Chapter 5 : Love & Paintfull

1830 Words
"Aku rasa. Saat ini, Alexander sekarang mendapatkan karma." Lorna menyeletuk. Mengusap gelas berisi teh bunga nya yang terasa hangat. "Karma?" tanya Milla. Mengangkat sebelah alisnya. Tinggi. "Kau tahu, bagaimana dia memperlakukan daddy ku dulu. Dia menggendongku, sekaligus memukul bokongku di depan daddy. Tidak hanya itu, Alexander membuat surat kehamilan palsu agar bisa membawaku ke mansion!" "Ya. Aku ingat. Karena aku yang membuat surat kehamilan itu," kekeh Milla. Tersenyum lebar. "Dia pernah menjadikan daddy ku hadiah giveaway. Bahkan membiarkannya tidur di luar. Kau tahu kan? Dia sangat berengsek!" leguh Lorna. Kesal. "Memang. Sangat berengsek. Dulu, sebelum ada kau, Alexander memiliki sekretaris, asisten dan pelayan super cantik," sambung Milla. Turut memanasi. Meraih sepotong roti berisi coklat dan langsung melahapnya cepat. "Sekarang, jangan coba-coba. Aku tidak akan segan, Milla." "Ya. Aku tahu, hobby mu dulu. Kabur!" Lorna meringis malu. Spontan mendorong Milla. Membuat roti yang di tangan wanita itu jatuh. Tergeletak di lantai. Segera, Milla bergeser, mengambil kembali. "Belum lima menit," katanya. Lalu menggigit roti, tersenyum lebar. Lorna tertawa, lebar. Menggeleng-gelengkan kepalanya. *** "Edward!" sambut Alexander. Tepat pukul sembilan pagi, saat mansion nya mendadak mendapatkan kunjungan. "Sir. Maaf, aku mengusik kalian semua," leguh Edward. Mengedarkan matanya ke tiap orang. "Tidak masalah. Masuklah. Kau mencari Caroline?" tanya Alexander. Menepuk pundak lebar Edward yang terlihat tegap. "Ya. Kami akan berangkat tour dua hari lagi, sesuai janji. Tapi, aku tidak bisa menghubunginya semalaman," jelas Edward. "Alex. Ada apa?" tegur Lorna. Muncul bersamaan. Memasang wajah khawatir. "Honey. Edward mencari tunangannya, putri kita. Kau pasti tahu di mana dia, 'kan?" tanya Alexander. Sengaja. "Ah. Caroline sejak pagi pergi bersama...." "Sejak semalam. Dia tidak pulang," sela Alexander. Membuat Lorna mendelik. Menajamkan matanya gesit. Edward mengerutkan kening. Sekilas melirik ke arah Rami. Pria itu berdiri. Tegap, di sisi pintu. Enggan masuk. "Maksudmu?" tanya Edward. Menatap Alexander dan Lorna bergantian. "Aku akan mengirim alamat seseorang. Kau pergi saja sendiri untuk menjemput Caroline. Bagaimana?" "Alex!" sentak Lorna. Lantas, melihat pria itu meraih ponsel. Mengetik sesuatu di layar, dan beberapa saat selanjutnya ponsel di dalam saku pakaian Edward berbunyi. "Itu alamatnya. Datangi saja!" titah Alexander. Mendelik sekilas ke arah Lorna. Edward mengulum bibir. Mengangguk paham. "Baiklah. Aku akan segera pergi. Thanks, Sir." "My pleasure," balas Alexander. Mengulas senyum. Lantas, memutar tubuhnya lebih dulu. Bergerak menjauh. "Kau tidak bisa melakukan itu pada putrimu, Alex!" teriak Lorna. Turut berputar. Mengikuti langkah Alexander. Namun, pria itu diam. Mengabaikan. Menarik napasnya dalam. Menghela berat. Edward mengangguk. Mengirim ulang alamat yang di berikan Alexander pada Rami. Lalu segera bergegas, bergerak menuju penthouse milik Luiz. *** "Kau mau pergi bekerja?" tanya Caroline. Bergerak pelan. Tanpa melepas pandangan dari Luiz. Pria itu bangun lebih pagi, berpakaian casual. Terlihat menarik. Rapi. "Ya. Sarapan mu datang sebentar lagi," angguk Luiz. Memasang arloji di tangannya. Sembari bergerak mendekat. Mengecup kening Caroline singkat. "Baru kali ini, aku berharap kau sebaiknya menjadi pengangguran." Luiz tersenyum lebar. Menarik selimut dengan kedua tangan. Menutupi d**a Caroline yang nyaris terlihat. Naked. "Aku akan pulang cepat," janji Luiz. "Seberapa cepat?" tanya Caroline. Membuat Luiz melirik ke arah arloji. Menghitung waktu. "Sebelum makan malam." "Itu sangat lama. Aku akan bosan. Kalau begitu, aku akan pergi ke galeri tas atau makan bersama Vaye." "Hmm." Luiz mengangguk. Mengusap lembut rambut panjang Caroline. Halus. Sekali lagi, ia memberikan hadiah. Kecupan manis tepat dibibir. "Aku pergi," ucapnya pelan. Memerhatikan Caroline hingga wanita tersebut mengangguk. "Aku akan kembali ke mansion untuk mengambil ponsel dan beberapa pakaian." "Ya." "Oh ya, Luiz. Aku pikir, aku akan segera bicara bersama Edward," ulas Caroline. Menelan ludahnya kasar. Sesaat, Luiz memilih bungkam. Memalingkan pandangan saat mendengar bel penthouse nya berbunyi. Seseorang datang. "Aku harap kau memilihku!" pinta Luiz. Kembali mengalihkan pandangan. Menatap sekilas pada Caroline. Wanita itu tidak menjawab. Melekatkan selimut ke tubuhnya. "Aku akan memeriksa," tunjuk Luiz ke arah pintu. Caroline mengangguk. Menghela napasnya berat. Menatap kepergian Luiz. "Mungkin saja Rose. Ah. Aku harus melihatnya," pikir Caroline. Turut bergegas, menuruni ranjang. Meraih bathrobe untuk membungkus tubuh naked-nya. *** Luiz membuka pintu. Mengangkat tegas kepalanya. Ia mengerutkan kening, mengedarkan mata. Liar. Menatap sosok pria yang datang, jelas tidak ia sangka. Edward Jaime Stark. "Kenapa kau di sini?" tanya Luiz. Serak. Sekilas melirik Rami yang sama herannya. "Aku mencari tunangan ku. Caroline." Timpal Edward. Membuat Luiz mendengus berat. Menggaruk pelipis kanannya dengan ibu jari. "Luiz siapa yang...." Caroline menelan saliva. Menarik pintu lebih lebar. Namun mendadak, jantungnya berdetak. Cepat, bersamaan dengan napas yang tercekat. Ketat. Hampir saja ia jatuh, saat bergeser mundur. Luiz menahannya. Memegang segera pinggul Caroline. Khawatir. "Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Edward. Serius. "Sebaiknya kau berhenti mengusik...." "Luiz biar aku yang bicara!" sergah Caroline. Memegang sisi tubuh pria tersebut. Meremas bahunya cukup keras. "Keluarlah!" tarik Edward. Memegang pergelangan tangan Caroline. Namun, Luiz sigap. Memegang lengan satunya. Caroline mendelik. Menatap masing-masing pria bergantian. "Luiz please!" pinta Caroline. Menatap kosong ke arah pria tersebut. "Masuk. Aku yang bicara!" balas Luiz. Enggan. "Lepaskan tunanganku!" sergah Edward. Keras. Mendorong Luiz. Nyaris melepas pautan. "Berengsek!" "Luiz don't!" Bugh!! Edward terpental. Terbentur tembok, setelah mendapatkan pukulan mendadak dari Luiz. Tepat mengenai wajah. "Edward. Ed!" Caroline berteriak. Berlari melewati Luiz. Memegang wajah pria tersebut. Memeriksa cepat."Hidungmu berdarah!" usap Caroline. Menyeka panik. Rami berlari, berdiri menghadang Luiz. Menatap kilat. Marah. "I'm okay!" tutur Edward. Menarik napasnya dalam. Caroline mengangkat pandangan. Menoleh pada Luiz. Tajam. "Kau memalukan!" teriaknya keras. Menggenggam tangan. "Ayo Ed. Kita pergi dari sini!" ajak Rami. Memutar badannya. Segera mendekati Edward. Pria itu menelan ludah. Menarik dalam napasnya. "Ed. I'm sorry!" ucap Caroline. Membantu pria itu bangun. "Kita bicara nanti!" ulas Edward. Kesal. "Jika terjadi sesuatu. Aku akan melaporkan ini pada polisi," ancam Rami. Menunjuk Luiz. Lantas, berlalu pergi. "Caroline," panggil Luiz. Pelan. Menelan kasar saliva nya. Dalam. "Kau terlalu temperamental. Tidak hanya sekali, kau memukul seseorang, Luiz. Pertama Elton Grover, sekarang Edward," jelas Caroline. Mengingatkan. "Sudah aku katakan. Biarkan aku yang bicara!" "Aku minta maaf," dengus Luiz. Serak. Meraih salah satu tangan Caroline. Menggenggam rapat. "Aku mencintaimu." "Aku juga mencintaimu Luiz. Tapi kau...." Caroline terdiam. Menutup matanya rapat. Memegang sudut kening. Pandangannya gelap sesaat. Pusing. "Caroline?" panggil Luiz. Lebih mendekat. "Sudahlah!" ucap Caroline berdecak kesal. Malah membuka tangan. Memeluk Luiz. Menaruh kepalanya di d**a bidang pria itu dekat. Luiz membuang napas, lega. Lekas mengecup puncak kepala Caroline lembut. Dan, dalam waktu bersamaan. Rose yang tadinya berniat mengunjungi penthouse milik Luiz. Mendadak menghentikan langkah. Lemas. Ia mengatur napas. Sesak akibat cemburu. Memerhatikan Luiz bersama Caroline. Begitu perhatian. Mereka, bahkan berciuman. "Luiz tidak pernah memperlakukanku begitu," batinnya. Sesak. Sekilas menyeka mata yang basah. "Aku sangat mencintaimu, Luiz. Sangat," lirih Rose berat. Mengepal tangan. Tidak bergerak meski selangkah. "Masuklah!" ucap Luiz, sambil mendorong tubuh Caroline. "Gendong!" mintanya manja. Mengangkat tangan. Menaruh pada bahu pria tersebut. "Hmm." Luiz tersenyum lebar. Saat Caroline mendadak melompat. Sambil mengangkat kaki. Melipatnya ke atas. Luiz sigap. Menangkap cepat. Menaruh tangan satunya pada pinggul Caroline. Memeluk erat. Mereka tertawa, keras. Kembali masuk ke dalam Penthouse seakan tidak terjadi apapun. Sementara Rose. Hanya terdiam kaku. Memerhatikan seksama. Hingga kedua sosok itu hilang tanpa menyadari kehadirannya. Sakit memang. "Aku tidak akan membiarkannya. Tidak akan!" *** "Kau tidak apa-apa?" tanya Rami. Menyodorkan tissue. "Ya." "Dia keterlaluan. Kau harus melaporkannya," tegas Rami. Kesal. "Tidak perlu. Aku tidak seharusnya menarik Caroline seperti itu," leguh Edward. Menarik napasnya dalam. "Lagipula, kenapa Caroline berada di penthouse itu. Mereka berdua." "Aku tidak curiga. Mereka tumbuh sejak kecil. Jika aku berada di posisi pria itu, aku mungkin melakukan hal yang sama." Edward menarik napas. Mengusap hidung. Masih berdarah. Namun, ia tidak dendam. Sama sekali. "Kau memang selalu seperti itu. Berpikir positif!" "Aku sudah melalui banyak hal. Jadi, aku tidak ingin lagi seperti itu," balas Edward. Datar. Meraih ponsel dan memeriksanya. "Ya. Aku takut. Gadis itu menusuk mu dari belakang. Harusnya aku tidak menerima..." Rami terdiam. Memukul setir. Menarik napasnya dalam. "Apa yang kau terima?" tanya Edward. Menoleh tajam, degan pandangan penasaran. Rami mendongak. Membetulkan posisi, sambil menggelengkan kepalanya. "Aku hanya asal bicara," tandas Rami. Berpaling arah. Mulai menginjak gas. Berlalu pergi dari area parkir penthouse. "Aku harap kau menjelaskan kesalahan bicaramu padaku saat kau siap," sindir Edward. Merasakan sesuatu yang terkesan tidak beres. Berkat tampilan dari sahabat yang sejak lama ia kenal. "Aku tidak mengkhianatimu," tegas Rami. "Aku tidak bilang kau berkhianat." "Kau fokus saja pada tourmu. Mulai hari ini berkemaslah. Caroline ikut atau tidak, terserah!" ujar Rami. Sengaja mengalihkan pembicaraan. Enggan lebih banyak memberi respon. Takut salah bicara. "Hantarkan aku ke tempat Eivne!" pinta Edward. "Eivne? mantan pacarmu?" tanya Rami. Seakan tidak percaya. "Ada yang masih harus aku urus dengannya," sergah Edward. Membuang tissue. Lekas berpaling ke sisi lain. Mengabaikan Rami. *** Open Sea Yatch | 09.35 AM Belum lama, setelah Luiz sampai. Shannon terlihat melenggang. Muncul dengan dress ketat berwarna merah. Menenteng handbag barunya. Keluaran Louis Vuitton. Sekilas, wanita itu tersenyum. Pelan mendekati Luiz. "Hey. Kau sudah sarapan?" tanya Shannon. Duduk di kursi yang memang berada dihadapan Luiz. Pria itu menoleh. Menjawab dengan sekali anggukan. Datar. "Padahal. Aku ingin mengajakmu makan." "Aku sibuk!" jelas Luiz. Serak. Shannon mendelik. Menelan ludahnya kasar. Hampir saja ia tercekat. Seumur hidup, baru kali ini Shannon merasa ditolak. "Luiz. Boleh aku tanya sesuatu?" Shannon menepis rambut. Menaruh handbag nya di meja. Menunggu respon dari pria tersebut. Akan tetapi, yang ia dapat hanyalah sebuah anggukan. Lagi. Dingin dan datar. "Kau tidak Gay, 'kan? Hmm. Maksudku, kau..." "Aku punya kekasih. Hamil," sela Luiz. Memberi jawaban. Shannon mengangguk. Menggigit bibir bawahnya keras. Ia mengangkat alis. Mengedarkan mata. Setia, menonton Luiz. Pria itu fokus. Sigap menyelesaikan pekerjaan. Teliti. "Ah. Aku pikir kau tidak tertarik pada wanita. Okay. Kau akhirnya bisa menjawab pertanyaan ku. Ngomong-ngomong, berapa usia kandungan....." "Wait!" terus. Luiz kembali menyela. Segera bergerak berdiri, menyambar ponsel yang sejak tadi tergeletak di meja. Shannon mendengus. Sedikit terusik. "Aneh. Siapa kekasihnya, hingga seorang pria terlihat sama sekali tidak tertarik padaku," pikir Shannon. Menenteng kembali handbag nya. Berjalan mendekati Luiz, yang tengah menerima panggilan. Caroline menghubunginya. "Lain kali kita bicara lagi," tutur Shannon. Mengusap bahu tegap milik Luiz, sambil melewatinya. Luiz mendelik. Menelan ludahnya kasar. Bergerak memutar tanpa menjawab Shannon. "Siapa?" tanya Caroline. Curiga. Terdengar serak. "Aku lupa namanya," balas Luiz. Berkata jujur. "Apa? Bagaimana kau bisa lupa dengan namanya? Sepertinya kalian baru bicara," leguh Caroline. Luiz tersenyum. Mengulum ujung bibirnya lebih dalam. "Kau cemburu?" "Tidak. Aku tidak cemburu," tolak Caroline. "Yakin?" tanya Luiz. Enteng. "Kau mau ku pukul?" tawar Caroline. Membuat Luiz tertawa. Lebar. Akhir-akhir ini, mudah baginya untuk tersenyum. Berekspresi lepas. "Kenapa kau meneleponku?" tanya Luiz. Penasaran. "Jangan mengalihkan pembicaraan. Jawab aku, siapa wanita tadi?" balas Caroline. Kesal. "Dia putri kedua keluarga Moreira. Mereka memperkerjakan ku, dan soal nama, aku memang lupa," jelas Luiz panjang lebar. "Aku senang mendengar kejujuran mu," celetuk Caroline. Tenang. Menarik napasnya dalam-dalam, lalu mengembus lega. "Jadi?" tanya Luiz. Singkat. "Ah. Aku ingin hanya ingin memberi kabar. Saat ini, aku sedang menunggu Vaye. Kami akan ke mansion." "Kau masih menginap di penthouse, 'kan?" tanya Luiz. Segera. "Jangan khawatir," ucap Caroline. Jelas. "I love you," balas Luiz. Pelan. "I love you too."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD