Dita mulai penasaran. Aji tak kunjung menjawab panggilannya.
"Ji, kamu lagi ngapain?"
"Ta, bentar. Tunggu aja di sana ...."
Dita tak menghiraukan perintah Aji dan terus melangkah ke dapur. Aji di sana. Ya, dan ada seseorang lagi bersamanya.
"Aji, kamu jangan deket-deket!" teriak Dita. Gadis itu mundur beberapa langkah. Ia berharap, si tetangga aneh yang sedang berada tepat di dekat pintu belakang dapur itu tidak melakukan hal-hal yang aneh.
Si tetangga aneh terus menatap Dita dengan tajam. Aji mencoba mengalihkan perhatian.
"Kamu ada urusan apa? Mau ada urusan apa kemari?"
Si tetangga aneh tidak peduli dengan pertanyaan Aji. Ia masih dengan intens menatap Dita yang tak lagi berani mendekat, bahkan gadis itu merasa sangat siap jika harus berlari kencang sekarang juga.
Perlahan, si tetangga aneh mendekat. Aji menghadang.
"Maaf, saya tanya sekali lagi. Ada urusan kamu kemari? Apa mungkin ada yang bisa kami bantu?"
Pertanyaan Aji kembali bagaikan lapisan es tipis yang dilemparkan ke aspal panas. Hilang, tak bersisa. Tak berarti apa-apa.
"Kamu sebaiknya ke kamar dulu, Ta."
Si tetangga aneh langsung mengalihkan pandangan kepada Aji. Seolah ia marah dengan kalimat perintah yang Aji berikan kepada Dita.
"Oke, kamu hati-hati."
Belum Dita melangkah untuk putar baik, si tetangga aneh menerobos, mengenyahkan tubuh Aji yang sedari tadi menghadangnya.
Dita berlari ketakutan dan masuk ke dalam kamar secepat yang ia bisa. Sementara itu, Aji berhasil menarik baju yang dikenakan si tetangga aneh, sehingg ia tak bisa bergerak.
"Lepas!"
"Kenapa? Kamu ada urusan apa? Jawab!" Aji membentak.
Si tetangga aneh melotot. "Aku ada urusan dengan perempuan itu. Bukan denganmu!"
Aji tak ingin pertengkaran ini berlanjut. Bagaimanapun juga, hal-hal yang tidak jelas semacam ini tidak perlu diperpanjang. Apalagi, Aji tahu. Ya, Aji bisa merasakan kalau si tetangga aneh yang kini berada di hadapannya tidaklah berbahaya dan tidak juga berniat jahat. Baik kepada Dita, atau kepada dirinya.
"Mungkin, kalau kamu benar-benar punya urusan penting, kamu harus menyampaikannya dengan cara yang benar. Bukan seperti ini. Pergilah. Lain kali, aku akan ijinkan kamu bertemu dengan Dita. Sekarang, bukan waktu yang tepat."
Si tetangga aneh seolah paham dengan apa yang Aji katakan. Sepertinya, ia juga merasa apa yang Aji katakan memang benar adanya.
Tentu saja, si tetangga aneh itu memang menakutkan. Jika niatnya itu baik, seharusnya si tetangga aneh bisa menjaga sikapnya.
Aji menutup pintu belakang dapur dengan rapat. Dilihatnya, ternyata slot pintu tersebut sudah rusak.
Sebelum memperbaikinya, Aji mencari Dita terlebih dahulu. Gadis itu perlu ditenangkan.
"Ya?" Aji mengetuk pintu kamar Dita yang tertutup rapat. Namun, tak ada jawaban.
"Dita? Aku udah nyuruh tetangga aneh kamu itu untuk pergi. Dia udah gak ada di sini lagi sekarang," ucap Aji.
Pintu tak kunjung dibuka. Aji merasa, mungkin Dita shock berat sekarang. Lelaki itu kembali ke dapur untuk memperbaiki slot pintu. Tanpa bertanya, Aji mencari peralatan seadanya untuk membetulkan slot yang rusak itu.
***
Dita yang meringkuk di dalam selimut tak mau peduli dengan ketukan pintu dari Aji. Ia sungguh-sungguh merasa ketakutan. Kenapa si tetangga anehnya itu bisa-bisanya berani masuk ke dalam rumah?
Lalu, sebenarnya apa yang tetangganya itu inginkan? Dita benar-benar penasaran. Di sisi lain, sempat terbersit di pikirannya untuk menyerah saja. Untuk kembali ke Jakarta dan mungkin saja, ia akan menebalkan muka untuk meminta uang ke bibinya yang ketus itu. Ya, mungkin saja.
Akan tetapi, bagaimana dengan Aji yang kini ada untuk membantunya? Ia tak mungkin membiarkan laki-laki itu begitu saja.
Arrrgh! Dita kesal. Ia ingin berteriak sekencang-kencangnya.
Suara 'jedag-jedug' yang terdengar membuat Dita penasaran lagi. Ia beranjak dari ranjangnya dan membuka pintu sedikit. Apa itu Aji? Sedang apa?
"Lagi apa?" tanya Dita yang langsung disambut dengan senyuman.
"Slotnya rusak. Makanya tetangga kamu masuk."
"Dia masuk karena slotnya rusak?" selidik Dita.
"Maksudku, karena slotnya rusak, tetangga kamu jadi bisa dengan mudah masuk."
"Aku gak ngerti, Ji. Aku gak ngerti kenapa dia ganggu aku terus. Sebenernya apa maunya dia?"
"Aku juga gak terlalu paham keinginan tetangga kamu itu. Cuma, dia punya sesuatu yang ingin disampaikan. Apa dia pernah ngomong ke kamu soal apa gitu?"
Dita mengangguk. "Ya, dia pernah ngancem aku supaya gak buka garasi itu."
"Ya, mungkin tadi juga itu yang sebenarnya mau ia sampaikan."
"Tapi kenapa? Maksudnya, apa hubungannya sama dia?"
Aji menggeleng. "Itu yang belum kita tahu."
"Aku kesel banget."
"Tau. Keliatan dari mukanya."
"Argh!"
Aji tak menanggapi. Ia kembali fokus memperbaiki pintu.
"Makasih, ya," ucap Dita lagi.
"Buat?"
"Buat semuanya. Karena aku gak bisa bayangin kalo misalkan aku sendirian, dengan pintu yang rusak, di rumah ini. Aku gak bisa bayangin."
"Ya, udah. Gak usah dibayangin, hehe," canda Aji. Dita hanya manyun.
"Oke, udah selesai, nih. Kita mau ngapain sekarang? Baru jam tujuh."
"Baru jam tujuh? Mungkin harusnya tuh, udah jam tujuh."
"Sama aja. Ini udah jam tujuh. Kita mau ngapain?"
"Aku gak akan tidur malam ini," ucap Dita mantap.
"Kenapa lagi? Tetangga aneh itu gak akan datang lagi malam ini. Aku jamin."
"Gak, aku gak bakalan tidur malam ini. Aku begadang sampai pagi."
Kalimat Dita yang sedemikian mantap, membuat Aji tak ingin berbicara lebih banyak lagi.
Mereka berdua kembali menyeduh kopi dan memutuskan untuk berbincang di ruang tamu. Meskipun jujur saja, mata Aji sudah sangat berat, tapi laki-laki itu mana tega membiarkan Dita begadang sendirian.
"Udah tenang sekarang?" tanya Aji sambil menyeruput kopi untuk ke sekian kali.
"Lumayan. Aku tadi beneran kaget."
Aji mengangguk. "Ya, gak mungkin kalo gak kaget. Dia tiba-tiba ada di dapur tadi. Aku juga kaget pas pertama lihat."
"Kamu mikirnya apa?"
"Haha, aku pikir dia kayak Tian."
"Kamu mikir kalau tetangga aneh itu sebangsa kayak Tian? Iya juga, sih. Dia aneh. Mukanya juga nyeremin. Keliatan gak keurus gitu."
"Makanya, kupikir sama kayak Tian. Tapi ternyata bukan."
"Aneh banget, sih. Kamu ini beneran indigo gak, sih? Kok malah gak bisa bedain mana hantu dan mana yang masih manusia?"
Lagi-lagi, Dita meragukan keindigoan Aji.
"Haha, aku kan udah bilang, kemampuan aku ini masih yang susah dibilang kuat. Aku masih yang ...."
"Oke-oke. Tipis-tipis, kan?"
Aji tertawa. "Nah, itu kamu tahu."
"Oh, iya, Ta. Gak apa-apa kalau aku ngomongin Tian lagi?"
Dita mengangguk. "Boleh. Kenapa dengan Tian? Dia ada di sini?" tanya Dita sambil celingukan.
"Hehe, enggak. Dia gak ada di sini."
"Terus?"
"Aku mau bilang kalau, bukan cuma Tian yang ternyata ada di rumah kamu."
"Oke, aku tahu. Kemarin kan kamu bilang ada banyak yang tinggal di rumah ini selain Tian."
"Iya. Maksudku, orang tuanya Tian juga ada di sini."
"Hah?"
"Iya. Mereka ada di kamar kamu. Mereka tinggal di sana. Aku lihat mereka."
Dita membeku. []