Ketika kembali ke rumah, Dita mendapati seorang Aji Dewanto tengah tertidur di kursi ruang tamu. Ponselnya masih di genggaman. Terlihat sekali kalau Aji sangat tidur dengan pulas.
Dita berusaha untuk tidak menimbulkan suara-suara yang keras. Gadis itu melihat sekitar dan tak menemukan gelas-gelas kotor bekas semalam. Ia juga merasakan lantai rumahnya sudah tak berdebu, alias seperti baru saja dibersihkan.
Setelah itu, Dita menuju ke dapur. Di sana juga tak kalah rapinya. Tak ada piring kotor dan meskipun aroma bekas mie instan masih tercium, tapi sungguh tak ada yang berantakan.
"Hah, dasar. Katanya mau barengan makan. Eh malah duluan makan mie dan sekarang tidur," gumam Dita.
Gadis itu cukup senang dengan kenyataan yang sekarang. Ketika ia mendapatkan seseorang yang mau membantunya dan bahkan rajin bersih-bersih. Rumahnya sekarang perlahan menghangat. Benar juga kata orang-orang. Perbandingan tentang rumah yang besar dan mewah yang dihuni sendirian akan kalah dengan rumah sederhana yang dihuni banyak orang.
Kehangatan. Itu yang selalu dibutuhkan orang-orang untuk bisa tinggal di sebuah rumah. Bahkan jika rumah itu adalah rumah baru, memiliki seseorang di samping, untuk berbagi, tidak akan sulit untuk beradaptasi.
Gadis itu mengambil sebungkus roti dan mulai mengunyahnya. Sembari makan, ia duduk kembali di ruang tamu dan mulai melihat-lihat layar ponsel.
Rena! Tiba-tiba Dita ingat akan sahabatnya. Segera, ia mencoba mengirim pesan. Belakangan, Dita merasa Rena sudah jarang memberi kabar. Biasanya, tidak demikian.
[ Renaaaa. ]
Beberapa saat kemudian, Dita mendapat balasan.
[ Ditaaaa. ]
[ Kabar baik? Debay? ]
[ Baik. Semoga kamu juga. Gimana rumahnya ada yang udah nawar? ]
[ Baik aku juga. Kenapa baru nongol? Ke mana aja? Nunggu aku chat duluan? :') ]
[ Heleh. Enggak, aku gak dibolehin main hape lama-lama sama suamiku. ]
[ Kenapa? Ada apa? ]
[ Iya, kata dokter, aku gak boleh terlalu kecapean. ]
[ Ah, iya. Aku ganggu gak sekarang? ]
[ Enggak, lah. Ini tadi sebenarnya dipegang hapenya sama suamiku. Cuma dia tahu kalau kamu yang kirim pesan, aku pasti bakalan bales. ]
[ Hihi. Co cwit banget cih. Ya udah, kalo kamu baik-baik aja aku seneng dan tenang jadinya. Soal rumah, kayaknya masih dalam proses. Aku juga narik iklan aku dulu di f*******:. ]
[ Kenapa? ]
[ Agak panjang sih ceritanya. Nanti aku ceritain lagi. Tapin nanti. Sekarang kamu istirahat aja. ]
[ Gak mau, ceritain sekarang. Istirahat? Perasaan istirahat mulu. Udah ceritain aja dulu. ]
[ Panjang ih. Jadi intinya, sekarang aku di rumah udah gak sendirian lagi, loh. Aku ada temen sekarang. Namanya Aji, Ren. Dan dia punya kemampuan lebih. ]
[ Hah? Maksudnya? ]
[ Iya, intinya aku mau minta bantuan dia. ]
[ Gimana, sih. Aku gak ngerti. ]
Dita mulai menuliskan panjang lebar mengenai hal-hal yang dialaminya selama di rumah. Termasuk tentang suara-suara aneh yang bisa didengar oleh Rena lewat telepon.
[ Jadi bener waktu itu kan? Suara-suara itu? Kok aku bisa denger, ya? Aku kan gak punya kemampuan apa-apa. ]
Membaca pesan dari Rena, Dita jadi ikut heran. Iya juga, kenapa Rena bisa mendengar suara-suara itu? Apa Rena juga Indihom? Eh indigo?
[ Aku gak tahu, sih, Ren. Soal itu. Eh intinya, aku pesen. Aku sebenarnya gak mau ngasih tahu semua ini ke kamu. Tapi, kamu hanya, kan. Aku jadi pengen cerita semuanya. Aku minta satu hal. Jangan cemas soal aku, dan kamu gak boleh terlalu mikirin semua yang aku ceritain tadi. Oke? ]
[ Oke. Aku seneng akhirnya kamu cerita. Kalo gak cerita, awas aja. ]
[ Ehe. Iya, Bumill. Pokoknya jaga kesehatan. Aku baik-baik di sini. Dan aku yakin semuanya bakal berjalan lancar. Kamu tenang aja. Udah dulu ah. ]
[ Euh. Jangan nyuruh aku buat istirahat. ]
[ Ih, kan kata dokter apa? Hayok. Udah pokoknya. Aku baik-baik aja. ]
[ Iya. ]
Percakapan pun berakhir.
"Udah pulang?"
"Eh! Ya ampun aku kaget. Iya, aku udah pulang dari tadi."
Aji sudah bangun rupanya.
"Maaf aku ketiduran."
"Gak apa-apa. Emang harusnya kamu istirahat, sih."
"Gimana tadi Paman kamu?"
"Gak gimana-gimana. Dia cuma nyuruh aku buat hati-hati."
"Paman kamu tahu, ya? Ada sesuatu di rumah ini? Atau bahkan dia sebenernya menyembunyikan sesuatu itu?"
Dita terdiam sebentar sebelum menjawab. "Iya, dia emang tahu. Dia kayaknya tahu banget malahan."
"Nah, terus?"
"Gak tahu lagi. Dia kayak gak mau ngasih tahu. Seberapa sering aku desak dia buat ngasih tahu apa yang dia sembunyikan dari aku, dia tetep gak mau kasih tahu. Dia juga bilang bahkan sampai dia mati pun, gak akan kasih tahu. Aku gak tahu alasannya apa."
"Sekarang aku jadi tahu, Ta. Ini gak main-main lagi. Ini sesuatu yang serius. Buktinya, paman kamu sampai ngobrol begitu."
"Iya."
Mereka hening sejenak. Membiarkan pemikiran-pemikiran berseliwer di kepala masing-masing.
"Ehm, Ji, tadi di telpon kamu bilang kamu lagi nyari temen? Maksudnya?"
"Iya, aku keliling-keliling rumah ini tadi. Dan aku nemuin sesuatu. Aku lihat ada bocah kecil, laki-laki yang lagi lari-lari di sekitaran halaman."
"Bocah laki-laki? Tapi kan, di sini tuh gak ada yang punya anak kecil."
Aji menatap Dita untuk kemudian menggeleng perlahan. "Tapi dia bukan manusia."
"Hah? Jadi beneran hantu?"
"Iya, tepatnya arwah penasaran."
"Terus?"
"Aku deketin. Awalnya kupikir susah buat ngobrol sama dia."
"Hah? Ngobrol?"
"Iya, Ta. Tapi, ternyata dia justru seneng. Dia pengen ngasih tahu kisah semasa dia hidup dulu."
"Gini, Ji. Kamu bisa berkomunikasi alias ngobrol sam hantu, eh maksud aku arwah penasaran itu, itu berarti kemampuan kamu itu bukan kemampuan ecek-ecek dong. Kemampuan kamu tuh udah tingkat tinggi."
"Aku gak bisa bilang gitu sih, Ta. Soalnya ini juga tergantung arwahnya. Kalau arwahnya mau dan rela menunjukkan diri, aku bisa lihat dan bahkan mudah berkomunikasi. Kamu pernah lihat bocah ini pasti. Iya, kan?"
Dita mengangguk. "Cuma sekilas aja."
"Iya, itu. Dia bahkan mau menunjukkan diri sama orang biasa kayak kamu."
"Ah, aku gak ngerti."
"Ehe. Ya udah, gak usah dimengerti juga. Cuma, ya, itu. Kamu harus tahu kalau penghuni rumah ini tuh banyak."
Dita menelan ludah. "Oke-oke. Sekarang aku tanya. Kamu sama bocah itu ngobrolin apaan?"
"Dia ngobrolin masa lalunya."
"Masa lalu?"
"Iya."
"Apa yang dia omongin?"
"Dia itu, mati karena dijadiin tumbal."
"Hah?"
Aji mengangguk. "Dia gak cerita tepatnya kapan itu terjadi. Mungkin udah lama banget, sih."
"Ya ampun. Aku merinding."
"Hehe, itu wajar."
"Terus? Dia masih penasaran, makanya gentayangan?"
Aji mengangguk. "Kayaknya ada sesuatu yang besar di garasi belakang rumah kamu."
Dita mengangguk. "Ya, sepertinya begitu."
"Oke. Ehm, kamu percaya, kan? Dengan apa yang udah aku bilang dari tadi? Atau kamu mau komunikasi langsung sama anak kecil yang aku ceritain?"
Dita langsung menggeleng cepat. []