegilaan?” ** Keesokan harinya, Vivian menemukan sesuatu yang aneh. Maya, yang biasanya pendiam dan rapi, menjadi gelisah. Ia sering menyendiri, menolak bicara. Saat Vivian mencoba mendekatinya, Maya berkata pelan, “Kamu jangan masuk kamar atas. Yang di ujung.” “Kamar siapa?” tanya Vivian bingung. “Tapi dia suka kamu… karena kamu mirip Mama. Tapi kalau kamu ke sana… kamu bisa bikin dia marah.” Vivian menatap Maya. “Dia?” Namun Maya hanya menunduk. “Jangan ke sana, Kak Vivi. Jangan buka pintunya.” Setelah menidurkan anak-anak malam itu, Vivian teringat ucapan Maya. Rasa penasaran menuntunnya ke lantai tiga. Kamar yang disebut Maya ada di ujung koridor gelap. Tidak ada lampu. Hanya suara jam berdetak dari kejauhan. Ia memutar gagang pintu. Terkunci. Tapi tak sepenuhnya. Sedikit dorongan, dan pintu berderit terbuka. Ruangan itu gelap. Tirai tertutup rapat. Tapi dari cahaya remang luar jendela, Vivian bisa melihat… Gaun pengantin putih tergantung di balik kaca lemari. Foto pernikahan besar di dinding. Sepatu heels putih mengkilap di lantai marmer. Dan di tengah ruangan… Sebuah kotak musik kecil. Terbuka. Masih berputar. Vivian melangkah masuk. Jantungnya berdetak tak karuan. Tangannya menyentuh kotak musik itu— “APA YANG KAU LAKUKAN DI SINI?!” Vivian menoleh cepat. Leonard berdiri di ambang pintu. Tatapannya bukan dingin. Tapi… marah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD