> BAB SEMBILAN <

1013 Words
Bangun dengan kondisi badan yang sakit semua itu benar benar tidak nyaman. Dan sialnya, aku lah yang mengalaminya. "Uh... Hasan, singkirkan tanganmu." protesku kesal. "Aku sudah menyingkirkannya sayang," gumamnya masih memejamkan mata. "Hasan!" ucapku agak keras. "Um..." "Singkirkan tanganmu bodoh! Atau ku cekik kau." ancamku hilang kesabaran. Hasan tidak memperdulikan ucapanku sama sekali, dan malah mengeratkan pelukannya. Aku benar benar stres di buatnya. Aku melihat ke arah jam dan sudah menunjukkan pukul 07.30 pagi. "Aduh Hasan!! Lepaskan, sebentar lagi abi Yusuf datang. Mati aku." ucapku gelisah. "Biarkan saja, palingan juga kita di nikahkan." jawabnya santai. "Bodoh! Aku tidak mencintaimu," ucapku memberontak dari pelukannya. "Dan sayangnya aku sangat mencintaimu, jadi apapun yang terjadi, kau akan tetap berakhir di pelukanku karna kau hanyalah milikku." gumamnya posesif. Aku bingung harus berbuat apa? Apapun sudah aku lakukan agar bisa lepas dari pelukan Hasan, Tapi tetap saja, dia tidak mau melepas pelukanku dan malah semakin erat. Aku nyerah dan balas memeluknya dengan hati berdebar tidak karuan. "Bagaimana kalau Abi datang?! Parahnya lagi ayahku?! Astaga, bagaimana ini?" gumamku cemas. Hasan semakin erat memelukku dan mengusap usap rambutku dengan pelan. Pelukan hangatnya sedikit demi sedikit mengurangi kekhawatiranku. Bibirnya bergerak gerak dan mencari bibirku. Aku yang geli dengan tingkahnya langsung saja mencium bibirnya dengan singkat dan menggigitnya. "Awh... Sakit sayang, kau ular atau manusia?" ucapnya mengaduh. "Keduanya" jawabku singkat. "Ya sudah! Ayo bangun dan mandi bersama," ajaknya sambil merentangkan kedua tangannya dan melepaskan pelukanku. Aku bisa bernafas dengan lega sekaligus terharu menatap dirinya. "Astaga! Dia benar benar sudah berubah," ucapku dalam hati. Tubuhnya yang kekar, sinar matanya yang tajam dan semua yang ada pada dirinya benar benar sangatlah menawan. "Kau mengagumiku?" tanya nya membuat pipiku bersemu merah karna malu. Sial, aku ketahuan, "Ti..tidak. Buat apa?" bantahku gugup. "Jangan bohong, aku kasih ketiak nih," godanya membuatku kesal. "Jorok ih," ucapku menjauh. Aku bangun dan berniat ke kamar mandi. Tapi sebelum aku menggapai pintu dia memanggilku dengan serius. "Dilla." "Iya," jawabku heran. "Maafkan aku," ucapnya menyesal. Aku berdiri terpaku dan menatapnya. "Sudahlah Hasan, semua sudah berlalu, mau aku membunuhmu sekalipun tetap saja tidak merubah keadaan." jawabku tenang. Hasan berdiri tetap dengan tubuh telanjangnya itu."Benarkah?! Terima kasih sayang," ucapnya dan mau memelukku. "Stop! Jangan lagi Hasan, kau membuatku remuk tadi malam, lihatlah. Bahkan tandanya saja masih belum hilang, ini yang terakhir kalinya." ucapku menahannya. "Kau lupa?!" tanya nya serius. "Lupa apa?!'' "Aku adalah seorang pembangkang dan aku tidak perduli dengan kata katamu!" ucap Hasan dan kembali membuat tubuhku merah merah. "Ah.. Hasan hentikan. Akh..." °°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°° Bunda mengajakku sarapan dan juga menyiapkan bakul jamu yang sebentar lagi akan aku jual keliling. "Sayang, semoga jualan jamunya habis ya," ucap bunda pelan. "Iya bunda, amin." jawabku bersemangat. Setelah selesai sarapan aku segera keliling dan mulai menawarkan jamu pada para tetangga. "Jamu pak, ibu, silahkan," tawarku sopan. "Boleh nak, berapa?" tanya seorang ibu sambil menatap sebotol jamu beras kencur yang sudah aku kemas di dalam botol. "Yang besar sebelas ribu ibu, yang kecil lima ribu," jawabku menjelaskan. "Oh, aku ambil yang besar dua ya nak," ucap sang pembeli dengan senyuman ramah nya. "Terima kasih," balasku sopan. Aku kembali berkeliling dan berjalan dengan sabar di pinggiran jalan aspal. Tak berapa lama kemudian, sebuah mobil mewah lewat dan melaju dengan sangat kencangnya hingga tanpa sengaja genangan air comberan memuncrat mengenai bajuku. "Aduh," dengusku kesal."hai!! bisa menyetir tidak sih?! dasar bodoh!!" umpatku emosi. Bajuku kotor dan daganganku sudah tidak bersih lagi karna terkena cipratan air. Mobil itu berhenti dan memutar balik menghampiriku. "Apa kau tidak apa apa?" tanya seseorang dengan suara lembutnya."maafkan aku dan temanku ya, dia menyetir sambil mendengarkan musik dan tanpa sengaja merugikanmu, maaf ya, sebutkan saja berapa aku harus mengganti semua kerugianmu." ucapnya ramah. Astaga! gadis yang sangat cantik dan seksi, senyumnya menenangkan amarahku. Dan tutur sapanya membuat hati siapapun akan merasa nyaman jika di dekatnya. "Hei, kenapa melamun mbak?" tanya nya sambil menatap mataku. "Eh tidak. Tidak apa apa, kau tidak perlu menggantinya," jawabku pelan. "Tidak bisa seperti itu mbak, kami bersalah dan harus bertanggung jawab." ucapnya tidak enak. "Sungguh nona, tidak apa apa," jawabku lembut. Seseorang keluar dari mobil dan membanting pintunya dengan keras. "Apakah masih lama Jasmin?!" ucapnya tidak sabar. Aku menatap ke arahnya dan betapa terkejutnya diriku, setelah tahu bahwa orang itu adalah Hasan. "Kau?!" ucapku tidak percaya. "Dilla?! Kau disini?!" tanya nya terkejut. "Oh! Jadi kau yang menyetir mobil ini?! Awas kau!! Apa kau tidak bisa melihat?! Dasar bodoh!!" ucapku marah. "Astaga! Lagipula siapa suruh berdiri di pinggir jalan seperti ini gadis kecil?! Lihatlah, apa yang kau bawa ini?!" tanya nya heran. "Aku menjual jamu!! Apa kau tidak bisa melihat?!" jawabku kesal. "Benarkah?! Mengapa kau tidak bilang?!" tanya nya kesal pula. "Kenapa aku harus bilang padamu?! Sama sekali tidak penting." ucapku sambil melotot marah. "Sangat penting?! Karna...." "Sayang!! Siapa dia?!" tanya Jasmin menghentikan ucapan Hasan. Dan apa yang dia ucapkan tadi?! Sayang. Astaga! Apakah mereka berpacaran?! Mengapa hatiku menjadi sakit. "Dia adalah Dilla! Gadis yang sering aku ceritakan kepadamu berulang ulang kali." ucap Hasan tenang. "Apa kau kekasihnya Hasan?" tanya ku was was. Sedangkan Jasmin seperti salah tingkah dengan pertanyaanku. Dari sinar matanya saja aku bisa tahu kalau dia pasti sangat mencintai Hasan. Hasan mendekatiku dan melepas selendang yang aku gunakan buat membawa bakul jamu. "Kami berpacaran, apa kau puas?!" ucap Hasan membuatku terluka. Apa tidak bisa mulutnya bicara lebih manis sedikit saja! Jika bisa! Ingin kuremas mulutnya sampai hancur. "Oh..." gumamku datar. "Sekarang ikut aku dan buang semua yang ada pada tubuhmu ini, kau harus bekerja padaku." perintahnya tegas. "Tidak mau! Siapa kau berani memerintahkan, Aku! Pergi dan menjauh dari hidupku, menyebalkan! Dasar tidak tahu aturan!" Bantahku dan membawa semua daganganku berlari pulang. "Dilla." "Dasar kurang ajar! Sudah punya kekasih masih saja menggoda diriku." ucapku berlaku dengan jengkel. Ingin rasanya menghilang dari pandangannya agar tenang buat hatiku sendiri, mau apapun sudah terserah dia, yang pasti! Jangan menggangguku lagi, dasar pria tak tahu diri, menyesal telah jadi temannya sekian lama. Mending jualan saja dan baik-baik jadi anak berbakti buat orangtua. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD