Rev 2. Malangnya Nasib

2542 Words
Yasmin hanya diam seribu bahasa saat Imas memintanya untuk masuk mobil yang entah milik siapa dan membawanya pergi ke suatu tempat setelah habis-habisan dipukuli. Jangankan hendak melawan atau protes, mau berbicara pun rahangnya kelu semua. Perjalanan yang mereka tempuh memakan waktu kurang lebih satu setengah jam. Yasmin pun tak bertanya mau dibawa kemana. Dia sudah terlalu lelah. Seakan-akan jika dirinya mati hari ini, Yasmin akan terima-terima saja. “Turun, Pak!" Imas memberi instruksi pada pak sopir untuk berhenti ketika dirasa sudah sampai tujuan. "Ayo!” kemudian menarik Yasmin kasar dari dalam mobil. Perempuan ini langsung menyeret Yasmin paksa menuju gedung gelap di ujung lorong jalan setapak di depan. Karena tak memiliki cukup tenaga untuk melawan, Yasmin hanya bisa pasrah. Sampai akhirnya, langkah kaki mereka berhenti ketika ada bapak-bapak berbadan kekar memotong jalan tepat di depan mereka. “Udah Om siapin uang 100 jutanya?” tanya Imas pada bapak-bapak tadi. Yasmin yang seakan-akan mengerti apa yang akan terjadi berikutnya langsung memberontak ingin melarikan diri. Dia tak mau dijual. Lebih baik dia mati saja. “Nggak usah banyak tingkah!” seru Imas tajam, menahan Yasmin sekuat tenaga. Sejurus kemudian, bapak-bapak tadi langsung menunjukkan koper yang berisi uang kepada Imas. “Bagus!" katanya. Setelah menerima uang itu, Imas langsung mendorong Yasmin sampai jatuh tersungkur ke bawah. Dia sudah mendapatkan apa yang dia mau. Dia tak membutuhkan Yasmin lagi sekarang. Yasmin meregang nyawa pun, Imas tidak peduli. Kalau perlu, mampus saja gadis itu sekalian. Kebenciannya sudah terlalu dalam kepada gadis malang itu, karena sampai sekarang pun, Imas menganggap bahwa Yasmin lah satu-satunya manusia yang pantas disalahkan atas kematian ibunya. “Ayo, Sayang!" Bapak tua itu jongkok untuk membawa Yasmin, tapi Yasmin menolak disentuh dan tak segan untuk meludahi wajah yang sudah berani menyentuh dirinya walau hanya seujung kuku, bahkan belum sampai menyentuhnya sekalipun. Cuih “Kurang ajar!” bersamaan dengan geraman amarah, bapak-bapak yang membeli Yasmin ini langsung menamparnya keras. Yasmin kembali jatuh tersungkur dengan bibir yang robek sampai mengeluarkan darah. Ingin menangis pun Yasmin tak bisa. Tubuhnya tak sejalan lagi dengan pikirannya. Saat dirinya hendak diseret paksa layaknya binatang oleh orang yang sudah membelinya, Yasmin menatap Imas dengan deraian air mata. Dia tak menyangka kalau Imas akan setega ini dengannya. Namun, sudah sejak awal Yasmin tidak berharap apapun pada kakak tirinya itu, jadi dia pasrahkan saja semuanya kepada Tuhan-nya. Untuk saat ini, ingin melawan pun Yasmin tak sanggup. Tubuhnya sudah remuk redam. Tapi tiba-tiba semua pergerakan berhenti karena ada suara lain. “Tunggu!” kata lelaki lain yang kemungkinan baru tiba di sana. “Siapa kamu?! Jangan ikut campur urusan saya.” Bapak-bapak ini kembali geram karena langkahnya dihadang oleh orang lain yang wajahnya saja tidak begitu jelas dirinya pandang. “Berapa uang yang sudah Anda keluarkan?” tanya lelaki itu datar. Imas yang masih berada di sana dengan niat ingin melihat penderitaan Yasmin lebih lama tentu saja agak terkejut mendengar pertanyaan orang yang baru datang ini. Dia memang sengaja menunggu karena ingin memastikan Yasmin benar dibawa pergi, takut kalau-kalau Yasmin melarikan diri. Namun, ketakutannya malah makin menjadi-jadi saat ada laki-laki lain. Dia takut kalau yang di hadapannya ini anggota berwajib yang sedang menyamar dan ingin menangkap mereka dengan pasal pelanggaran hak asasi manusia ataupun perdagangan perempuan. “10 kali lipat.” Kata laki-laki itu lagi saat Imas terus diam saja dengan wajah panik, Namun, mendengar 10 kali lipat, Imas malah tak berkutik. '100 juta kali 10 berarti… 1 Milliar?' batinnya bersorak tidak tanggung-tanggung. "Se-seratus juta kali 10.” kata Imas terbata. Kalau sudah begini, Imas tak punya alasan curiga lagi. Perempuan itu langsung mengembalikan koper bapak tadi, tanda kalau dia membatalkan penjualan Yasmin padanya. “Bukan seperti ini perjanjiannya! Kurang ajar!” Bapak-bapak itu tidak terima dan ingin meminta Yasmin kembali, namun lelaki itu lebih dulu menghadang langkahnya. Dan Imas juga ikut-ikutan mengambil peran seolah dia adalah madam yang berhak menentukan Yasmin harus dengan siapa-siapa. “Maaf Om, uang Om kurang banyak sih!” “Dasar wanita jahat!” Bapak-bapak tadi langsung pergi membawa serta kopernya. Lagipula di sana dia hanya dipermalukan. Karena itu dia yang sakit hati bersumpah akan membalas Imas. Lihat saja nanti. Dia sudah menandai Imas, wanita jahat itu harus berhati-hati. Sadar karena masalah dengan tua bangkotan itu sudah selesai, lelaki yang meminta Yasmin ini langsung melempar kopernya ke arah Imas seolah tak berarti sama sekali nominal di dalamnya. Dan Imas langsung melebarkan matanya tak percaya ketika membuka koper tersebut dan isinya penuh uang. “Ahh gue kaya. Yas, thanks ya. Selamat bersenang-senang.” Imas begitu bahagia saat mendapat uang senilai 1 milliar tersebut. Dengan uang sebegitu banyaknya, Imas bisa mandi uang setiap hari. Sementara Imas senang bukan main, Yasmin merangkak ingin menggapai Imas. Tidak papa dia dipukuli di rumah, asal jangan dijual seperti perempuan murahan seperti ini. Air matanya sudah mengalir kemana-mana. Lebih baik dia disiksa sampai mati daripada harus dijual seperti ini. Seluruh tubuh Yasmin berdenyut nyeri. Dia ingin berlari tapi kakinya tak mampu untuk melangkah. “Pergi kalo bisa.” Bertepatan saat lelaki yang membelinya tadi mengatakan itu, air mata Yasmin kembali mengalir. Dia tak tahu apakah dia akan hidup setelah ini. Tapi yang pasti dia tidak akan mau hidup jika sampai dijadikan pemuas napsu belaka. Satu Dua Tiga “Tolong!” teriak Yasmin sebagai upaya penyelamatan diri terakhir. Tapi nahasnya tak ada yang datang untuk menolongnya sama sekali. Tempatnya jauh dari jangkauan orang. Ya Allah, batin Yasmin menangis sesaat sebelum tubuhnya melayang. Pria yang membelinya itu menggendongnya dan bergegas pergi dari sana. Yasmin tak tahu akan di bawa ke mana, bahkan untuk mempertahankan kesadarannya pun dia tak kuasa. Akhirnya Yasmin tumbang dengan air mata yang mengalir seakan tak ada habisnya. *** Tuhan tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya. Jika Tuhan memberikan ujian seperti ini padanya, berarti Yasmin mampu menyelesaikan ini semua. Di balik suatu musibah, pasti ada hikmahnya. Mau tak mau, Yasmin harus menerima ini semua karena memang inilah takdirnya. Takdir yang sudah digariskan bahkan jauh sebelum dia terlahir di dunia. Perlahan mata sayu itu terbuka. Yasmin menyipitkan mata saat cahaya lampu memaksa menerobos masuk ke pupil matanya. Beberapa detik kemudian, dia tersadar dan langsung menegakkan tubuh dengan detak jantung yang menggila. Gadis itu memekik tanpa sadar sembari memejamkan mata saat merasakan seluruh tulangnya seperti melesat dari persendian. Pertama yang dia khawatirkan adalah tubuhnya sendiri. Yasmin melihat ke arah tubuhnya dan dia masih memakai pakaian yang sama dan lengkap pula. Saat mengedarkan pandangannya ke penjuru kamar, Yasmin menemukan sosok lelaki sedang membelakanginya menatap malam dari jendela kaca basar. Yasmin duga, dia adalah orang yang membelinya tadi. “Tidur!” titahnya tiba-tiba, penuh tuntunan pula. Yasmin bukan orang bodoh. Dia tahu nada yang digunakan oleh pria itu nada memerintah. Tapi jika dituruti, siapa yang menjamin kalau dirinya akan baik-baik saja? Namun, orang itu malah berjalan menuju pintu keluar. “Kunci dari dalam!” perintahnya lagi sebelum benar-benar keluar dari kamar. Yasmin tentu saja langsung berjalan tertatih untuk mengunci pintu kamar itu. Dia tak mau kalau sampai sesuatu yang buruk terjadi pada dirinya sendiri. Hampir satu jam terdiam seperti orang linglung, Yasmin tidak bisa tidur seperti yang diperintahkan. Dia memandang sekeliling kamar yang sedang ditempatinya sekarang ini. Dengan melihat tempat tidurnya saja, Yasmin bisa menebak kalau orang yang membelinya orang kaya. Apalagi jika dia mengingat kalau orang itu membelinya seharga 1 Milliar? Sudah pasti orang tadi beruang. Tapi, kenapa ingin membeli dirinya di saat banyak gadis lain di dunia ini? Pusing karena tak mendapatkan jawabannya, perlahan Yasmin duduk di sofa. Mencoba mengingat-ingat kejadian tadi membuat kakinya gemetar. Dia tak tahu apa yang akan menimpanya besok. Tapi dia sudah bertekad untuk kabur jika ada kesempatan dan bunuh diri jika kehormatannya ingin direnggut paksa. Hanya dua pilihan itu yang tersisa dalam pikirannya. Melarikan diri atau mati. Tubuhnya yang lelah ia sandarkan pada sofa. Yasmin jadi ingat dengan ayahnya yang menangis. Apa mungkin sebenarnya ayahnya itu menyayanginya, tapi kenapa dia selalu kasar selama ini? Namun tak bisa dipungkiri, ayahnya lah yang membuatnya sampai sekuat ini. Yasmin berharap kalau dia masih diberi kesempatan untuk bertemu dengan ayahnya lagi, dia janji akan minta maaf karena tanpa sadar sering mengeluhkan sikap kasar ayahnya meski hanya dalam hati. *** Suara ayam berkokok tak terdengar pagi ini. Yang mampu Yasmin dengar adalah bising yang ditimbulkan AC. Biasanya, ayam yang selalu membangunkannya pagi-pagi. Tapi sekarang tak ada siapa-siapa di sini. Untuk sesaat dadanya sesak sampai ke hati. Dia tak tau apa yang akan terjadi. Yasmin bergeming. Dia takut kalau lelaki itu datang dan mau macam-macam dengannya. Detak jantungnya bahkan meningkat sampai tiga kali lipat, terhitung menyakitkan. Ketukan pintu terdengar lagi. “Non, tolong buka pintunya. Ditunggu semua orang di bawah.” Mendengar suara perempuan, Yasmin langsung menegakkan tubuhnya. Dia langsung berpikiran kalau perempuan yang memanggilnya di luar mungkin bisa membantunya kabur dari sini. Alhasil, dengan mengucap basmalah, Yasmin perlahan membukakan pintu untuk orang yang memanggilnya itu. Dari sedikit-sedikit, Yasmin mulai melebarkan pintu karena mendapati wanita paruh baya yang ada di hadapannya. “Non, saya boleh masuk?” bukannya menjawab, Yasmin malah celingak-celinguk. “Boleh, Non?” tanya perempuan paruh baya itu lagi, berupaya memastikan. “O-oh iya, Buk.” Yasmin langsung mempersilahkan wanita paruh baya itu masuk ke dalam kamar. Dia bingung melihat wanita paruh baya di depannya ini sibuk membereskan sesuatu di dalam baki bawaannya. “Panggil saya Bik Ijah saja, Non. Ini, ayo dipakai. Semua orang sudah menunggu Non di bawah.” Bik Ijah mengangkat kebaya sederhana ke udara, sengaja menunjukkannya pada Yasmin karena memang gadis itu pemiliknya. Sebagai gadis yang sudah paham tentang hal semacam ini, Yasmin terdiam berupaya mencerna. Dia tidak buta, dia juga tahu itu kebaya. Kalau dia harus memakainya, berarti ada yang akan menikahinya. Tapi siapa? Dia bahkan tak tahu. Bagaimana bisa dia menjalani pernikahan di saat umurnya saja belum sampai 20 tahun? Dia hanya gadis yang hampir lulus SMK tapi tak tahu apakah setelah hari ini bisa kembali ke kelasnya lagi seperti biasa atau tidak. “Percaya sama saya, Non. Aden baik kok orangnya.” Yasmin menggeleng hebat. Dia tidak tahu siapa yang disebut Aden oleh perempuan baruh baya di depannya ini. Dia juga tak bisa membayangkan kalau lelaki tua yang menikahinya nanti, atau parahnya dia dijadikan istri kedua, ketiga, keempat? Tuhan...Yasmin malah ingin menyusul ibunya saja daripada terus hidup seperti ini. Namun sekali lagi Yasmin bersyukur, setidaknya dia tidak dipaksa untuk melayani napsu bejat seseorang. Jika sekarang dia disuruh untuk menikah dengan orang yang tidak dia cintai bahkan tidak dia kenal, apa boleh buat? Selagi itu tidak dosa, Yasmin masih bisa menerimanya. Tapi Yasmin tak bisa berbohong, hatinya benar-benar sakit. Ingin kabur pun, tapi tak ada jendela kayu seperti di kamarnya yang bisa dia gunakan sebagai sarana melarikan diri saat dikunci dari luar. Mau bunuh diri pun, sudah terlambat. Seharusnya dia melakukannya sedari tadi atau dari kemarin. Ya Tuhan, tolong maafkan dirinya jika menjadi hamba yang tidak bersyukur. Perlahan Yasmin turun dengan kepala yang tertunduk dalam setelah dibantu oleh Bu Ijah untuk memakai kebaya, tanpa riasan sama sekali. Dia tak berani melihat apa yang ada di depannya. Dia bahkan sudah berpegangan sangat erat pada lengan Bi Ijah. “Tenang Non, semua pasti baik-baik saja.” Di bawah, sosok lelaki paruh baya sedang tersenyum lebar melihat Yasmin menuruni tangga. Yasmin merasa sudah memperlambatkan langkahnya, tapi kenapa dia sampai di lantai bawah juga. Air matanya bahkan tak henti-hentinya mengalir. Bahkan isakannya jelas terdengar orang di dekatnya. “Baik karena mempelai wanitanya sudah datang, mari kita laksanakan ijab qobul sekarang juga.” Kata penghulu yang sudah siap sedari tadi. Perlahan, lelaki yang duduk di samping Yasmin menjabat tangan sang penghulu. “Saya terima nikah dan kawinnya Yasmin Aqilla binti Hendrawan dengan mas kawin tersebut di bayar tunai.” “Bagaimana para saksi, sah?” “SAH.” Alhamdulillah. Di saat semua orang di ruangan itu tersenyum lega ikut bahagia, air mata Yasmin tak mampu dibendung lagi. Dadanya benar-benar sesak sampai ke ulu hati. Dia tak menyangka kalau hidupnya akan berakhir seperti ini. Di jual! Dibenci! Dinikahkan paksa! Tak mampu lagi menahan semua yang terjadi sedari malam sampai sekarang, Yasmin ambruk dan ditahan oleh lelaki yang ada di sampingnya, lebih tepatnya suaminya lah yang menahan tubuhnya sendiri. *** Yasmin melihat wanita berparas cantik tengah tersenyum ke arahnya. Wajahnya itu, hampir mirip dengan wajahnya. Entahlah, tapi yang pasti mata Yasmin langsung berkaca-kaca. Dan hatinya mengatakan kalau sosok itu adalah ibunya. Ibu yang teramat ia rindukan tapi sudah lebih dulu menghadap Sang Pencipta. “Ibuk.” Lirih Yasmin tak kuasa dengan air mata yang semakin mengalir deras. Yasmin mendekat, “Ibuk?” dia langsung memeluk erat wanita itu. Dia menangis sejadi-jadinya. Seumur hidup, baru sekarang dia bisa melihat wajah ibunya. "Ibuk?" Yasmin terbangun dengan air mata yang berderai. Dia yakin kalau yang baru saja mendatanginya dalam mimpi itu ibunya. “Eh udah bangun. Gi-“ perkataan lelaki paruh baya yang menunggui Yasmin sedari tadi terpotong karena Yasmin langsung menjauh darinya. Sama dengan orang itu, Yasmin sendiri juga terkejut sekaligus khawatir melihat orang asing duduk di dekatnya. “Siapa Anda?” tanyanya dingin. Yasmin lantas memandang sekeliling, ternyata dia baru sadar kalau berada di kamar yang sama seperti waktu lalu. “Hahaha,” Yasmin mengerutkan kening tidak paham, matanya memicing saat mendengar lelaki paruh baya itu tertawa. Dan sedetik kemudian, air mata Yasmin kembali berkumpul di pelupuk matanya. Dia baru ingat kalau dia sudah menikah, dan lelaki kira-kira berkepala lima yang ada di sampingnya kini, Yasmin tak sanggup melanjutkan tebakannya sendiri. “Tidak salah pilih, ternyata kamu cantik.” Pujian yang diberikan membuat Yasmin ingin muntah saat itu juga. Bagaimana mungkin kakak tirinya itu tega menjualnya untuk pria tua seperti ini. Yasmin sudah menangis sekarang. Dia ingin memaki tapi dia ingat wanita cantik yang berpesan kalau dirinya harus menjadi istri yang baik. Perlahan Yasmin menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Untuk sejenak sesaknya hilang entah kemana. Dia memejamkan matanya dalam-dalam sekali lagi sebelum akhirnya menatap lelaki tua yang ada di sebelahnya. “Kenapa Anda memilih saya?” “Tentu saja akan memilihmu. Kamu memiliki hati yang bersih.” Katanya mantap. Yasmin membuang muka. Dia benar-benar muak melihat lelaki tua yang ada di sampingnya sekarang. “Sekarang, kamu nyonya rumah ini. Bersikaplah seperti nyonya pada umumnya. Jangan mencemarkan nama baik keluarga kami.” Mencemari katanya? Bukannya dia yang membawa aku ke sini? Bagaimana bisa dia tidak punya malu seperti itu? “Sudahlah, ayo ganti pakaianmu. Kita akan pergi ke suatu tempat.” Lelaki paruh baya itu berdiri. “Tidak mau!” tolak Yasmin mentah-mentah saat itu juga. Mendapat penolakan, lelaki paruh baya yang menungguinya tadi langsung keluar dari kamar, tak terlalu mengambil pusing penolakan tegas yang Yasmin berikan. Sepeninggalannya, Yasmin kembali menangis, dia sudah menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya yang bengkak habis disiksa kemarin malam masih membekas. “Aku takut, Yah.” Lirih Yasmin dengan air mata yang tak hentinya mengalir seperti aliran sungai. Sungguh, dia benar-benar merindukan ayahnya. Ayah yang bahkan selama hidupnya tak pernah memberikan kasih sayang pada dirinya sama sekali. Bagaimanapun juga, tidak ada yang namanya mantan anak apalagi mantan orang tua. Sejahat apapun ayahnya, Yasmin akan selalu menghormati dan mendoakan yang terbaik untuk ayahnya. Yasmin tahu, ayahnya sebenarnya sayang terhadapnya, hanya saja, lelaki itu bingung harus mengungkapkan seperti apa sampai akhirnya memilih untuk menyiksa Yasmin. Yasmin anggap, setiap pukulan yang diberikan kepadanya, adalah bahasa kasih sayang yang tidak akan bisa dipahami oleh siapapun selain dirinya sendiri. Dia begitu menyayangi ayahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD