> BAB SEBELAS <

1879 Words
Hasan membawaku ke kapal pesiar milik abi nya, tempatnya sangat indah, aku yang biasa naik perahu di danau sewaktu kecil dulu hanya bisa melotot dan membuka mulutku karna kagum. Disana sudah ada abi Yusuf, umi Nur dan juga Jasmin. Mereka bertiga menatap kami berdua sambil tersenyum. "Hasan, aku malu, kita balik saja yuk," ucapku gelisah. "Kenapa malu? Kau kan cantik. Tidak perlu malu," ucap Hasan menggodaku. "Kau ini!! Nanti jasmin marah." seruku cemas. "Jangan banyak alasan sayang, bilang saja kau minder sama Jasmin," jawab Hasan sambil membukakan sabuk pengamanku dan bibirnya sekilas mencium bibirku. "Mmpphh Hasan, kau ini!!" ucapku marah. "Kenapa sayang? Aku tidak sengaja," sahutnya dan keluar dari mobil kemudian membukakan pintu untukku. "Ayo," ajaknya sambil menarik tanganku. Hasan menggandeng tanganku dan membawaku menemui umi Nur dan Abi Yusuf. "Dilla, kau di sini nak?" tanya umi Nur lembut. "Iya umi, Hasan yang memaksaku." jawabku malu. "Apa kabar nak?" tanya Abi Yusuf ramah. "Baik abi," jawabku sopan. "Ya sudah, ayo masuk," ajak Abi dan kami semua naik ke dalam kapal pesiar miliknya. "Kau sudah lama Jasmin?" tanya Hasan sambil menatapnya. "Tidak juga, aku baru datang Hasan," jawabnya sambil tersenyum manis. Hasan menggandeng tangannya, entah kenapa hatiku menjadi jengkel karenanya. Aku menghampiri Umi Nur dan memegang tangannya. "Bagaimana kabar umi?" tanyaku lembut. "Akhir akhir ini aku sering mual sayang, maklum, Umi kan hamil muda," jawabnya sambil tertawa. "Umi harus banyak istirahat," ucapku pelan. "Kau benar, Umi harus banyak banyak istirahat." jawabnya sambil mencubit pipiku gemas. Kami berlima jalan jalan mengelilingi kapal pesiar yang sudah mulai melaju dengan sangat gagahnya hingga membelah lautan yang luas. Hasan masih setia mendampingi Jasmin dan sesekali bercanda, mereka terlihat sangat akrab. Aku kadang kadang juga salah tingkah jika tanpa sengaja tatapan mataku bertemu dengan tatapan mata milik Hasan. °°°°°°°°°°°°°°°° Malam yang indah dan hawa yang dingin membuatku tidak bisa tidur. Aku keluar dari kabin dan berjalan jalan di sekeliling kapal buat melihat pemandangan laut pada malam hari. Aku melihat jam di ponselku, jam sudah menunjukkan pukul 24.30 malam. "Astaga! Sudah tengah malam begini kenapa aku tidak bisa tidur?" Bathinku gelisah. Aku terus berjalan buat mengambil minum dan setelah itu keluar menuju dek atas karna ingin menikmati pemandangan laut pada malam hari dari sana. Tapi saat aku melewati kabin milik Umi Nur dan abi Yusuf. Tanpa sengaja aku mendengar mereka berdua tengah berdebat dengan serius tentang diriku, Jasmin dan juga Hasan. Karna penasaran maka aku mendekat dan menguping dari luar. "Sudah aku bilang Nur, Hasan harus menikah dengan Jasmin!" seru Abi Hasan keras. "Jangan bodoh Yusuf!! Hasan hanya mencintai Dilla, dan aku hanya mau dia saja sebagai menantuku." jawab Umi Nur tak kalah keras. "Nur, aku tahu kau sangat mencintai Dilla seperti anakmu sendiri, tapi lihatlah Nazwa! Dia baru saja menjadi janda karna suaminya meninggal. Kita harus membalas budi Nur, kita harus menikahkan Hasan dan Jasmin buat meringankan beban hidupnya." ucap Abi Yusuf berusaha menjelaskan dengan sabar. "Tidak bisa!! Kita bisa membalas budi dengan cara lain Yusuf, kita beri saja dia pekerjaan dengan gaji yang besar." jawab umi Nur tidak mau kalah. "Nur!! Aku tidak percaya kau bisa bersikap setega itu?! Nazwa rela memberikan satu ginjalnya buat umi Aisyah, dan sekarang dia lagi kesusahan! Apa salahnya jika kita membantu?! Lagipula Hasan sangat menyukai Jasmin di bandingkan dengan Dilla!!" Bentak Abi Yusuf kesal. "Aku tahu Yusuf, tapi aku sangat menyukai Dilla di bandingkan dengan Jasmin. Dan jika kau merasa keberatan aku tidak perduli!! Hasan harus menikah dengan Dilla." sahut umi Nur tegas. "Kalau begitu biar aku saja yang menikahi Nazwa." ucap Abi Yusuf membuatku tegang. "Kau menantangku?! Nikahi saja Nazwa dan setelah itu kita berpisah!!" bentak Umi Nur sambil menangis. Karna takut melihat kondisi umi Nur yang sedang hamil, maka aku segera mengetuk pintu kabinnya dengan cepat. Abi Yusuf membuka pintu, sedangkan umi Nur berusaha menyembunyikan air matanya dariku. "Maafkan saya Abi, abi tidak perlu merasa khawatir, karna saya hanya menganggap Hasan sebagai seorang sahabat, bukan sebagai kekasih, percayalah Umi, Dilla sama sekali tidak ada perasaan cinta sama Hasan, jadi silahkan nikahkan saja mereka berdua." ucapku dan berlalu pergi meninggalkan mereka berdua dengan menahan air mata ku. Aku menuju ke dek atas dan menangis pilu di sana."Ayolah Dilla, jangan menangis, lagipula Hasan juga tidak mencintaimu, bukankah dia sudah menjelaskan padamu bahwa Jasmin adalah kekasihnya, mengertilah." ucapku dalam hati. Aku mengusap air mataku dan menatap bintang bintang di langit agar rasa sedihku menghilang. "Hai, kau disini sayang?! Aku tadi ke kabinmu dan kau tidak ada, apa kau sengaja menghindariku gadis manis?!" tanya seseorang membuatku gelisah. "Hasan! Kenapa kau kesini?! Seharusnya kau tidur di kamarmu, ini sudah malam." jawabku salah tingkah. Hasan mendekatiku dan langsung memeluk tubuhku dengan erat. "Aku merindukanmu gadis manis," desahnya dan langsung melumat bibirku ganas. "Mmpphhh Hasan, jangan seperti ini, sebaiknya kau temani saja Jasmin," perintahku datar. "Jasmin?! Dia sudah besar, mengapa aku harus menemaninya?! Jangan berusaha buat mencari cari alasan gadis manis," bisiknya sambil menjilat telingaku. Tubuhku meremang, entah kenapa setiap kali Hasan menyentuhku, aku benar benar merasa aman, damai dan tubuhku ini sangat mendambakannya. "Ini tidak benar Hasan, kau harus menemani kekasihmu Jasmin, sekaligus calon istrimu," ucapku berusaha memberontak dari cumbuannya. "Astaga! Aku hanya bercanda sayang, kekasihku hanyalah Dilla, dan calon istriku hanyalah kau saja, tidak ada yang lain. Jasmin hanyalah temanku." jelasnya membuat hatiku bimbang. Aku teringat perkataan Abi Yusuf dan juga umi Nur. Aku harus mencari cara agar bisa lepas dari kasih sayang Hasan dan akan aku buat dia membenci diriku. Aku tidak mau rumah tangga Umi Nur hancur hanya gara gara diriku. Maafkan aku Hasan, kita harus berpisah. ** Jam sudah menunjukkan pukul 20.00 malam, kepalaku terasa pusing dan tubuhku terasa lemas. Entah kenapa sejak pulang dari kapal pesiar kemaren nafsu makanku tiba tiba menghilang. Bunda menatapku khawatir,"kau kenapa sayang? akhir akhir ini sikapmu berubah murung, apa ada masalah?! katakanlah nak," ucap bunda membuatku semakin gelisah. "Dilla tidak apa apa bunda, kalau Hasan datang kesini, jangan biarkan dia menemuiku ya bunda, Dilla mohon." ucapku datar. "Tapi kenapa sayang? bukankah kalian berteman?" tanya bunda sambil mengusap kepalaku. "Tidak apa apa bunda, hanya malas saja," jawabku asal. Maafkan Dilla bunda, Dilla tidak mungkin mengatakan bahwa Abi Yusuf tidak setuju Hasan menikah denganku, beliau menginginkan Hasan menikah dengan Jasmin, anak dari mantan istrinya. Aku takut bunda Tia marah jika sampai mengetahuinya, bagaimanapun juga, abi Yusuf dan juga umi Nurjannah adalah sahabatnya. Ayah Irwan bahkan juga bekerja di kantornya, kalau ayah sampai tahu hal ini, sudah di pastikan akan timbul masalah besar. Dan aku tidak mau hal itu terjadi, aku hanyalah anak angkat, sedangkan bunda Tia, ayah Irwan, umi Nur dan juga abi Yusuf adalah kawan baik sebelum adanya diriku. Ponselku berbunyi, sebuah panggilan masuk, aku segera melihatnya dan tertera nama Hasan di sana. "Siapa nak?" tanya bunda penasaran. "Hasan bunda, biarkan saja." jawabku dan langsung mematikan ponselku. Aku kembali tidur dan menarik selimut hingga sebatas dagu. "Apapun yang terjadi, makanlah sayang, bunda tidak mau kau sakit," ucapnya dan setelah itu keluar dari kamarku. Aku berusaha buat memejamkan mataku, tapi tidak bisa, aku bangun dan berdiri di dekat jendela sambil merenungkan Hasan. "Kenapa aku jadi sedih begini ya? mungkinkah aku mencintai Hasan?!" Bathinku tidak tenang. ** "Dilla, tunggu!!" teriak Hasan di belakangku. Aku tidak memperdulikan panggilannya dan terus saja berjalan buat menjauh darinya. "Seandainya saja bunda tidak memaksaku belanja di supermarket, pasti aku sudah tenang di rumah dan tidak akan bertemu dengan Hasan." Bathinku tidak tenang. Hasan berjalan dengan cepat ke arahku dan dia berhasil meraih tanganku. "Apa kau tuli?! mengapa sikapmu berubah Dilla?! kau tidak mengangkat telponku dan selalu menghindariku!! katakanlah! apa salahku?!" bentaknya membuatku takut. "Lepaskan Hasan, aku tidak perduli padamu, lagipula bukankah kau sudah mengatakan dengan jelas bahwa Jasmin adalah kekasihmu?! mengapa sekarang kau berubah?! apa karna Jasmin tidak melihatmu?! dasar buaya." protesku kesal. "Aku sama sekali tidak pernah mencintai Jasmin, apa kau dengar Dilla?! aku sama sekali tidak mencintainya, dan kalau kau masih tidak percaya!! ikut aku" ajaknya sambil menarik tanganku dan membawaku masuk kedalam mobil mewahnya. "Hasan, aku lagi berbelanja," protesku kesal. "Aku tidak perduli," jawabnya santai. Hasan mulai melajukan mobilnya dengan cepat setelah aku berada di dalam bersamanya, aku benar benar takut dengan apa yang akan di lakukan Hasan. Tanganku gemetar dan bibirku terasa kelu hingga diam saja saat di perjalanan. Hasan melirikku dan sesekali tangan nakalnya meraba raba paha mulusku, karna tidak nyaman, aku berulangkali berusaha buat menghindarinya. "Kau kenapa sayang? apa yang terjadi? apa aku membuat kesalahan?" tanya Hasan sambil menatap mataku serius. Aku semakin kalut dengan pertanyaannya, biasanya kami memang selalu bertengkar. Tapi sekarang?! Hasan justru bersikap lembut kepadaku di saat aku ingin membuatnya membenci diriku. "Dilla!" panggilnya membuyarkan lamunanku. "Iya," jawabku datar. "Apa aku membuat kesalahan dan tanpa sengaja melukai hatimu?!" tanya Hasan gelisah. "Tidak, kau tidak melakukan kesalahan apapun," jawabku berusaha menahan air mataku agar tidak keluar. Hasan terdiam, dia seperti sedang memikirkan sesuatu entah apa itu aku tidak tahu?! mobil terus berjalan dan tanpa sadar sudah memasuki pintu gerbang. "Kita sudah sampai," ucapnya lembut. Aku melihat kesekeliling dan betapa gugupnya diriku saat tahu bahwa Hasan membawaku ke kantornya. "Kenapa kita kesini Hasan?" tanyaku was was. "Kau cemburu dengan Jasmin kan?! makanya aku ingin menunjukkan pada dirinya bahwa Hasan Muhammad hanya mencintai Dilla Muhammad," jawabnya di dekat telingaku. "Ah... menjauhlah Hasan, mengapa bisa jadi Dilla Muhammad?!" tanyaku heran. "Karna kau adalah calon istriku sayang, istrinya Hasan Muhammad! mau tidak mau namamu akan menyandang gelar keluarga Muhammad," ucapnya membuat mataku berkaca kaca. "Itu tidak mungkin terjadi Hasan, karna kau bukanlah jodohku, kau calon suaminya Jasmin," gumamku pelan. "Kau mengatakan sesuatu?" tanya nya tajam. "Tidak." bantahku pelan. Hasan menjauhkan wajahnya dariku dan keluar dari mobil buat menarik tanganku agar ikut bersamanya. "Kau akan membawaku kemana Hasan?!" gerutuku malu karna di lihat oleh semua karyawan Abi Yusuf. "Menemui Jasmin." ucapnya singkat. "Astaga! Jangan bodoh Hasan, di mana dia?" tanyaku cemas. "Di ruangan abi Yusuf bersama Umi dan juga Umi Nazwa." jawabnya membuatku khawatir. "Astaga, benarkah?! Ada umi nya Jasmin juga disana?! bersama umi Nur?!" tanyaku semakin khawatir. "Iya sayang, mereka membicarakan sesuatu entah apa itu aku tidak perduli, yang jelas aku harus menunjukkan pada Jasmin bahwa aku sangat mencintaimu." jawabnya tidak mau di bantah. "Hentikan Hasan, kau tidak perlu menunjukkan pada Jasmin bahwa kau hanyalah mencintaiku, aku mohon Hasan, apalagi ada abi Yusuf dan juga umi Nazwa di sana bersama Jasmin, Hasan hentikan!!" teriakku berusaha lepas dari tangannya. "Memangnya kenapa kalau ada mereka?! aku sama sekali tidak perduli." ucap Hasan dan langsung membuka pintu ruangan abi Yusuf dengan keras. Abi Yusuf, Umi Nur, Jasmin dan juga Umi Nazwa menatap kami berdua dengan heran. Hasan membawaku masuk dan kembali menutup pintu ruangan Abi Yusuf dengan keras. "Ada apa Hasan?!" tanya Abi Yusuf tajam. Hasan tidak menjawab pertanyaan Abi Yusuf dan malah menarik tubuhku agar mendekat ke arahnya dan langsung menyambar mulutku dengan gemas. Aku berusaha memberontak karna malu di lihat oleh mereka berempat. Tapi Hasan benar benar keterlaluan. Dia tidak memperdulikan perasaanku. Suasananya berubah hening, mereka semua menatap kami dengan wajah yang pucat, terutama Jasmin. "Aku mencintaimu Dilla," ucap Hasan di sela sela ciumannya."Jasmin hanyalah sahabat wanitaku, aku menghormatinya dan akan selalu seperti itu selamanya. Hatiku hanyalah milikmu sayang," ucapnya membuatku ketakutan. Bagaimana ini?! Kalau aku membalas perasaan Hasan sudah pasti rumah tangga Umi Nur akan hancur. Apa yang harus aku lakukan?!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD