Si Yatim Piatu Bibit Mafia -1-

1152 Words
Di tengah hujan deras yang mengguyur Bumi ini, seorang wanita muda dengan tangan kiri menggendong bayi laki-laki tampan yang baru lahir dan kulitnya masih kemerah-merahan serta tangan kanannya memegang payung untuk melindungi tubuhnya dan tubuh bayi itu dari hujan. Akhirnya langkah kakinya sampai di tempat tujuannya yaitu Panti Asuhan Muara Bunda yang letaknya paling dekat dengan klinik, tempat ia melahirkan anaknya beberapa jam lalu. Dengan mata berkaca-kaca ia menatap bayinya yang terpaksa ia letakkan di depan pintu panti asuhan. Ia tak punya pilihan lain karena anaknya lahir di luar pernikahan alias anak haram sedangkan ia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Ia sadar ini adalah kesalahannya dan kekasihnya yang sudah melakukan hubungan badan padahal belum cukup umur dan belum menikah, namun anak ini yang harus menjadi korban dari kenakalan remaja yang dilakukannya. Ia menangis pilu melihat bayinya yang mungil dan lucu sedang tersenyum manis padanya, ia mencium kening bayinya untuk terakhir kali sebagai perpisahan sebelum akhirnya melepaskan kalung dengan liontin lingkaran yang di dalamnya terdapat foto kecil dirinya dan kekasihnya. "Mama terpaksa melakukan ini, Sayang. Bukannya Mama engga sayang sama kamu, keadaan yang memaksa Mama menjadi penjahat untuk kamu, Nak. Mama harap kamu bisa mengerti apa yang Mama lakukan hari ini." Setelahnya ia meninggalkan bayinya sendirian di depan pintu panti asuhan, ia pun pergi dari sana. Namun ketika ia hendak menyeberang jalan, sebuah truk datang dari arah samping dengan kecepatan tinggi dan ia tak bisa lagi menghindar hingga terjadi tabrakan, dirinya terpental ke tengah jalan sedangkan truk itu menabrak pohon. Bayi tampan yang sedari tadi diam dan tenang itu akhirnya menangis saat merasakan ikatan batin dengan sang ibu yang sudah tiada lagi di Dunia ini. Benar-benar meninggalkannya untuk selamanya. Ketika pagi hari tiba, warga sekitar yang melihat kecelakaan itu terjadi pun langsung melapor ke pihak berwajib dan memanggil ambulans untuk memeriksa korban kecelakaan yaitu seorang wanita muda dengan supir truk. Garis kuning polisi pun mengitari tempat kejadian peristiwa dan banyak warga yang berkerumun untuk melihat kejadian kecelakaan itu. Ibu panti yang baru keluar pun terkejut melihat seorang bayi sudah ada di depan pintu. Ia pun langsung menggendong bayi itu dengan lembut dan penuh kasih sayang. Lagi dan lagi orang tua tak bertanggung jawab melakukan hal huna seperti ini pada darah dagingnya sendiri. "Kasihan sekali hidupmu, Nak. Kau masih terlalu kecil untuk hidup sendirian namun orang tuamu malah membuangmu, sekarang ini adalah rumahmu, aku adalah ibumu dan ibu untuk semua anak panti di sini." Ibu panti yang melihat ada kerumunan orang di jalan depan, dekat panti asuhannya pun menatap bingung ke arah sana. Lalu menghampiri kerumunan tersebut dan terkejut ketika melihat ada mayat yang dimasukkan ke dalam ambulans, ia langsung mendekap lembut bayi tersebut agar tidak melihat kejadian mengerikan ini, lalu bertanya pada salah satu warga yang juga sedang melihat kejadian ini. "Ada apa ya, Pak?" "Itu, wanita muda kayanya masih anak sekolah ketabrak truk tadi malam sampai meninggal, supir truk juga meninggal. Kondisinya mengerikan, Bu." "Makasih infonya, Pak." "Sama-sama, Bu." Entah kenapa aku memiliki firasat buruk tentang wanita yang tertabrak tadi, apalagi malam tadi bertepatan saat bayi tampan ini dibawa ke depan pintu panti asuhan. Akhirnya aku pun memilih mengikuti ambulans yang aku tahu mau menuju rumah sakit mana, dengan menaiki angkutan umum yang kebetulan melintas. Setelah sampai di rumah sakit, aku pun turun dan membayar ongkos, lalu masuk ke dalam dan bertanya pada resepsionis yang bertugas tentang wanita tadi. "Wanita yang baru saja dibawa ambulans karena kasus kecelakaan, ada di ruang mana ya?" "Ada di ruang jenazah, belok kiri saja nanti lurus lalu terus jalan, letak ruangannya ada di pojok." "Makasih." "Sama-sama, Bu." Aku pun langsung mengikuti arahan dari resepsionis itu dan ingin masuk ruang jenazah namun pihak keluarga yang aku yakini dari jenazah wanita tadi sudah keluar dengan berurai air mata dan menangis pilu saat puteri bungsu keluarganya sudah meninggal. Sekarang aku ragu untuk mengatakan sesuatu pada keluarga ini karena mereka sedang berduka cita dan tak baik menambah masalah mereka. Namun ketika aku melihat wajah bayi malang ini membuat aku tak tega, aku tahu keluarga bayi ini adalah mereka dan bayi ini layak hidup di keluarganya. Mungkin puteri mereka malu dengan dengan melahirkan bayi ini tapi keluarganya mungkin mau menerima bayi ini sebagai peninggalan terakhir dari mendiang puteri mereka. "Permisi semuanya, saya ingin mengatakan sesuatu." "Mengatakan apa?" Pria yang aku duga ayah dari perempuan yang meninggal tadi menoleh padaku disusul dengan anggota keluarganya yang lain menoleh padaku dengan tatapan bingung karena merasa aku ini adalah orang asing yang tiba-tiba muncul. "Saya pengurus panti asuhan, puteri Anda meninggalkan bayinya di depan panti asuhan saya. Dia mengalami kecelakaan setelah meninggalkan bayi malang ini dan letak kecelakaan itu tak jauh dari panti asuhan." Mendengar penjelasanku, mereka semua menoleh ke arah bayi dalam pelukanku. Aku mengulurkan bayi ini agar mereka menerima dan menggendongnya, seorang wanita seumuran pria tadi hendak maju untuk menerima bayi ini, sepertinya dia adalah ibu dari perempuan yang meninggal tadi. Namun langkahnya terhenti saat tangan suami wanita itu terbentang ke samping dan menghalangi jalannya. "Bayi itu adalah hasil perbuatan dosa, keluarga kami tak akan menerimanya sebagai anggota keluarga." "Suamiku, dia adalah penerus puteri kita, jangan keraskan hatimu. Coba kau tidak mengusirnya saat tahu dia hamil di luar nikah, pasti semua ini tak akan terjadi." "Berhenti bicara, Safitri. Keputusanku sudah bulat, jadi semuanya pulang sekarang dan untukmu, ambil uang ini dan rawat bayi ini di panti asuhanmu." Aku melongo tak percaya saat mendengar ucapan kepala keluarga itu yang begitu kejam pada bayi malang ini padahal sepertinya anggota keluarga yang lain mau menerima bayi ini namun terpaksa menolak karena keinginan kepala keluarga. Dia begitu mudah menyerahkan semua lembaran uang kertas berwarna merah ke atas bayi dalam pelukanku. Pria itu langsung pergi dari sana dan menarik istrinya yang sepertinya ingin sekali agar bayi puteri kandungnya dirawat di rumah mereka. Dia menangis histeris namun tak ada yang berani membantu wanita itu termasuk aku. Aku baru sadar dan ingat wajah keras dan tatapan tajam itu, dia adalah pimpinan mafia di Negeri ini. Mereka akhirnya menghilang dari lorong ini, aku berjalan ke arah jendela kamar jenazah untuk melihat ibu dari bayi ini. Sekarang dia benar-benar sendirian tanpa ada jejak orang tua lagi. Air mataku jatuh di kedua sisi pipiku ketika dia menangis seakan tahu jika dunia menolak keberadaannya. "Sekarang kamu jadi anak panti asuhan, Ibu janji akan merawatmu dengan baik. Kau sangat tampan dengan kelopak mata kelabu yang begitu tajam, aku menamaimu Aslan Envelar. Semoga kau jadi anak yang baik dan suka menolong sesama manusia." Hari itu aku tak tahu jika doaku tak akan sama dengan takdir hidupnya. Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya, dia lahir dari keluarga yang terkenal kejam dan tak berhati, keluarga yang terbiasa membunuh dan menyakiti orang lain dan darah keluarga itu mengalir di darahnya hingga dia pun memiliki masa depan yang sama dengan mereka. Aslan, bayi malang yang hari ini aku bantu akan menjadi pembunuh bayaran di kemudian hari. Tangerang, 05 Januari 2021
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD