"Caroline hamil!" sergah Milla, tegas. Mengulum bibir, menatap kilat pada Alexander. Pria itu mendelik, membuka pupil mata lebar. Tercengang tanpa suara. Billy bergeser, menatap kosong, sama terkejutnya.
"Jangan membohongiku di saat seperti ini!"
"Tidak ada untungnya bagiku membohongimu seperti ini, Alex!" bentak Milla.
"Kau mungkin salah." Alexander menuding. Mengangkat salah satu jari. Menunjuk Milla.
"Memang. Aku belum mengeceknya menggunakan testpack. Tapi, lewat pengalaman yang pernah aku lewati, demi Tuhan, aku tidak akan salah."
"Alexander!"
"Lorna diamlah! Aku tidak memerlukan pendapatmu," tandas Alexander. Menyela percakapan wanita tersebut.
"Caroline bukan hanya putrimu!" teriak Lorna. Lantang.
"Tapi dia tanggungjawab ku!" balas Alexander, tidak kalah lantang. Membuat Lorna diam. Bergetar, takut.
"Kau tidak punya jalan lain selain memberikan Luiz kesempatan!" tegas Milla.
"Kita belum tahu pasti ayah dari anak itu. Bisa saja Edward, atau pria lain," sanggah Alexander.
"Apa maksudmu Alexander? Kau menuduh Caroline?" tantang Lorna.
"Mendengar kalimatmu barusan. Membuatku yakin, bahwa alasan mu untuk mendidik Luiz maupun Caroline hanyalah kebohongan," tandas Milla.
"Jangan mempersulit. Luiz saat ini bekerja untuk pesaing, dan menurutmu, apa dia masih bisa menjadi ayah dari anak yang di kandung Caroline?" tantang Alexander. Memanas.
"Akui saja. Kalau semua rencanamu gagal! Kau yang mempersulit. Jika kau tidak mengancam putraku, semua tidak akan terjadi. Ada banyak cara untuk mencapai tujuanmu tapi kau tidak memilih itu. Kau memilih menyingkirkan Luiz!"
"Milla!!" Billy mengambil alih. Berteriak kencang. Menggenggam tangannya begitu ketat.
"Kenapa? Kau masih ingin menentang ku? Katakan saja, Billy. Kau takut jika Alexander memecat mu? Hah?" Milla semakin geram. Mengepal kedua tangan. Ia meledak. Sulit mengontrol emosi. Billy memilih bungkam. Berpaling ke lain arah. Mengabaikan Milla.
"Aku harus bicara pada putramu!" tegas Alexander. Mengarahkan pandangan pada Billy.
Lalu bergerak melangkah, meninggalkan semua orang dengan pikiran kacau.
"Kau masih tertarik untuk pergi shopping bersamaku, Lorna?" tanya Milla.
"Ya. Sure. Aku ingin membeli banyak barang."
"Kita akan memiliki cucu dari Caroline dan Luiz, akhhhh!!" kedua wanita itu berteriak, serentak. Menyatukan tangan. Melakukan tos. Terlihat senang, penuh semangat.
"Nanti malam kita beritahu mereka. Okay!" tawar Milla.
"Okay! Akan ku hubungi Luiz untuk datang ke mansion," ujar Lorna. Melebarkan mata. Menyambut bahagia. Milla mengangguk. Merangkul tangan sahabatnya. Erat.
***
Caroline menyuapi makanan ke dalam mulut. Lebih berselera dari biasanya. Ia mengangkat alis. Mendadak memeriksa i********: milik Luiz. Tidak banyak perubahan. Pria itu memang jarang menggunakan sosmed. Padahal, ia memiliki banyak pengikut.
"Dia mengikuti Rose. Tapi tidak denganku," gumam Caroline kesal. Meraih ponsel satunya. Lekas menghubungi Luiz tanpa berpikir. Ia menggaruk kening. Mendadak gusar.
"Berengsek! Setelah puas meniduriku semalam, dia sekarang tidak mengangkat panggilan." Caroline kesal. Melempar ponselnya kembali ke ranjang.
"Oh my God. Aku harusnya tidak memikirkan Luiz. Aku harus fokus pada Edward," timpal Caroline. Lantas mendengar seseorang mengetuk pintu. Berat.
"Masuklah Elizabeth!" ujar Caroline. Kenal. Setelahnya, tidak lama pintu kamar itu terbuka. Lebar.
"Kau sudah selesai sarapan, Nona?" tanya Elizabeth.
"Belum. Bisa bawakan aku semangkuk lagi? Ini enak," pinta Caroline.
"Kau yakin? Biasanya nona selalu diet." tegur Elizabeth. Sekadar mengingatkan.
"Aku ingin semangkuk lagi. Jadi cepat ambilkan!" titah Caroline. Mulai emosi. Tegang.
"Ya. Akan ku ambilkan segera."
"Wait. Kenapa kau berpakaian secerah itu? Kau mau kemana?" tanya Caroline. Menatap Elizabeth mengenakan pakaian yang cukup kontras. Atasan orange, bawahan hijau terang, serta sepatu kuning stabilo. Belum lagi, wanita itu baru saja memotong serta menyemir blonde rambutnya.
"Aku akan ke pantai siang ini, Nona."
"Pantai? Lalu siapa yang mengurusku?" tanya Caroline. Heran.
"Setelah makan siang, nyonya Lorna akan pulang dan menemui nona."
"Baiklah. Kalau begitu turunlah, cepat! Ambilkan makananku." Titah Caroline. Membuat Elizabeth mengangguk. Mengusap rambut barunya yang terlihat mengilap.
"Norak!" singgung Caroline. Memerhatikan Elizabeth. Hingga wanita itu hilang dari keseluruhan pandangannya. Caroline mengulum bibir. Kembali meraih ponselnya. Menekan-nekan benda canggih itu bosan.
"Pantai. Aku sudah lama tidak pergi ke pantai," lirih Caroline. Membuka galeri. Memerhatikan beberapa foto pemotretan yang tempatnya tepat berada di pantai.
"Aku sangat cantik," puji Caroline. Bangga diri.
"Akan ku posting ini." Caroline membuka media sosial— i********:. Mengunggah foto lamanya, sambil memberi caption.
'Menyenangkan, jika seseorang bisa mengajakku ke sini.' tulis Caroline. Serta memberikan emoticon wanita menari. Setelahnya, Caroline terlihat berbaring. Menunggu beberapa respon. Edward memberikan komentar, dan Caroline segera membukanya.
'Menyenangkan, jika aku bisa membawamu ke sana.'
"Aku tidak butuh komentar. Aku butuh pantai," marah Caroline. Tanpa berniat membalas respon Edward.
***
"Pekerjaan mu dihari pertama baik," ulas Shannon. Putri kedua dari keluarga Moreira. Memiliki wawasan luas, dengan nilai camlaude dari kampus bergengsi yang ada di New Heaven— Yale.
"Thanks," balas Luiz. Datar. Memeriksa berkas. Tanpa mengalihkan pandangan.
"Kau sangat dingin. Apa sifatmu memang begini?" tanya Shannon. Menyentuh lengan Luiz. Mengusapnya lembut. Luiz mendelik. Menyingkirkan berkas. Alasan, agar bisa membuat Shannon mengalihkan diri.
"Maaf," timpal Shannon pelan. Ia hanya terbiasa. Bersikap ramah, serta agresif terhadap banyak orang.
"Aku akan mempelajari semua berkas. Bisa ku bawa pulang?" tanya Luiz. Menatap Shannon.
"Ya. Tentu bisa. Kau berhak melakukan apapun demi perbaikan sistem Open Sea. Daddy sangat menyukaimu."
"Thanks," balas Luiz. Santai. Tidak terlalu menanggapi Shannon. Ia hanya minta jawaban tentang berkas. Bukan penilaian keluarga Moreira.
"Oh ya. Sebagai team. Apa aku bisa meminta nomor ponselmu? Mungkin, ada sesuatu yang harus aku bahas mendadak. Kita bisa lebih leluasa membicarakannya." Shannon melempar senyum. Mengarahkan mata begitu tepat. Hanya pada Luiz. "Tenang saja. Semua hanya sebatas pekerjaan," sambung Shannon. Membaca lekuk wajah Luiz yang terlihat keberatan.
"Ya." Luiz meraih ponsel Shannon. Mengisi nomornya tanpa suara. Lantas, kembali menyerahkan benda tersebut.
"Thanks. Akan ku kirim pesan teks agar kau bisa menyimpan nomorku," timpal Shannon. Mengulum senyum. Luiz tidak merespon. Segera menundukkan pandangan. Kembali menatap berkas.
"Oh ya. Yang harus kau tahu, Open Sea tidak memiliki jam pulang yang tetap. Jika kau ingin pulang lebih cepat, silakan. Asalkan semua pekerjaan selesai," jelas Shannon. Beranjak bangkit dari sisi kursi. Menarik handbag yang ia beli dari galeri milik Caroline kemarin.
"Ya." angguk Luiz tanpa menoleh.
Shannon menghela napas. Mengerutkan kening. Sungguh, baru kali ini ia berhadapan dengan pria yang terlampau dingin. Luiz bahkan tidak terlihat tertarik dengannya.
"Mungkin dia gay," batin Shannon, sambil menggigit bibir bawahnya. Masih memerhatikan Luiz. "Sayang sekali. Dia sangat tampan." ulas Shannon lagi. Lantas, tersadar dari lamunan setelah ponsel miliknya berdering.
Luiz mengangkat pandangan. Setelah menyadari Shannon beranjak pergi. Pria itu turut memeriksa ponsel. Mengingat beberapa panggilan sempat ia abaikan tadi. Kening Luiz mengerut. Menatap layar. Memerhatikan nama Lorna serta Caroline menghubunginya.
Hmm. Luiz bergumam. Menekan panggilan kembali. Lebih dulu pada Lorna. Ia penasaran. Mungkin, wanita itu meminta penjelasan setelah mendengar cerita dari Milla.
"Luiz. Kau dimana?" sambut Lorna. Tenang. Namun, suaranya jelas begitu bahagia.
"Masih bekerja. Kenapa?" tanya Luiz.
"Kapan kau pulang?"
Luiz melirik arloji. Memerhatikan angka di sana. Menghitung beberapa berkas yang berada di depannya. "Aku belum bisa memprediksi."
"Okay. Tidak masalah. Jika bisa, tolong, malam ini ke mansion. Ya. Ada yang ingin mommy bicarakan. Kau harus tahu kalau Caroline...."
"Caroline....?"
"Kita bicara nanti malam saja. Kami masih berbelanja di luar. Bye." tutup Lorna. Hampir saja keceplosan. Untung, Milla menahannya. Menutup mulutnya dengan sepotong kue.
Luiz mengerutkan kening. Menggelengkan kepala. Aneh. Namun, jujur saja, pria itu langsung penasaran. Lorna terdengar serius.
Beberapa saat kemudian. Luiz menghela napas. Melihat notifikasi masuk. Berasal dari fake account Instagramnya. Segera, pria tersebut membukanya. Melihat postingan Caroline. Ia tersenyum, simpul. Mengusap wajah Caroline dari layar ponselnya. Turut memberi komentar.
I'm ready ❤ '
Luiz tersenyum. Mendadak mengemas berkas. Membereskan meja. Mengunci masing-masing tempat. Ia berdiri, dan beranjak meninggalkan Open Sea.
***
"Kenapa kau memanggilku?" tanya Caroline. Menatap Luiz dengan wajah pucat. Namun, tetap terlihat cantik meski hanya mengenakan denim pendek dan atasan tanpa lengan.
"Naiklah!" titah Luiz. Menunjuk bangku motornya yang kosong.
"Naik?"
"Ya. Naik saja!" lagi. Ajak Luiz.
"Kau ingin membawaku kemana?" tanya Caroline ragu.
"Kau tidak akan tahu, jika tidak segera naik," balas Luiz. Datar.
Caroline menghela napas. Menelan ludahnya kasar. Ia menggigit bibir. Sekilas menatap ke arah Luiz. Pria itu tersenyum. Pulas. Terlihat begitu tampan, dan entah kenapa, Caroline merasa perutnya mendadak hangat.
"Kemarilah!" Luiz mengangkat helm. Mengusap wajah Caroline begitu lembut. Menyelipkan rambut dibalik telinga, lalu memakaikan gadis itu pelindung kepala. Demi Tuhan, Caroline berdebar. Kuat. Merasakan sebuah ikatan yang sulit ia ungkapkan.
"Thanks," ujar Caroline. Pelan. Tanpa melepas pandangannya dari Luiz. Pria itu mengangguk. Berhasil mengaitkan helm pada Caroline.
"Cantik," pikir Luiz. Cukup terpesona. Caroline mengalihkan pandangan. Melangkah sedikit kebelakang. Menaiki motor. Tanpa diminta, ia mendekat, memeluk Luiz dari belakang. Lebih rapat.
"Hmm. Dia sangat harum," pikir Caroline. Sambil memejam mata. Menaruh pipi pada bahu lebar Luiz. Mempercayakan pria itu membawanya.
***
Caroline tersenyum. Segera beranjak turun dari motornya. Perjalanan mereka tidak terlalu jauh. Hanya sekitar empat puluh lima menit, dan sekarang, gadis itu menginjakkan kakinya di pantai. Luiz membawanya.
"Oh my God. Dari mana kau tahu kalau kau sangat ingin ke sini? Kau tidak mengikuti Instagramku," ucap Caroline. Mengedarkan mata. Menatap pasir putih dengan ombak bergulung pelan. Cantik.
Luiz diam. Tidak bersuara. Melepas jaket denim ditubuhnya. Menaruh benda tersebut tepat di atas motor.
"Apa memang biasanya sepi seperti ini?" tanya Caroline. "Mungkin karena beberapa hari lagi akan masuk musim dingin. Jadi pantai sepi."
"Ya." angguk Luiz. Menyeka rambut Caroline yang terkena angin. "Kau tidak ingin berenang?" tanya Luiz.
"Boleh?" Caroline menoleh. Membuka matanya lebar. Tersenyum lebih lebar.
"Why not?"
"Sayangnya aku tidak bisa berenang. Mungkin, lain kali bisa jika—"
"Ayo!" ajak Luiz. Menyela pembicaraan Caroline.
"Kau mengajakku berenang? Tidak biasanya. Kenapa?" tanya Caroline. Lantas melihat Luiz bergerak mundur. Melepas pakaian. Meninggalkan boxer. "Kau tidak becanda, 'kan?"
"Apa aku terlihat becanda?" balas Luiz. Mendekatkan diri. Menarik kaos milik Caroline ke atas. Caroline terkejut. Namun, terlihat menurut. Luiz menelan ludah. Memerhatikan bra Caroline. Menantang, dengan warna merah terang. Cocok pada kulitnya.
"Ah. Biar aku lepaskan sendiri," tahan Caroline. Saat salah satu tangan Luiz bergerak, turun. Menyentuh pengait celana pendeknya. Caroline berdebar. Kini, perutnya terasa mulas.
"Caroline."
"Luiz!"
Keduanya, mendadak saling memanggil. Serentak, satu sama lain. Lalu berdiam diri sesaat. Mengambil waktu.
"Kau duluan!" titah Luiz. Tanpa melepas pandangan. Caroline menggeleng kepala. Menunduk ke bawah. Ia hampir telanjang. Selalu begitu saat berada di dekat Luiz.
"Caroline."
"Aku minta maaf. Karena akhir-akhir ini aku begitu marah padamu. Kau benar, aku cemburu. Aku marah melihatmu bersama Rose. Aku..." Caroline diam. Menatap searah, saat Luiz menangkup wajahnya. Memegang erat.
"Aku yang minta maaf karena berengsek!" jelas Luiz. Caroline tersenyum. Malu. Merasakan pipinya memanas. Merah.
"Ya. Kau memang berengsek," kekeh Caroline.
"I'm sorry," bisik Luiz. Mendekatkan diri. Melirik ke arah bibir Caroline.
"Aku memaafkan mu." Timpal Caroline. Luiz mengangguk. Menahan napas, menatap hanya pada sebuah objek di wajah Caroline. Bibir. Sungguh, bagian itu sangat menariknya. Membuatnya mabuk.
"Tapi, bisakah kita kali ini lebih berkomitmen? Aku dan Edward bertunangan."
"Caroline."
"Luiz tanpa dia sadari. Aku menyakitinya berkali-kali."
"Kau bisa melepasnya!"
"Luiz...."
"Caroline, dengar!" Luiz bergeser. Memegang kedua lengan milik wanita itu. Menatapnya dengan raut mata tajam. Dalam.
"Kau milikku!"