Yang Memilih Seteru

1345 Words
Aji menunggu jawaban Dita. "Gimana? Kamu mau janji kalau kamu setuju untuk buka garasinya?" "Aku gak yakin soal ini, Ji." "Bukan cuma aku yang nunggu. Shila juga. Gadis ini menunggu satu jawaban dari kamu. Janji yang harus kamu tepati, janji yang akan membuatnya memilih untuk berdamai dan pergi dari rumah ini." Dita kembali menimbang-nimbang. Ia ingat tentang perkataan pamannya yang selalu mewanti-wanti untuk tidak menyinggung soal garasi di belakang rumah itu. Sekali lagi, Dita melihat dengan tulus ke arah rak piring. "Oke, Shila. Aku janji. Aku dan Aji akan berusaha membuka garasi dan mewujudkan keinginan kamu." Dita melirik ke arah Aji yang langsung disambut anggukan dari lelaki itu. "Sekarang, Shila udah gak ada di sini." Dita menarik napas lega. "Jadi, di rumah ini, udah gak ada arwah penasaran kecuali di garasi. Iya, kan?" tanya Dita dengan riang. Aji menggeleng. "Masih ada, kok. Sebagian besar memang tidak mau menunjukkan diri mereka, ehe." Dita kembali cemberut. "Kenapa, rumah ini banyak penghuninya, ya ampun." "Bukan tanpa alasan." "Iya, aku tahu. Aku juga penasaran apa bener kakekku dulu punya kemampuan semacam itu. Apa bener kakekku dulu pernah jadi orang yang bisa menciptakan ritual pesugihan untuk orang lain? Aku masih belum percaya soal ini, Ji." "Itu bukan sesuatu yang harus kamu cemaskan sekarang, Ta. Kamu jangan memikirkan hal itu dulu. Seharusnya, kamu juga berpikir soal diri kamu sendiri. Kita harus hati-hati. Karena tidak semua arwah seperti Tian, orang tua Tian dan Shila. "Maksudnya?" "Nanti kamu akan tahu, Ta." "Oke. Aku tunggu nanti berarti, ya." "Iya. Oke apa rencana kita sekarang? Makan mie lagi?" Aji melirik ke bungkusan kresek yang isinya hanya mie instant. Dita mengangguk saja. Ia pasrah. Persediaan makanannya sudah hampir habis. *** Setelah mereka menghabiskan mie, Aji kembali memulai pembicaraan. "Sekarang, kita harus membuat rencana untuk mulai membuka garasinya." Dita yang belum siap, hampir saja mengeluarkan air teh yang baru saja mencapai kerongkongannya. "Sorry-sorry. Aku cuma gak mau ini terus-menerus tanpa kemajuan, Ta. Aku beneran mau bantu kamu. Kamu juga butuh uang, kan?" tanya Aji. Dita mengangguk. "Iya, oke kita lakukan." Sebelum Aji beranjak, sebuah mobil terlihat mendekat. Suaranya membuat keduanya saling menatap. "Paman kamu?" Dita menggeleng. "Bukan. Pamanku dua bulan pergi." "Terus?" "Bibiku! Dia mungkin mau ngantar makanan!" Aji kikuk. Ia berdiri dan langsung pergi, masuk ke dalam kamar. Sementara Dita dengan cepat membereskan mangkuk dan gelas. Gadis itu juga berusaha menyemprotkan pengharum ruangan. Agar bibinya tak curiga mengenai parfum Aji. Ah, padahal laki-laki itu tidak ke mana-mana. Namun, parfumnya selalu tak pernah ketinggalan dipakai. Bibinya masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Kaca besar yang merupakan bagian depan dari rumah kakeknya ini, memberikan keuntungan besar bagi Dita. Termasuk jika ada si tetangga aneh yang memerhatikannya diam-diam seperti waktu lalu. "Makan mie?" tanya Bibi. Dita mengangguk. Radit datang bersama Ale. Ale, adiknya Radit. "Ayo, masuk dulu." Radit diam sebentar dan memerhatikan sekeliling. "Kayaknya kita gak akan lama-lama deh." Dita tahu. Radit sepertinya merasa tidak nyaman berada di rumahnya. "Iya. Ini, ada beberapa kebutuhan kamu." Bibi menyodorkan dua bungkus kresek besar. Dita menerimanya. "Terima kasih, Bi." "Iya. Bibi sama anak-anak langsung pulang lagi, ya." Dita mengangguk. Memang itu yang ia harapkan sejak tadi. Bibinya melangkah hendak ke luar. Namun, tertahan ketika matanya tak sengaja menatap ke sandal di luar. Itu sandal milik Aji. Ya, Dita tahu itu. "Siapa yang ke sini?" tanya Bibinya. Dita langsung menggeleng. "Tidak, tidak ada yang ke sini, Bi." "Terus, kenapa ada sandal baru?" Dita terdiam sebelum menjawab. Sungguh, gadis itu berusaha keras untuk berpikir. "Iya, itu sandal baru yang dibelikan Paman." Tiba-tiba saja kalimat itu muncul. Kalimat yang sebenarnya sangat kurang tepat, tapi mau bagaimana lagi. Itu yang terlintas di pikiran Dita. "Oh, baik." Radit dan Ale sudah lebih dulu keluar. Dua anak itu benar-benar tak betah di rumahnya. "Hati-hati ya, Bi." Bibinya mengangguk. Dita mengantarkan sampai ke luar. Gadis itu berdiri cukup lama untuk memastikan mobil bibinya susah melaju sangat jauh. Setelahnya, Dita kembali ke rumah dengan perasaan lega. Beruntung, kecurigaan bibinya itu tidak berlanjut. "Udah pergi. Bibiku udah pergi lagi!" Terdengar suara pintu. Aji datang ke ruang tamu. "Sekarang, apa?" tanya Dita. "Bantu aku cari perkakas buat bongkar garasinya." "Oke." Dita menurut dan pergi ke dapur. Ia mencari apa saja yang bisa dikategorikan sebagai benda tajam. Benda apa saja yang bisa digunakan untuk membongkar sebuah garasi usang. Beberapa benda tajam diserahkan kepada Aji. Sedangkan Dita yang masih ragu-ragu masih tak begitu antusias. "Aku ke luar dulu. Sambil lihat-lihat garasinya. Kamu mau ikut sekarang?" Dita menggeleng. "Enggak. Kalau cuma lihat-lihat." "Oke." Aji ke luar dengan membawa perkakas-perkakas itu. Ia tampak bersemangat. Dita sendiri? Sekali lagi, ia masih merasa ragu. Sebuah panggilan telepon membuat Dita segera menyambar ponsel yang terletak di meja. "Halo, Paman. Sehat?" tanya Dita. Rupanya Paman yang menelepon. "Iya, di sini Paman baik-baik saja. Bibi datang menjenguk? Maaf, Paman baru bisa menelepon sekarang." "Tidak apa-apa, Paman. Iya, tadi Bibi datang. Bibi juga mengantarkan makanan dan kebutuhanku." "Kamu baik-baik aja, kan, Ta? Gak ada yang mengganggu kamu? Si tetangga aneh itu udah gak ganggu lagi, kan?" Dita terdiam sesaat sebelum menjawab. Sebenarnya ia sangat ingin berkata jujur, tapi bagaimana jika nanti pamannya itu jadi cemas. Bisa repot. "Enggak. Eham, aku mau tanya, Paman. Kenapa tetangga aneh itu bebas berkeliaran? Kenapa tidak dilaporkan ke polisi?" "Paman yakin sebelumnya kalau ada salah satu anggota keluarganya yang memasung si tetangga. Dulu begitu." "Oke, gak apa-apa. Nanti kalau ada sesuatu yang aneh, aku bisa lapor polisi. Iya, kan?" "Iya. Begitu lebih baik." Sekilas, pandangan Dita tertuju ke luar. Gadis itu, dengan telepon genggam masih menempel di telinga, penasaran dengan apa yang mungkin sedang Aji lakukan. "Kalau kamu takut sendirian, kamu bisa pindah." "Ah, enggak, Paman. Aku gak takut. Lagian, masa aku ninggalin rumah ini. Aku kan udah bilang, mau renov rumah ini biar makin bagus. Kalau udah bagus, rapi, bersih, enak dilihat, nilai jualnya juga pasti akan lebih tinggi." "Iya. Kamu masih yakin, mau jual rumah itu?" Untuk ke sekian kalinya, sang paman mengajukan pertanyaan yang sama. Dan jawaban Dita, tentu saja masih sama juga. "Iya, aku yakin." Ketika Dita melangkah menuju garasi, Aji ternyata masih berkutat dengan berbagai macam perkakas. "Ta, sudah dulu, ya. Paman mau bekerja lagi." "Iya, Paman. Terima kasih." Dita berjalan perlahan, menghampiri Aji. Gadis itu tersenyum mengejek. "Gimana? Bisa? Aku kan udah bilang, garasi ini tuh susah dibuka." Aji membalas senyum ejekan Dita. "Susah dibuka, bukan berarti gak bisa dibuka, dong." "Iya, sih." "Lagian, kamu juga harus bantuin. Kenapa? Karena kamu udah janji sama Shila. Kamu bakalan buka garasi ini." "Iya-iya. Emang kalau aku gak tepatin janji aku, nantinya bakalan gimana?" "Aku gak tahu, tapi sesuatu yang buruk pasti akan terjadi." "Oke." Dita menarik napas panjang. Garasinya terlihat sedikit terbuka. "Ini kamu?" "Iya, tadi. Susah banget. Udah ada celah dikit. Aku pikir ini rolling dornya macet. Aku hancurin gemboknya, tapi tetep aja. Gak bisa dibuka dengan cepat." Dita dengan iseng memasukkan ujung sepatunya ke dalam garasi. Dan ketika ia merasakan sesuatu yang lain, Dita segera menarik kakinya kembali. Dingin. Sangat dingin. "Kenapa?" Dita menggeleng. "Sangat dingin." "Ya. Mungkin, udah ada satu atau dua arwah yang keluar. Sudah ada celah di sini." "Ha? Benarkah?" Aji mengangguk. "Iya, benar." Dita merinding. "Kita udahan aja, ya? Aku takut." "Takut?" "Iya, aku agak kedinginan. Aku takut. Mungkin bener, arwahnya ada yang udah keluar dari sini." Aji memerhatikan Dita lekat-lekat. Wajah gadis itu sangat pucat. "Kamu gak apa-apa, kan?" tanya Aji cemas. Dita menggeleng. "Aku baik-baik aja." Namun, tubunya berkata lain. Untuk beberapa saat, Dita merasa langit sangat gelap dan beberapa detik kemudian, perempuan itu ambruk. Aji dengan cepat membopong Dita dan membawanya masuk ke dalam rumah. Aji yakin, ini ada kaitannya dengan apa yang Dita lakukan di dekat garasi. Pengaruh dari sana sangatlah kuat. Aji yakin, ada sesuatu. Ada sesearwah yang tengah mengintai Dita saat ini. Arwah yang memilih untuk tidak berdamai. Dan tentunya, arwah ini menginginkan sesuatu dari diri Dita. Aji berpikir keras. Mungkin kali ini, mereka harus bertarung melawan arwah. Bertarung dengan kekuatan jahat yang entah seperti apa bentuknya. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD