"Ayo habiskan makanannya, kita, maksudku, aku akan coba cari tahu. Aku akan berkomunikasi dengan orang tua Tian. Aku mau tahu apa yang sudah terjadi sebenarnya."
Dita menatap Aji tajam. "Kamu yakin?"
Aji mengangguk. "Yakin. Dengar, Ta. Apa pun yang terjadi, cepat atau lambat, kita harus tahu semuanya. Dan satu-satunya cara agar kita tahu banyak hal tentang rumah ini yaitu dengan cara berkomunikasi sama mereka-mereka ini."
Dita mengangguk saja. Jauh di dalam hatinya, ia tak pernah berpikir kalau apa yang Aji lakukan akan sejauh ini. Dita pikir, Aji hanya akan mengusir roh-roh jahat dengan mudah dan nantinya, rumahnya itu akan terbebas dari hantu atau gangguan-gangguan lainnya. Nyatanya, tidak. Ada banyak hal yang di luar dugaan gadis itu.
"Omeletnya enak," ucap Aji setelah menyelesaikan suapan terakhir.
"Makasih," balas Dita datar.
"Oke. Sekarang, aku akan coba bicara dengan mereka. Oke?"
"Oke. Aku akan denger."
"Aku akan ceritakan jawabannya sama kamu, setiap aku udah tanya ke mereka. Aku akan ceritakan semua yang mereka ceritakan ke aku."
"Oke. Aku setuju."
Aji mulai bicara sendiri. Ya, kelihatannya, lelaki itu sedang bicara sendiri. Padahal, tidak. Ia sedang berkomunikasi dengan orang tua Tian.
Setelah beberapa pertanyaan diajukan, dan Aji mendapat jawaban, ia mulai mengatakan semuanya kepada Dita.
"Ta, ini kisah mereka. Ternyata cukup tragis."
"Tragis?"
"Iya, Ta. Kisah mereka yang sebenarnya mereka sesali. Jadi, dulu itu, Tian adalah anak ketiga, alias terakhir."
"Terus?"
Aji pun mulai menjelaskan lebih jauh lagi.
Tian adalah anak ketiga, alias anak terakhir dari pasangan Pak Dwi dan Bu Surti. Sebenarnya, kehadiran Tian bukanlah kehadiran yang diharapkan. Ada dua anak yang dirasa oleh Pak Dwi dan Bu Surti sudah cukup membahagiakan mereka.
Sedangkan Tian? Pak Dwi dan Bu Surti entah kenapa, merasa bahwa Tian seharusnya tidak terlahir ke dunia.
Alasannya, klasik. Keadaan ekonomi membuat mereka berdua merasa memiliki anak satu lagi, adalah beban yang akan membuat dua anak sebelumnya kehilangan jatah mereka.
Pemikiran itulah yang pada akhirnya semakin mereka yakini, tatkala Tian sakit-sakitan. Biaya yang tak murah, usaha yang tak mudah, telah mereka lakukan. Namun, tetap saja. Mereka bahkan lama-lama merasa semakin miskin saja.
Karena itulah, Pak Dwi dan Bu Surti mencari cara lain. Cara yang sangat-sangat salah dan tidak berperasaan.
Meski begitu, keduanya mencari pembenaran. Selalu mencari pembenaran. Bahwa apa yang akan mereka lakukan adalah demi kebaikan Tian juga. Mereka berdua berpikir kalau Tian akan menyelamatkan mereka berdua dan dua kakaknya agar hidup lebih baik lagi. Namun, Tian harus ditumbalkan.
"Jadi, karena mereka udah ngerasa capek ngurus Tian, mereka juga ngerasa ada dua anak yang lebih berhak hidup cukup dibandingkan dengan Tian, mereka akhirnya harus mengorbankan Tian? Demi kelangsungan hidup? Mereka kok buntu banget?"
Dita marah, tapi sejurus kemudian berusaha kembali tenang. Sadar bahwa dua orang yang sedang dibicarakan tengah berada di antara mereka saat ini.
"Iya, itu ceritanya. Dan cerita ini belum selesai, Ta."
"Oke, aku akan mencoba memahami setelah mendengar seluruh ceritanya."
Aji kembali bertanya, dan setelah mendapat jawaban, kembali bercerita soal masa lalu Tian dan keluarganya itu.
Orang tua Tian mendapat kabar tentang orang pintar yang bisa membuat mereka dengan mudah melakukan pesugihan. Dan orang itu tinggal di rumah Dita saat ini, yaitu, rumah peninggalan kakek Dita.
"Bentar, Ji. Jadi, maksud kamu, ada orang yang bikin pesugihan itu pernah ada di rumah ini?" tanya Dita penasaran.
"Sebentar, ceritanya belum selesai, Ta."
"Oke-oke, maaf."
"Di rumah inilah, awal Pak Dwi dan Bu Surti melakukan pesugihan. Tian yang tidak tahu apa-apa, dengan mudahnya mau menuruti orang tuanya untuk masuk ke dalam rumah yang akan membuatnya kehilangan nyawa."
Dita menahan napas demi mendengar cerita Aji.
Aji bercerita bahwa kemudian kedua orang tua Tian ini melakukan sebuah ritual dan lain-lain. Tak ada yang terjadi dengan Tian selama beberapa hari. Akan tetapi, di hari ketiga, Tian sudah ditemukan tak bernyawa di kamarnya di pagi hari. Dan tiba-tiba saja, ada sebuah pekerjaan besar yang datang tak terduga kepada Pak Dwi saat itu juga. Pekerjaan besar yang membuat Pak Dwi dan keluarganya jadi kaya raya mendadak.
Pak Dwi dan Bu Surti yang mendapati Tian sudah tak bernyawa, merasa siap tak siap. Mereka sudah tahu hal ini akan terjadi, tapi tetap saja, mereka merasakan ketidaktenangan.
Perlahan, hidup mereka bergelimang harta. Dua anaknya sekolah dengan lancar, Pak Dwi selalu mendapat proyek besar, dan mereka dihormati oleh orang lain. Entah dihormati karena hartanya atau apa. Satu yang pasti, ekonomi bukan lagi masalah di keluarga mereka.
Satu-satunya masalah dalam kehidupan setiap anggota keluarga adalah rasa bersalah. Kedua anaknya, yang merupakan kakak-kakak Tian juga mengetahui hal itu. Meskipun usia mereka terbilang cukup muda, tapi sudah memasuki masa remaja. Dan beberapa ritual aneh yang sering dilakukan orang tua mereka akhirnya tercium juga.
Kedua anaknya mulai mencari tahu. Dan ketika tahu bahwa orang tuanya melakukan penumbalan, kedua anaknya menjadi takut. Karena mereka berpikir kalau satu demi satu dari mereka, akan bernasib sama dengan Tian.
Dan itu memang benar.
"Jadi, setelah Tian, kedua anak mereka jadi tumbal lagi?"
Aji menggeleng. "Hampir. Mereka hampir jadi tumbal lagi."
"Ah, jadi mereka selamat, ya. Syukurlah."
Aji kembali menggeleng. "Enggak, mereka berdua meninggal."
"Ha? Loh, bukannya tadi kamu bilang ...."
"Mereka memang gak meninggal karena ditumbalkan, tapi mereka meninggal karena kecelakaan."
"Kecelakaan? Itu berarti bukan karena kesalahan orang tua mereka?"
"Seharusnya. Tapi tetap saja, kepergian keduanya menimbulkan kesedihan yang mendalam. Bayangkan, Ta. Pak Dwi dan Bu Surti sudah mengorbankan Tian. Meskipun Tian tidak diinginkan, tetap saja, mereka sebenarnya sangat kehilangan. Saat itu, kehilangan dua orang anak yang sangat mereka cinta adalah seperti pukulan yang sangat menyakitkan."
"Mereka sudah memilih jalan yang salah sejak awal."
Benar apa yang dikatakan oleh Dita. Penuturan Aji selanjutnya adalah tentang bagaimana orang tua Tian tidak terima dengan takdir yang sudah terjadi. Keduanya berusaha untuk menuntut orang yang telah menunjukkan cara pesugihan.
Mereka datang ke rumah orang tersebut dan meminta pertanggungjawaban. Dan tentunya, tak ada yang bisa dilakukan. Semua sudah terjadi, nyawa anak-anak mereka tidak bisa kembali.
"Jadi, setelah mereka kehilangan semuanya, mereka tidak terima? Bukannya mereka yang udah mulai? Dan mereka harusnya tahu konsekuensi dari sebuah pesugihan. Mereka akan kehilangan orang-orang yang mereka sayangi."
Aji mengangguk.
"Orang tua Tian hanya mencoba menghibur diri mereka sendiri setelah itu. Mereka kembali ke rumah, mereka foya-foya, belanja apa saja, berusaha menikmati uang mereka yang banyak, tapi tetap saja ...."
"Hampa? Mereka tidak lagi menemukan kebahagiaan? Mereka sudah tidak bisa hidup damai dengan uang-uang mereka. Iya, kan?"
"Iya."
"Lalu, kenapa sekarang mereka ada di sini?"
"Mereka bunuh diri, Ta. Tepatnya di kamar ini mereka meregang nyawa."
"Kenapa harus di kamar ini?"
"Ya, karena mereka tidak bisa mendapat kemauan mereka dari orang yang telah membantu mereka mendapat pesugihan, mereka terus datang ke rumah ini dan berusaha menunjukkan keputusasaan. Hingga di titik di mana mereka sudah tidak ingin kembali lagi ke rumah mereka sendiri, orang tua Tian nekat bunuh diri di sini."
Dita melihat sekeliling. "Di sini, ya."
"Di depan orang itu."
"Kenapa? Kenapa mereka mau cerita ini sama kita sekarang?"
"Mereka mungkin butuh bantuan kita. Mereka ingin kita membebaskan arwah-arwah lain yang terkunci di garasi rumah ini."
"Aku gak ngerti, Ji."
"Iya, aku tahu. Ini semua bakalan sulit untuk dimengerti."
"Terus? Tian? Kenapa Tian yang seorang anak kecil itu malah gak damai? Maksudku, ini semua itu gak masuk akal."
"Apa aku pernah hilang kalau semua ini masuk akal, Ta? Enggak, kan? Memangnya setelah kamu mengetahui semua ini, kamu bisa menerimanya dengan logika. Enggak, gak akan bisa. Kamu yang sejak awal gak percaya sama kehadiran mereka, dan sekarang mereka berusaha menunjukkan semuanya ke kamu. Apa ini semua meminta kamu untuk memasukkannya ke dalam akal? Enggak, Ta."
"Terus?"
"Aku sama kamu harusnya menerima. Kita harus mencoba menerima apa yang mereka katakan. Dan sebisa mungkin membantu. Kalau kita bantu, mereka juga bakalan bantu kita. Itu."
"Gimana caranya?"
"Mereka mau kita buka garasinya," ucap Aji.
Dita menggeleng. "Aku gak tahu, Ji. Tapi aku punya feeling kalau garasi itu emang berbahaya. Kita gak bisa sembarangan buka."
"Iya, aku paham sama ketakutan kamu."
"Mungkin nanti kalau paman aku udah balik. Kita bisa ...."
"Enggak, Paman kamu gak bakalan mau atau setuju sama rencana ini."
Dita tahu itu. Pamannya tidak mungkin setuju. Namun di sisi lain, ia tidak ingin bertindak gegabah.
"Oke, satu lagi kalo gitu. Satu lagi pertanyaan aku. Sebenarnya, siapa yang membuat mereka bisa melakukan pesugihan? Orang di rumah ini? Siapa?"
"Itu ... kakek kamu, Dita." []