Prolog

512 Words
“Di mana aku?” katanya, “Apa ini mimpi?” Seorang gadis berambut hitam cepak menggaruk kepalanya, bingung, mengapa sekelilingnya terlihat aneh. Ia berada di sebuah padang hijau dengan hamparan bunga dan pohon-pohon. Cuacanya cerah dan terik tetapi angin berembus sejuk di lehernya. Kakinya melangkah untuk melihat lebih jauh lagi. “Namamu Edith, benar?” Edith terkesiap dan berbalik saat namanya dipanggil. Ia melihat sosok wanita cantik yang mengenakan gaun abad pertengahan berdiri di hadapannya. Edith memiringkan kepalanya. Dia tidak mengenal wanita itu sama sekali. “Kau siapa?” “Aku adalah Isabella.” Dia tersenyum tipis, terkesan cantik dan sendu. Seolah guratan tipis di bibirnya itu menyimpan sejuta luka yang ia tahan selama ini. Edith mengulum bibirnya sendiri, ia tidak kenal siapa itu Isabella. “Apa kau yang memanggilku kemari, anu, Nona Isabella?” tanyanya canggung. Isabella menggeleng pelan. Sial, Edith bahkan terpana hanya dengan gelengan anggun itu. Dia tidak bisa membayangkan siapa pria yang sangat beruntung untuk menikahi manusia titisan dewi sepertinya. “Aku ingin meminta maaf padamu, Edith.” Edith kaget. “Meminta maaf? Anu, memangnya anda sudah melakukan apa sampai harus meminta maaf padaku? Padahal kita baru bertemu sekarang.” Dia tertawa hambar karena mendengar perkataan Isabella yang terdengar aneh. Isabella mengulurkan tangannya dan menggenggam telapak tangan Edith, yang dipegang hanya kaget sembari menahan napasnya. Matanya melirik tanda lahir Edith yang terukir di lengan kanan bagian atas. Isabella kembali tersenyum sendu melihatnya. “Sekali lagi, aku akan meminta maaf padamu, Edith. Mungkin ini akan menjadi perjalanan panjang dan menyakitkan. Kau mungkin juga akan menangis di akhir kisah. Segalanya terasa rumit dan kepalamu akan terasa seperti akan pecah. Namun, aku tahu, kau adalah wanita yang tangguh dan berpendirian kuat. Itulah kenapa aku memilihmu untuk melakukannya.” Isabella mengakhiri perkataannya dengan mengelus pipi Edith dan menyatukan dahinya dengan milik gadis itu. “Berjuanglah, Edith. Aku akan selalu berada di sisimu.” Edith yang masih tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi langsung mendorong Isabella ke belakang dan menutupi wajahnya yang memerah akibat canggung. Edith membuka matanya kembali dengan cepat. “A-apa yang kau lakukan padaku … eh?” Ia melanga. Kedua matanya mengerjap berulang kali. Pemandangan yang kini ia lihat bukan padang hijau luas maupun wajah Isabella, melainkan langit-langit kamarnya yang sudah coklat dan berjamur akibat termakan usia. Edith mengucek matanya berulang kembali untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi. Namun, tidak ada yang berubah. Edith menghela napasnya lelah. “Hanya mimpi rupanya, toh.” Ia beranjak duduk dan melihat ke jam dinding tanpa bingkai di kamarnya. Netranya membulat melihat arah jarum jam panjang yang mengarah ke angka sepuluh. Gawat, dia harus segera bersiap-siap untuk pergi kencan dengan temannya yang ia dapat melalui aplikasi dating online! Edith turun dari ranjang dan menyambar handuk di atas lemari. Dia pergi ke luar kamar lalu menghampiri ibunya yang ada di dapur sebelum melipir ke kamar mandi. “Ibuuu! Buatkan aku sarapaaaan.” “Buat saja sendiri! Dasar tukang molor!” *** Pesan Penulis : Mohon maaf atas ketidaknyamanannya, INYWD sedang dalam proses perbaikan chapter agar sama seperti di versi cetak. Mohon ditunggu dengan sabar!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD